PP Al-Falah II, PP Darul Qalam,
PP La Tansa, dan PP Al-Mizan
21—28 Pebruari 2007
Perjalanan Dimulai…
Dari halaman kantor, perjalanan paling panjang dalam sejarah road show Matapena ini dimulai. Jamal mengawal keberangkatan saya, Jumawan, dan Ian menuju terminal, untuk menjemput Fina, Maia, dan Bu Dewi. Kasihan mereka ya, harus rela kelaparan menunggu kami sampai di terminal. Rencananya tiga orang dari Salatiga itu mau naik travel. Tapi, berhubung sang pemesan tiketnya kelupaan sampai jam pemberangkatan, terpaksa mereka naik bus dua kali turun sampai terminal Jogja.
Sebelum makan, lebih dulu Jamal membawa mobil menuju Nurul Ummah untuk menjemput Sobri. Jadi, total jiwa yang berangkat dari Jogja adalah 8 orang. Pas dan sesuai dengan jumlah jok mobil kita.
Alhamdulillah malam itu tidak gerimis apalagi hujan deras. Kita bertolak sekitar pukul sembilan malam, dikawal Jamal yang pegang kemudi. Dan, ketika sampai di Cilacap, saudara Ian menggantikan posisi Jamal. Menghemat waktu, yang biasanya dipakai Jamal untuk ngaso barang tiga puluh menit di pom bensin.
Dua puluh menit pertama, saya masih bisa bertahan, coba menemani Ian dengan ngobrol dari A sampai Z. Tapi, memasuki menit kedua puluh lima, mata saya sudah tiarap-tiarap. Memaksa saya untuk zzz…zzz…zzz, dan maaf, untuk selanjutnya saya tak ingat apa-apa lagi.
PP. Al-Falah II Nagrek Bandung
Workshop Penulisan Novel I
Saya membuka mata ketika mobil sudah memasuki jalan gang menuju Al-Falah II, ketika azan subuh mengalun dari masjid pesantren. Lebih cepat dari perjalanan ke Al-Falah II yang dulu. Kita langsung berpencar, cewek ke kobong puteri, cowok ke kobong putera, istirahat barang beberapa jam untuk acara workshop siang harinya.
Pukul 08.00 pagi kita terpaksa bangun dulu, setelah antri kamar mandi bareng santri puteri dan sepatu bagus saya kena guyur air, untuk sowan Pak Kiai. Rasanya senang dan bahagia sudah disambut dan diterima dengan baik oleh pengasuh Al-Falah II itu. Meskipun Al-Falah II lebih memprioritaskan pengajaran dan seni baca Al-Qur’an, Pak Kiai tetap memandang pentingnya tulis-menulis, yang menurutnya adalah pengikat untuk semua materi dan pengalaman santri. Tanpa ikatan, semua yang diketahui dan dialami santri pasti akan hilang sia-sia.
Workshop di Al-Falah II diikuti oleh 39 anggota komunitas. Tapi, dalam perjalanannya beberapa anak absen karena kesibukan dan kegiatan yang lain. Workshop dibuka pukul 13.00 oleh Pak Uyun, dan ditutup Jum’at sore, menjelang maghrib oleh Pak Kiai langsung.
Hari pertama forum masih tampak kaku. Masih taraf penyesuaian. Pertama penyesuaian Fina dan Maia untuk mengisi pelatihan, penyesuaian peserta putera berbaur dengan peserta puteri, dan penyesuaian para peserta sama model pembelajaran orang dewasa.
Sementara untuk penyesuaian peserta putera berbaur dengan peserta puteri dan penyesuaian dengan pendidikan orang dewasa, bisa dicairkan dengan model permainan. Daripada mereka duduk berbaris menjadi dua bagian, putera dan puteri, yang berjarak lima meteran, dengan ruangan aula yang luuuuwwwaaaas banget. Pantes bisa menguras suara!
Sesi berikutnya, peserta lebih diintensifkan dengan permainan dan kelompok. Yaitu, untuk sesi penggalian ide dan gagasan, pengenalan struktur cerita, sampai praktik penulisan. Dengan model permainan, paling tidak peserta jadi tidak diam di tempat, dan curah gagasan bisa lebih bebas dengan forum yang lebih kecil.
Untuk praktik penulisan mulai pukul 08.00—14.00, dengan setting cerita tidak harus pesantren. Secara tidak mudah ternyata untuk membuat mereka tertarik dengan dunia sendiri dan menuliskannya untuk orang lain. Malah masih banyak yang model tulisannya sejenis diakhiri dengan pertobatan setelah melakukan kesalahan atau dosa.
Tapi, ada juga yang sudah lumayan bagus tulisannya, tinggal rajin digesek saja. Fina sama Maia juga tampak terkesan. Malah kalau kata Fina, setting Al-Falah II sama persis dengan imajinya tentang pesantren dalam Gus Yahya. Acara ditutup menjelang maghrib, dan kami pamit. Bertujuh tanpa Shobri, dari Al-Falah II bakda maghrib, kami menuju Gondrong Petir Tangerang, tempatnya Kafi bersaudara.
PP Darul Qalam
Gintung Tangerang
Creative Writing dan Temu Penulis Matapena
Sebelum sampai Gintung kita sempat makan-makan di tol Cikampek, dan duduk-duduk sebentar di teras rumah Kafi sambil menunggu Ian pinjam mobil untuk angkut buku sama Engkongnya. Perjalanan menuju Gintung kurang lebih dua jam. Kira-kira pukul sebelas malam kita sampai di wisma PP Darul Qalam.
Beginilah enaknya bertamu di pesantren modern. Sudah disediakan kamar untuk istirahat dan melepas lelah. Berupa wisma berlantai dua. Kita dapat nomor 207 sama 208. Berhadap-hadapan.
Pukul 06.00 saya sudah bangun, dan pagi itu suara saya langsung berubah bunyi. Entah karena apa, dan kalau menurut analisa Jamal, gara-gara sop buntut di tol Cikampek semalam. Kasihan! Mana di tempat ini, menu sarapan paginya pakai nasi uduk ples sambal jengkol lagi. Sangat tidak nyaman di tenggorokanku. Tapi, alhamdulillah, saya masih bisa menjelaskan kedatangan sama Ustadz Odi yang berdasi, juga tentang keunikan Matapena yang lain daripada yang lain. Saya juga masih bisa menyapa teman-teman PP Darul Qalam yang hadir pagi itu, sekitar 120-an anak. Dari kelas SMA.
Acara pertama pembukaan, dilanjut dengan sharing kepenulisan oleh Maia dan Fina. Mencakup semua materi yang sudah saya tuliskan dalam jadwal. Hanya saja ada perubahan, untuk sharing dipadatkan sampai sebelum zhuhur, sehingga bakda zhuhur teman-teman langsung praktik bikin tulisan.
Suasana dan jalannya forum di PP Darul Qalam lebih cair dan semarak. Mungkin karena Maia dan Fina sudah terkondisikan sama model fasilitasi, dan anak-anak biasa berbaur antara cowok dan cewek. Potret santri modern. Berseragam celana-atasan serba putih dan ber-id card.
Termasuk ketika temen-temen diminta sama Maia untuk menceritakan keunikan Darul Qalam. Meluncurlah cerita jaros, shopping malam (ngambil banyak cd di jemuran malam-malam), all in one (sikat gigi, sabun, sampo, bareng-bareng ples cara penanggulangannya), termasuk kenakalan-kenakalan mereka yang khas santri. Cuma sayangnya, yang unik-unik itu justru luput dari pengamatan mereka pas penggalian ide. Untuk soal ini memang masih susah buat mengajak santri lebih melihat ke dalam diri dan pesantren mereka. Ada beberapa yang sudah nulis dalam bentuk novel di buku tulis mereka. Sudah bagus. Tinggal temanya aja yang belum mematapena.
Acara berlangsung sampai malam, bakda isya. Beberapa peserta ada yang tertarik sama komunitas Matapena. Dan, setelah konsultasi sama pembimbing, saya menitipkan formulir untuk dikoordinasi. Besok, sekalian mengirimkan kembali hasil tulisan mereka yang bagus ke Darul Qalam, bisa ditindaklanjuti pertemuan berikutnya.
Kita resmi meninggalkan Darul Qalam jam sepuluhan. Dengan rombongan bersepuluh, ketambahan Deny, Damawi, dan Kafi. Perjalanan ke La Tansa kurang lebih dua jam, melewati perbukitan yang gelap gulita. Seperti mau masuk ke sarang penyamun!
PP La Tansa Mashiro
Rangkasbitung Banten
Creative Writing dan Temu Penulis Matapena
Udara di La Tansa lebih dingin, jadi malas buat bangun. Acara pagi dimulai dengan sowan ke rumah Pak Ardian, putera mahkota pengasuh La Tansa. Menjelaskan maksud kedatangan dan lain sebagainya. Ini adalah almamater saudara Ian dan Deny.
Sambutan Pak Ardian sangat responsif, secara ini juga merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh alumni, apalagi misi La Tansa adalah mencetak generasi santri di berbagai lini dengan skill pilihan masing-masing, termasuk tulis-menulis dan kewartawanan.
Acara di La Tansa tidak jauh berbeda dengan di Darul Qalam. Hanya saja tidak secair di Darul Qalam. Mungkin karena pesertanya dipilih, dan energi fasilitornya sudah di ambang batas. Kelihatan banget kalau Fina dan Maia sudah bosen dan jenuh. Sementara suara saya belum juga pulih.
Tapi, respon peserta yang berjumlah 100-an itu lumayan bagus. Bisa diajak ngobrol soal tema yang menarik untuk dituliskan dari pesantren. Terutama dukungan dari pengasuhnya, Pak Sholeh, menantu, suami kakaknya Pak Ardian. Malah ada beberapa yang sudah nulis novel. Cuma ya, belum novel pop pesantren. Rata-rata mereka belum merasa tertarik untuk menuliskan tema yang satu ini. Meskipun sebelum praktik, Fina dan Maia sudah membeberkan sisi menariknya tema pesantren.
Acara ditutup pukul lima sore. Dan, Pak Adrian membuka tangan lebar-lebar untuk pendampingan komunitas, dan meminta Ustadz Pipin untuk mengkoordinasi.
Malam harinya, bakda maghrib, kita sowan-sowan lagi sambil menikmati makan malam ples nunggu mau dibelikan durian buat oleh-oleh tapi tidak jadi. Kita resmi cabut dari La Tansa pukul delapan malam.
PP Al-Mizan
Rangkasbitung Banten
Creative Writing dan Temu Penulis Matapena
Perjalanan menuju Al-Mizan sempat diwarnai dengan adegan saya mabuk darat, sama mobil punya Engkong yang mogok. Bersyukur kita punya Jamal yang handal, dan Bu Dewi yang dengan ikhlas ngerokin dan mijitin saya. Terima kasih…
Di Al-Mizan kita menginap di wisma, seperti juga di La Tansa. Jadi, kedua pesantren ini juga tergolong modern, seperti tulisan yang tertera di gerbangnya. Pagi sebelum jam delapan, kita sowan dulu ke rumah Pak Kiai yang pakai jas rapi. Ada acara perkenalan dan menjelaskan maksud kedatangan.
Forum di Al-Mizan tak jauh berbeda dari La Tansa. Diikuti oleh 120-an santri. Sebelum sesi praktik kita pakai permainan puzzle cerita untuk mengenali yang namanya sturktur cerita. Cuma sepertinya masih perlu model permainan yang lebih menantang lagi, untuk membuat teman-teman di Al-Mizan bias lebih ekspresif. Forum ditutup pukul lima sore, sebelum pamitan sama Pak Ustadz pembimbing, saya sempat menjelaskan tentang komunitas Matapena. Dan, menurut Pak Ustadz, hasil pertemuan ini akan dilihat dulu, jika teman-teman tertarik dan ada minat, akan ada kontak dari pesantren untuk pertemuan berikutnya.
Sekeluar kami dari Al-Mizan, rasanya lega sekali. Paling tidak 80% perjalanan sudah terlewati. Tinggal satu, yaitu di Wahid Institute (WI). Bersyukur juga workshop di Al-Falah II ditaruh di depan. Ketika kondisi fisik dan psikis masih fit, secara di Al-Falah II jugalah yang perlu lebih banyak konsentrasi dan perhatian daripada empat tempat yang lain. Ini juga diakui oleh Fina dan Maia. Paling tidak, kenangan dan kesan manis di Al-Falah II bisa menjadi obor semangat, juga bahan pembicaraan dan olokan sepanjang perjalanan berikutnya.
Kita cabut pukul setengah enam. Sebelum kembali ke Gondrong Petir, mampir dulu ke rumah Deny, makan malam pakai sayur asem. Dan, tiba di rumah Kafi pukul sembilanan malam, masih juga dijamu pakai sayur asem. Mabok asem deh!
Wahid Institute
Matraman Jakarta
Malam harinya saya sempat SMS sama Mas Suaedy soal acara dan waktu pelaksanaan di WI, dan dibalas pagi harinya. Acaranya pukul dua, dan semacam share pengalaman menulis dari saya, Fina , dan Maia. Oleh karena itu menurut Ian, berangkat pukul 11.00 masih bisa. Cuma karena saya pingin kopdar sama adikku, dan Maia pingin jalan-jalan ke Gramedia, akhirnya kita berangkat jam 10.00 menuju ke mall Taman Anggrek.
Dari mall Taman Anggrek langsung menuju WI. Tapi, biarpun yang nyetir orang Jakarta, tetaaap saja pakai acara mubeng-mubeng nyasar. Suasananya jadi tambah panas dan gerah! Apes deh!
Sampai WI pas jam setengah dua, padahal kita belum makan. Semula mau makan di salah satu warung, tapi kata orang WI sudah disediakan. Akhirnya kita manut saja, yang ternyata mereka tidak tahu kalau kita datang berombongan. Jadi cuma menyediakan empat porsi pas. Kasihan! Tapi, tetap saya menjelaskan kalau para cowok itu adalah teman-teman saya yang juga kelaparan.
Setelah menunggu kami makan dan Mas Jamal dari Horison yang belum datang, acara di WI dimulai pukul dua siang. Dihadiri oleh 100-an peserta dari anak-anak SMA dan IPNU-IPPNU, juga undangan dewasa yang bukan anak ABG. Seumur-umur mengikuti forum, baru kali ini settingnya tampak serius dan ngartis. Bagaimana tidak, lha wong sepanjang acara blitz kamera tidak berhenti berkilap-kilap. Belum lagi, setelah forum saya langsung diserbu beberapa teman dari NU, LSM, staf perpustakaan, sekadar tukar kartu nama dan meminta izin untuk mewawancara Fina dan Maia *manajer abiz!*.
Saya juga bertemu dan ngobrol dengan Ruslan Ghofur yang sekarang sudah lulus dan sedang menggarap skenario untuk program pembelajaran di TVRI. Selain bertemu dengan Nur Hasyim yang editor dan penulis, Jefry yang kakak kelas di Adab… yang keheranan dengan suplemen liputan Matapena di Tempo. Juga, Hamzah Sahal yang … tapi tidak kesampaian.
Perjalanan forum di WI sangat seru dan menarik. Pertama Mas Suaedy memberikan sambutan. Setelah Mas Suaedy, saya mendapat kesempatan lebih dulu, menjelaskan tentang Matapena dan komunitas. Dilanjut dengan bagi pengalaman menulis oleh Maia dan Fina. Di forum ini ekspresi kebebasan mereka benar-benar keluar. Tidak ada kesan sok menggurui dan sok dewasa. Gaya bicara yang ceplas-ceplos dan apa adanya inilah yang beberapa kali membuat peserta dibuat terpingkal dan geleng-geleng kepala. Misalnya, ketika Fina bercerita tentang data novelnya yang hilang sampai menangis berhari-hari dan mogok sekolah, dan ini dituliskannya dalam Gus Yahya Bukan Cinta Biasa. Atau, Maia yang protes dengan redaksi karena pergantian judul dari Kiai Tawuran jadi Tarian Cinta.
Lebih menarik lagi ketika Mas Jamal coba memetakan posisi teenlit pesantren dalam bingkai sejarah kesusastraan Indonesia. Menurutnya, kelahiran teenlit jenis ini merupakan gebrakan setelah 1960-an pesantren muncul dalam sastra sebagai tema oleh Jamil Suherman. Kemudian periode berikutnya oleh Abidah el-Khaliqi dan Faradiba. Dan, baru lima atau sepuluh tahun terakhir, ketika terjadi gelombang besar dalam Sastra Indonesia dengan lahirnya penulis muda yang menuliskan pengalaman mereka, teenlit pesantren muncul menandai masuknya pesantren dalam tema sastra Indonesia modern yang mengayakan tema teenlit yang sudah ada. “Kelahiran ini sekaligus menandakan akhir dari alienasi pesantren dari kehidupan masyarakat kota,” tambah Mas Jamal.
Mas Jamal sangat apresiatif menyambut kemunculan sastra jenis Matapena. Kelahiran teenlit merupakan sesuatu yang menarik dalam sejarah sastra, terkait dengan sumbangsih untuk perkembangan Sastra Indonesia. Namun demikian, menurut Mas Jamal, perlu dijaga bagaimana teenlit ini tidak melupakan penggunaan bahasa Indonesia yang baku alias baik dan benar dan perlu juga dipikirkan untuk menjaga napas keberlangsungan teenlit ini mengingat napas hidupnya biasanya tidak panjang. Tapi, jika kekuatan santra ada pada lokalitas, yaitu sesuatu yang dekat dan lekat dengan penulis, teenlit pesantren sudah mempunyai satu peluang untuk menggali nilai dan aspek dari pesantren yang melimpah. Dan, jika ini dirangsang secara maksimal, para santri akan bisa menuliskan apa yang mereka khayati dan alami dengan baik.
Saya terus terang tertarik dengan penyampaian Mas Jamal, ples menumbuhkan kepercayaan diri sebagai penulis novel pop pesantren. Saya jadi berseloroh sama Maia lewat tulisan, “Seandainya ada penulisan sejarah sastra Indonesia kontemporer, maka nama kita akan tertulis di dalamnya sebagai penulis genre pop pesantren…hihihi.”
Acara di WI ditutup molor sepuluh menit dari rencana, 16.40 WIB. Saya, Fina, dan Maia mendapat dua amplop besar dari WI berisi klipingan koran tentang demokrasi dan kegiatan sastra, ditambah 3 eks buku terbitan WI. Setelah melayani beberapa teman, dari tukar kartu nama, foto bersama, kasih tanda tangan, sampai wawancara dan ngobrol, juga melayani tawaran makan dari Mas Suaedy yang ternyata nunggu pesanannya lamaaa benget! *sampai teman-teman rombongan jadi bete dan bermuram durja*, kami resmi cabut dari WI pukul setengah delapan malam.
Perjalanan Berakhir…
Perjalanan pulang dikawal sama Jamal lewat jalur selatan, mampir dulu di Al-Falah II mengambil pesanan dan menitipkan pesanan Maia buat some one. Sampai Cilacap, seperti perjalanan berangkat, setir dipegang sama Ian. Masih juga seperti kemarin berangkat, saya coba menemani dengan ngobrol dari Z sampai A. Suasananya sudah tidak sepanas siang atau segerah ketika di WI. Lebih dingin, segar, dan nyaman. Meski beberapa kali harus mencoba-coba jalur alternatif, secara dik sopir tidak biasa menunggui jalanan yang macet. Tapi, lagi-lagi mata saya sudah tiarap-tiarap, tidak sanggup lagi untuk terjaga. Akhirnya dengan sangat terpaksa saya terlelap dan tak ingat apa-apa lagi.
Saya terbangun ketika sudah sampai di Wates, lalu mampir di warung makan secara saya tidak tega membiarkan teman-temanku kelaparan sampai rumah. Mungkin karena kebaikan saya ini, Jamal dan teman-teman berkenan mengantarkan saya sampai jalan sempit depan rumah. Jadi terharu, apalagi saya cuma bisa bersalaman ala mahasiswa pergerakan, mengucap terima kasih, dan ber-say good bye. Senang bisa bekerja sama dengan kalian …
Yogyakarta, 6 Maret 2007
0 komentar:
Post a Comment