Menurut Abidah, kemunculan Khilma Anis sebagai penulis adalah sebuah respon atas fenomena, pertama, maraknya penulis perempuan yang lebih banyak mengibarkan "sastra kelamin". Kedua, boomingnya sastra islami, dan ketiga sastra yang selama ini cenderung berbias patriarkhi. Jadilah Purnamaku Ning adalah sebuah pemahaman metaforis bagaimana menjadi yang kalah dan terbuang. Demikian launching ini memaknakan.
Dalam JPN Hilma coba memadukan dua potret sosiologis yaitu masyarakat Jawa dan pesantren yang menurut kacamata Abidah sama-sama feodal. Hilma menelusuri dua kehidupan ini dengan frame 'inna akramakum 'indallahi atqakum', dan menawarkan satu kehidupan ideal bagi manusia. Yaitu, kehidupan tanpa strata dan kasta dalam sosial masyarakat.
Tidak hanya aspek sosiologis, Hilma juga merambah aspek antropologis. Demikian menurut sang moderator, Arief Kuniar Rahman. Bagaimana cerminan pewayangan, istilah-istilah Jawa, dan diksi-diksi pesantren, membuat gambaran setting dan pewatakan dalam novel ini demikian kuat dan mengakar.
Novel ini bercerita tentang Nawang Wulan. Waktu kecil ia seperti purnama yang selalu menerangi hati ibunya yang kelam. Dan kini, ia ingin kembali menjadi purnama; menunjukkan pada ibunya bahwa ketakutan ibu terlalu berlebihan tentang trah dan pesantren. Ia akan menunjukkan, Alfin adalah sosok Gajah Mada, Sang Maha Patih yang dikenal karena Sumpah Palapa dan tidak sekali pun bertopang pada silsilah. Derajat dan kemuliaan tinggi yang diraihnya adalah berkat perjuangan yang murni dari seorang putera rakyat biasa. Namun, ternyata Nawang harus terluka. Alfin bukanlah Gajah Mada. Purnama itu pun tertutup awan. Sampai sebuah nada pesan HP-nya berbunyi. Pesan dari Yasfa: “… Saat langit terkatup genggam keharuan. Isyarah menjelma dalam lelah. Isyarah menjelma pesona. Tertuang doa dalam memar luka. Adalah duka doaku. Puja pintaku. Jadilah purnamaku.” Nawang tersenyum, lalu melanjutkan pejaman matanya. Tapi, kali ini bayang Yasfa berputar dalam gelisahnya. Apakah ia sosok Gajah Mada itu?
Hilma memang penulis pemula. JPN adalah novel pertamanya. Tapi, bagi Abidah kualitas bahasa Hilma patut diunggulkan. Ia sudah bisa menggerakkan bahasa sedemikian rupa. Diksinya juga mantap dan stabil. Atau bagi Arif, bahasa Hilma adalah bahasa antropologis sebagai orang Jawa dan orang pesantren. Seperti dalam 2 penggalan berikut ini:
Enam bulan ia tak pulang. Kecuali beberapa anggrek ungu yang kini menyemarakkan pendopo, semuanya masih seperti dulu. Juga pendopo itu: ia masih menguarkan aroma kembang sedap malam dan semerbak melati. Juga harum kembang kopi sesekali. Wangi kenanga yang menyeruak dari tubuh ibu ketika memeluknya juga belum berubah. Ya. Semuanya masih tetap. Jika ada yang berubah, mungkin hanya hatinya yang kini tak lagi meriah.... (hlm 1)
Ummi juga bilang selalu punya prinsip al-muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Maka, ia selalu melakukan pembaruan kurikulum tanpa begitu saja meninggalkan kurikulum yang lama. Ia mengajarkan kepada para santri agar mereka tetap memegangi tradisi, tapi dengan terus berpikir progresif agar tak ditinggalkan sejarah. Ummi bahkan selalu mencarikan beasiswa ke luar negeri bagi santri yang berprestasi.
Tapi, kemudian ummi tersadar, ia telah begitu panjang bercerita. Ia minta Nawang untuk beristirahat. Dalam dekapan ummi, malam itu Nawang terlelap dalam keajaiban yang sulit dimengerti... (hlm 200).
"Tapi jangan-jangan Hilma hanya tebar pesona sesaat, setelah itu idealismenya hilang ditelan pasar?" seorang komentator coba berasumsi. Yang kemudian dibantah oleh Hilma dengan menyatakan, "Kalaupun karena idealisme itu saya kemudian ditinggalkan pasar, saya yang akan bergerak membuat pasar." Bisa jadi ini adalah jaminan bahwa setelah JPN akan lahir novel bermutu yang lain dari tangan Hilma.
"Saya ingat kata-kata Semar di hadapan anak buahnya bahwa jangan sampai kalian mati tanpa nama. Dan menulis adalah cara saya untuk meninggalkan nama. Karena orang mati tak akan dikubur dengan tulisan dan karya-karyanya," tegas Hilma di akhir acara.
Penulis: Khilma Anis
Cetakan I: Januari 2008
Tebal: vi + 232 halaman
Penerbit: Matapena Jogja
6 komentar:
Websitenya mata pena ya mba...wah bagus neh jd tau novel2 yang baru terbit.
mmhh..jadi inget dulu sering beliin buat adikku novel-novel remaja, tapi sebelumnya aku baca dulu hehe..
Bagus mba...ntar aku suruh adekku beli deh...udah ada di toko buku khan...
buat widie:
Welcome to blognya Matapena ya.
Novel Matapena sudah beredar di toko buku berdiskon Toga Mas juga Gramedia. Atau bisa datang langsung ke penerbit atau pesan kirim via elkispelangi@yahoo.com
selamat membeli ya... ;)
Yupsi...Yupsi...
Ini dia yang kutunggu-tunggu, blog matapena dengan desain multiple blog, kan jadi lebih keren dan berkelas...
Oke selamat yach!
Oh iya, kayaknya penasaran deh sama novelnya Khilma, tapi kok pas aku hunting di Gramedia Bintaro gak ada ya? malah, novel-novel matapena yang lain yang dulu pernah nangkring di sono juga pada nggak ada lagi...
Hmmm...
salam buat hilma dri asatra mesir,mju trus.sory ni pke hp.dtunggu dforumfismaba www.fismaba.tk
" al-muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah " wah wah... Ncing Chilma Tetep ASSATRI Banget ya.... Bangga deh punya teman seangkatan kayak Ncing ini...
Kasusatran Jawa Masih Sangat Luas Tuh... Explore Aja Teyusss...
Good Luck Ncing !
KHOYRON...
Post a Comment