Sabtu, 10 November 2007 tiga orang penulis Matapena mendapat undangan dari Balai Bahasa Yogyakarta dalam acara malam penganugerahan penghargaan sastra di Taman Budaya. Kebetulan hanya saya, Sakri, dan Pijer yang tinggal di Jogja dan novel mereka terbit pada tahun 2006.
Sehari sebelumnya saya sempat membaca berita di Kedaulatan Rakyat soal minimnya minat para penerbit untuk ikut serta dalam ajang ini. Mengirimkan buku sastra terbiitan bereka yang ditulis oleh penulis Yogya. Padahal kalau dihitung, cukup banyak juga jumlah penerbit di Yogyakarta. Menurut sebuah sumber, apakah ini menunjukkan bahwa buku sastra yang mereka terbitkan tidak berkualitas?
Entah iya entah tidak, jelaslah mereka punya alasan masing-masing. Kalo Matapena sendiri kenapa ikut dalam ajang ini, sebagai upaya untuk membuka peluang bagi novel pop pesantren untuk diapresiasi, lebih jauh lagi bisa diakui dan dihargai. Meskipun sangat jelas kalau tulisan Isma, Sakri, dan Pijer tidak bisa digolongkan dalam "sastra serius dan berat". Menyebutnya saja dengan novel pop pesantren.
Maka, ketika pagi itu tertulis di koran tersebut, siapa saja nominator penerima penghargaan, saya sudah maklum. Tapi ada juga sih, celetukan: "Kok ini masih ikut ya?" Mungkin sebagai celetukan kaget karena ternyata tidak banyak penulis atau sastrawan muda di Jogja yang muncul di permukaan. Nama-nama yang muncul sebagai nominator adalah nama-nama lama yang sudah sangat jelas keredibilitas mereka di dunia sastra. Ya iyalah, wong namanya penghargaan sastra. Buntutnya jadi elitis yak!
Atau, bisa jadi karena itu, lalu beberapa nama baru menjadi apatis? Atau, mungkin bisa ditambahkan kategori baru untuk pendatang baru seperti yang dilakukan KLA tahun ini: Penulis Muda Berbakat. Entah juga.
Dan, karena saya tidak bisa datang karena kesibukan *alah*, jadi laporan malam penganugerahan yang dimenangkan oleh Kris Budiman itu, akan disusulkan oleh Pijer.
0 komentar:
Post a Comment