Kiprah perempuan mungil itu memang tidak bisa dipisahkan dari teenlit (teen literature) pesantren atau yang kadang disebut novel pop pesantren.
Nur Ismah, nama perempuan kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 23 Desember 1978 ini, adalah Manajer Matapena, sebuah divisi di penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.
Matapena khusus menerbitkan karya-karya sastra remaja dari kalangan pesantren dan bercerita tentang remaja pesantren. Namun Ismah bukan sekadar manajer. Penulis dengan nama pena Isma Kazee ini, telah membesut dua teenlit pesantren yaitu
Jerawat Santri (2006) dan
Ja’a Jutek (2007).
Pesantren memang bukan dunia asing bagi Ismah. Pahit manisnya masih membekas hingga sekarang. Maklum, ia menghabiskan tujuh tahun masa remajanya di Pesantren Putri Al-Fathimiyyah, Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
Selepas dari pesantren, Ismah hengkah ke Yogyakarta dan mengambil kuliah di Jurusan Sastra Arab, Universitas Islam Negeri (UIN), Sunan Kalijaga. Kegiatan menulis yang ia pupuk sejak nyantri dan keterlibatannya dalam dunia pers mahasiswa, mengantar Ismah ke dunia kini.
Ismah punya alasan kenapa harus membesarkan teenlit pesantren. “Selain ingin menandingi gaya hidup remaja perkotaan yang ditawarkan teenlit pada umumnya, juga ingin menunjukkan Islam pesantren yang membumi.”
Hal itu ia tunjukkan dalam karyanya. Tengok saja Jerawat Santri. Di situ ada tokoh Mahsa yang memberikan semacam kuliah mengenai reproduksi berdasarkan kaca mata fikih dan psikologi sosial kepada yuniornya, Una.
Contoh lain bisa disimak dalam Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji (2006). Di sana, ada episode ketika tokoh Rara menyatakan poligami. Untuk itu, Rara membantah dan mendebat para senior yang disebutnya sebagai kalangan dombor. “Nah, itu kan bukan sekadar cerita cinta remaja toh?” kilah Nur Ismah.
Ismah menambahkan, ada kisah tentang kearifah Mbah Malaluddin Rumi, dalam Tarian Cinta karya Maia Rosyida. Pesan pokoknya: tak serta-merta memfatwa haram tarian Dahlia yang mirip Toxic-nya penyanyi tenar Britney-Spears. “Kalau novel lain, hal itu pasti haram,” kata Ismah.
Namun dalam cara berbicara, hobi, pakaian, selera musik dan film, jelas Ismah, teenlit pesantren tetap mengikuti pakem zamannya. “Remaja di mana pun, kini memiliki kultur gaul yang pada dasarnya adalah kultur global atau kultur MTV. Televisi jelas menjadi ‘imam’ dari kultur ini,” kata Ismah.
Karena itu, ujar Ismah, banyak orang menilai teenlit pesantren tak beda dengan teenlit pada umumnya. Bahkan dituding tak punya ciri khas. “Penilain ini kalau semata melihat kemasannya,” kata mantan reporter majalah perempuan dan anak MITRA YKF-LKPSM Yogyakarta ini.
Tapi jika ditelesik, kata Ismah, ada ciri khas dalam teenlit pesantren. “Ada semacam pandangan khas pesantren yang membuat ia tidak sekadar jadi cerita cinta remaja saja,” jelasnya.
Banyak tradisi pesantren yang belum diolah jadi cerita. Sebab itu, Ismah yakin bahwa tema-tema pesantren tidak akan pernah habis digali. “Pesantren seperti juga etnik, memiliki lokalitasnya sendiri. Nah, lokalitas-lokalitas itulah yang akan terus kita telusuri.”
Oleh: Hairus Salim dan Gamal Ferdhi
0 komentar:
Post a Comment