Oleh: Ahmad Suaedy
Direktur Eksekutif The WAHID Institute—Jakarta
Dalam konteks pergeseran peran pesantren, fenomena teenlit sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia boleh jadi merupakan buah dari proses perubahan dan terbangunnya sistem baru dari dunia yang pernah dianggap paling kolot itu.
Teenlit (teen literature) pesantren atau sastra pop remaja pesantren boleh jadi merupakan kelanjutan perubahan dunia pesantren yang terlanjur terbuka atas informasi dan tak bisa lagi menolak perubahan. Namun, dunia dan bakat alam mereka seperti luput dari pengamatan banyak pihak. Para santri remaja itu begitu tekun dengan dunia mereka sendiri, tak peduli hiruk-pikuk para orang tua mereka.
Meskipun kini pesantren sedang digempur dari berbagai arah dan ditarik kanan kiri, para santriwan yang suka pakai sarung dan mukena bagi santriwati, itu rela berjam-jam nongkrong di depan komputer.
Mereka menulis, merefleksi dan menggugat lingkungan dan pemikiran dunia mereka sendiri yang selama ini dianggap menyesakkan. Hasilnya adalah novel, cerpen, kumpulan puisi, dan karangan lainnya. Beberapa karya mereka bahkan dibeli oleh production house (PH) untuk diangkat ke sinetron TV.
Dahsyatnya arus informasi melalui berbagai saluran, tidak mungkin dicegah dengan cara apa pun. Internet dengan seluruh situsnya dan TV dengan semua kanal yang ada dengan mudah bisa diakses oleh segala umur. Hanya kesadaran pribadi dan lingkungann yang bisa membimbing mereka. Para penulis remaja itu, adalah di antara mereka yang mampu memanfaatkan arus informasi tersebut dengan maksimal untuk memproduksi gagasan.
Dilihat dari bahasa, jalan cerita, istilah yang digunakan, tak ada bedanya dunia para penulis pesantren ini dengan sastra pop remaja atau teenlit umumnya. Bedanya novel-novel itu banyak mengambil setting pesantren. Tak sedikit yang memakai term-term kutab kuning, menyinggung kehidupan agama, terkadang berupa kritik dengan sangat tajam.
Para santri remaja nan kreatif ini tentu harus terus didorong. Mereka sedang mencari dunia mereka sendiri dengan menggunakan referensi yang mereka pelajari di pesantren. Hal ini lalu mereka kaitkan dengan realitas yang mereka serap dari dunia nyata.
***
Dalam konteks pergeseran peran pesantren, fenomena teenlit sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia boleh jadi merupakan buah dari proses perubahan dan terbangunnya sistem baru dari dunia yang pernah dianggap paling kolot itu. Sejak digagas oleh Gus Dur dan kawan-kawan atas dunia pesantren dan Nahdhatul Ulama, gerakan pembaharuan itu bergulis terus hingga kini, melampaui apa yang dipikirkan saat itu.
Di pelbagai daerah, dari tingkat kecamatan hingga desa, di kawasan basis pesantren, para santri umunya punya komunitas tersendiri. Terbentuklah berbagai kelompok, seperti kelompok remaja, pelajar, dan mahasiswa yang berlatar belakang pesantren. Ada kelompok diskusi, kajian kitab kuning, bahtsul masail sampai kelompok advokasi serta tulis-menulis sampai pendidikan alternatif.
Tengok saja di ‘sekolah alternatif’ SMP dan SMU Qoryah Tayyibah, di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Di sekolah yang baru empat tahun berdiri itu, lahir tiga penulis berbakat, yaitu Maia Rosyida, Fina Af’idatussofa dan Upik. Sekolah ini dikelola dengan pendekatan semacam komunitas riset untuk anak-anak seusia pelajar. Mereka diberi fasilitas internet 24 jam sehari dan perpustakaan, serta dipersilakan untuk memilik topik kajian secara orang per orang dan kelompok. Tetapi setiap zuhur dan ashar mereka wajib berjamaah bersama dan di malam hari harus mengikuti sekolah diniyah di pesantren desa itu. Dan, guru hanya berfungsi sebagai pembimbing.
Komunitas Azan di desa Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat lain lagi. Kelompok yang dipimpin Acep Zamzam Noor, yang bergerak di wilayah kajian sastra, telah melahirkan puluhan seniman dan penulis. Bersama seniman di Tasikmalaya lainnya, mereka berhasil meyakinkan pemerintah daerah untuk mendirikan Gedung Kesenian, sejak 6 tahun lalu. Konon, ini adalah Gedung Kesenian pertama di Kabupaten di Indonesia.
Lambat-laun terbangun pula sistem penerbitan, percetakan, dan pemasaran. Penghargaan untuk para penulis, pemantauan bakat, dan mobilisasi karya-karya mereka makin digalakkan. Saya jadi ingat kata-kata Gus Dur suatu saat pada tahun 70-an di Institue Teknologi Bandung (ITB) bahwa kebangkitan Islam hanya akan terjadi jika telah ada kebebasan berkreasi dan kebebasan berekspresi di dunia Islam.
0 komentar:
Post a Comment