Sore itu agak gerimis. Tapi, saat malam menjelang, tepatnya jam 19.30 WIY (Waktu Indonesia Yogya), gerimis itu tinggal sisa basahnya di sepanjang jalan, atap, dedaunan, dan segala benda yang tak terlindung dari tatapan langit.
Mungkin semua orang tahu bahwa pada tanggal itu, 10 November 2007 adalah hari pahlawan. Di mana-mana ada perayaan peringatan hari peperangan yang konon terjadi di Surabaya itu. Tapi, hanya beberapa orang yang tahu bahwa pada malam itu, di Taman Budaya Yogyakarta ada malam yang sangat istimewa karena baru pertama kali acara itu dilaksanakan. Malam penganugerahan penghargaan Sastra Indonesia. Yaitu malam pemberian penghargaan kepada sastrawan yang berdomisili di Yogyakarta dan karyanya menjadi nominasi karya sastra terbaik.
Nah, U pada tahu nggak siapa sih sastrawan Yogya yang ketiban bulan malam itu? Hmm. Kalau kamu belum tahu, kamu boleh menduga mungkin salah satu dari penulis Matapena kali ya? Soalnya, malam itu tampak 3 penulis Matapena yang hadir; Mas Sachree, Mbak Pijer, dan Mas Zaki Zarung. Dan selidik punya selidik ternyata ada 3 penulis Matapena juga yang novelnya ikut diseleksi. Yaitu: Mbak Isma kz, Mas Sachree M. Daroini, dan Mbak Pijer. Tapi masak sih di antara mereka bertiga yang dapat penghargaan? Hebat banget?!
Pengen tahu cerita yang sebenarnya?! Ni, baca nih liputan khusus wartawan Matapena pada malam penghargaan sastra Indonesia di Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 10 November 2007.
Acara malam itu dibuka oleh seorang MC. Setelah itu sambutan dari kepala Balai Bahasa, Bapak Tirto Suwondo, M. Hum.
Menyimak sambutan Bapak Tirto Suwondo, penganugerahan Penghargaan Sastra Indonesia itu baru pertama kali dilaksanakan malam itu dengan maksud dan tujuan untuk memotivasi perkembangan sastra Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
“… Baiklah, saat ini kita tidak perlu berpikir negatif, dan bukan pada tempatnya untuk berdebat tentang relevansi penghargaan sastra dan perkembangan sastra. Sebab, penghargaan sastra yang mulai tahun ini dan diusahakan akan berlangsung rutin setiap tahun, akan diberikan oleh Balai Bahasa Yogyakarta kepada buku, karya sastra terbaik (novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan drama) tidak lain dilandasi oleh keinginan yang kuat untuk memberikan dorongan dan semangat bagi siapapun yang masuk dan hidup di dunia sastra di Yogyakarta, di samping untuk turut serta membangun keindahan Yogyakarta sebagai kota seni, budaya dan sastra”, ungkap Pak Tirto Suwondo.
Jadi, ternyata acara itu memang khusus bagi sastrawan Yogyakarta. Rencananya setiap tahun akan diadakan seleksi, yaitu dengan kriteria; karya yang diikutkan seleksi tahun 2007 ini adalah karya-karya yang terbit pada tahun 2006, sedangkan untuk edisi penghargaan tahun depan (2008) adalah untuk karya-karya yang terbit pada tahun 2007. Begitu seterusnya. Nah! Makanya mumpung sekarang masih ada waktu satu setengah bulan di tahun 2007, segera berkarya! Supaya nanti bisa ikut seleksi di tahun 2008.
Setelah sambutan Pak Tirto selesai. Ada pembacaan cerpen oleh Laila Apriana, mahasiswi UAD. Lalu dilanjutkan dengan acara inti, yaitu Penganugerahan Penghargaan Sastra Indonesia.
Acara yang sudah tidak membuat dag dig dug ser karena sebelumnya sudah diliput di Kedaulatan Rakyat itu diawali dengan pembacaan berita acara oleh Pak Landung Simatupang selaku wakil dari dewan Juri. Menurut beliau sebenarnya semua penerbit di Yogyakarta telah diberi kesempatan untuk mengikutsertakan karya-karya terbitanya untuk diseleksi, tapi ternyata hanya ada 6 penerbit dengan 12 karya yang masuk seleksi. Dari sebuah novel, satu kumpulan cerpen dan satu buku puisi, para dewan juri bersepakat untuk memilih sebuah novel sebagai penerima penghargaan, yaitu novel LUMBINI karya Kris Budiman, Dosen Pascasarjana UGM, Unv. Atmajaya dan ISI Yogyakarta.
Karya beliau yang berjudul Lumbini dan bersetting di Nepal ini dianggap telah berhasil memenuhi persyaratan dari sudut tema, teknik penulisan, ekspresi dan ketepatannya. Kecermatan penulisan latar tempat, konsep-konsep, dan perilaku tokoh-tokohnya terekspresikan dengan pas dan apik. Ketelitian pembahasaan menjadi keunggulan tersendiri dari novel ini dibanding novel-novel lain yang masuk nominasi. Selain itu novel yang bercerita tentang perjumpaan Niko dan Ratna dalam sebuah peziarahan di Lumbini (tempat yang dipercaya sebagai kelahiran Sidharta) yang kemudian berbuntut panjang itu dianggap mampu menjembatani hiruk-pikuk dunia pop yang sarat dengan konsumtivisme dan superfisialitas, yaitu dengan dunia perenungan spiritual-intelektual yang mendalam.
Hehehe. Begitulah ceritanya, ternyata karya-karya para penulis Matapena belum bisa mendapatkan penghargaan sebagai karya sastra terbaik pada tahun ini. Tapi tidak apa-apa, setidaknya acara itu benar-benar akan menjadi penyemangat bagi teman-teman Matapena untuk terus berproses dan berkarya. Yuk! Fastabiqul Khoirot di tahun 2007. Siapa berani? Ayo berkarya untuk diseleksi.
Eit, tapi acaranya malam itu masih panjang lho! Setelah pemberian penghargaan kepada Pak Kris, dilanjutkan dengan Dramatisasi Puisi “Balada Sumilah” karya W.S. Rendra oleh Sanggar Sastra Indonesia. Yah, lumayan bagus gitu lah!
Emm, terus…setelah itu, dilanjutkan lagi dengan dialog sastra yang bertema “Gairah Penerbitan dan Penyebaran Sastra di Yogyakarta oleh Pak Sholeh UG dari Penerbit Navila. Tapi, sayangnya acara itu agak kurang diminati. Ketika acara dimulai, beberapa peserta yang hadir justru banyak yang keluar dari gedung. Kebanyakan mereka justru anak-anak muda. Yah, gimana nih?! Pantas saja yang dapat penghargaan generasi tua, abis generasi mudanya saja nggak bergairah begitu! (hehe, termasuk penulis).
Memang sepertinya perlu diteliti dan diselidiki sebab-sebab kenapa acara itu tidak menggairahkan. Terlihat malam itu yang bertanya pada pembicara hanya seorang sastrawan yang sudah tidak asing lagi, yaitu Pak Mustofa W. Hasyim. Yah, kalau menurut Pijer sih, tidak tepatnya jadwal itu di penghujung acara. Soalnya sudah malam. Geliatnya sudah berganti ke dunia lain. Dunia mimpi, bukan dunia sastra. Soalnya waktu Sachree sama Zaki bersemangat hendak bertanya dalam session dialog itu, Pijer memprovokasi, “Nggak usah tanya ya, biar cepet selesai! Abis aku ijinnya tadi cuma sampai jam 10 malam”. Ups! Ternyata karena alasan pribadi Pijer yang tinggal di Pesantren, dan... tu lihat siapa yang mengantarnya malam itu? Mbak Atin, seksi Keamanan Pondok Putri. Heheh! Tapi memang sih, sebaiknya acara serius seperti itu diletakkan di awal/ pra acara atau di tengah supaya pesertanya masih semangat.
Oya, acara itu ditutup dengan pembacaan penggalan novel Lumbini oleh Pak Landung Simatupang dengan iringan gitarisnya, yaitu putranya sendiri. Hanya penggalan yang tidak panjang. Cerita itu terhenti saat mata Ratna berpaut pada relief Dewi Maya (Ibunda Sidharta Gautama). (pij)
3 komentar:
Walau belum mendapatkan penghargaan, semoga teman-teman di Matapena tetap bersemangat untuk berkarya. Maju terus pantang mundur !
terus berkarya...penghargaan khan hanya bonus
benar kata mas iman
Post a Comment