Road Show pun dimulai. Matapena segera meluncur ke kota Jombang, tempat Pondok Pesantren Tebuireng dan Pondok Pesantren Tambakberas berdiri. Pukul 21.00-an mobil Matapena keluar dari garasi. Acara pertama adalah jemput-menjemput. Dari menjemput Pijer di Pondok Nurul Ummah, dilanjutkan ke tempat Mas Fikri. Jalanan sudah mulai sepi, apalagi cuacanya yang memang agak gerimis. Berrrr! Dingin! Membuat setiap orang memilih mengenakan kostum malem—celana, kaos, ples jaket item. Ples, satu menu tambahan lagi. Mau tahu? Bantal. Hehehe, tahu aja sih kesukaan kami! Berenam (Jamal, Mas Fikri, Zaki, Shachree, Pijer, dan saya), rombongan Matapena meninggalkan Jogja. Sampai di Ngawi, kami ngaso sebentar, makan minum di angkringan khas sana. Pukul 03.40-an WIB atau menjelang subuh, mendaratlah kami di Jombang. Sepiii banget. Acara pertama jelas menghubungi Kang Ipeng, sudah siap belom tempat buat istirahatnya. Syukurlah, sidah sip. Kami pun langsung meluncur ke Tebuireng, tepatnya Wisma AFI (AFI banget gitu loh) yang kebetulan lokasinya berseberangan sama PP Tebuireng. Untuk mandi, nyelonjorin kaki, merebahkan badan, dll. Biar besok, pas ‘konser’ di pesantren, sudah bener-bener seger dan menarik! Bedah Buku “Santri Semelekete” (PP Tebuireng Jombang, Jumat 23 Desember 2005) Acara yang rencananya akan dimulai pukul 09.00 ternyata molor. Sambil menunggu, kami duduk-duduk di ‘semacam halte’ dekat parkiran di halaman depan tempat pertemuan. Kebanyakan santri, putera dan puteri, masih ramai mengerumuni gelaran buku-buku Pustaka Pesantren dan Matapena. Baik sebagai pembeli atau sekadar mengamat-amati judul-judul yang ditawarkan. Ada yang berpakaian rapi, ada juga yang masih pakai seragam khas santri. Sarungan! Kelamaan menunggu, padahal Jum’at kan hari pendek, saya dan kawan-kawan pun menuju aula di lantai dua. Siapa tahu bisa segera dimulai. Tetapi, sampai di aula yang sudah digelari karpet hijau itu, ternyata masih kosong. Cuma ada beberapa orang panitia yang sibuk membetulkan mikrofon yang katanya bermasalah. Baru ketika mikrofonnya bisa buat berhalo-halo, satu per satu santri mulai berdatangan. Baik santri putera maupun puteri. Rupanya mereka boleh nyampur dalam satu ruangan, dengan lokasi duduk berseberangan. Mereka adalah para santri yang sekolah di SMU, dan beberapa yang sudah mahasiswa. Eh, istilahnya kok SMU ya, bukan Aliyah? Menurut salah seorang dari santri puteri, di PP Tebuireng ada SMU dan Aliyah. Yang sekolah di SMU boleh cowok boleh cewek, tapi kalau Aliyah cuma buat santri cowok. Begitu ya? Sebenarnya saya masih mau tanya-tanya lagi, eh tuh mbak santri malah balik nanya, “Mbaknya utusan dari sekolah mana?” Hehehe. Jadi lupa deh mau nanya apa lagi. GR sih! Tepat pukul 10.00 WIT (Waktu Indonesia Tebuireng) acara yang dihadiri oleh kurang lebih 40 santri itu pun dimulai. Pertama, pakai acara sambutan-sambutan, dari Matapena juga KISS. Kemudian masuk ke acara Bedah Buku “Santri Semelekete”. Eh, ini mesti diralat. Soalnya kan Baroroh nggak ikut. Lagi pula, konsep awalnya kan Temu Penulis Matapena. Dari moderator, Zaki mendapat kesempatan untuk ngomong duluan, kemudian Shachree, Pijer, dan Redaktur Matapena. Di samping menceritakan apa yang sudah mereka tulis dalam novel-novel Matapena, mereka juga menyebarkan virus menulis ke para santri. “Saya saja yang bukan santri, sudah punya anak satu, bisa menulis tentang pesantren, apalagi temen-temen yang sudah jelas-jelas nyantri. Masak dari Tebuireng yang sebesar ini nggak ada yang bisa,” begitu Shachree ngompori mereka habis-habisan. Selain itu, mereka juga menuturkan proses kreatif kepenulisan mereka. Usai mendengarkan ceramah dari penulis, seperti biasa acara dilanjutkan dengan dialog. Dilihat dari pertanyaan-pertanyaan mereka, rupanya mereka lebih tertarik menyoal tentang dunia tulis-menulis daripada membedah karya-karya yang sudah dihasilkan Zaki dkk. Wah, pertanda bagus nih. Welcome, mbak-mas, di dunia kepenulisan! Usai dialog acara ditutup. Pukul 11.10 WIT. Peluncuran Novel Pop Pesantren Matapena (Aula Yayasan PP Bahrul Ulum Tambakberas, Jum'at 23 Desember 2005) Dari Tebuireng, habis Jum’atan, habis cek out, habis makan nasi pecel di kota Jombang, kami menuju Tambakberas. Langsung ke Aula Yayasan PP Bahrul Ulum. Jadi, di Bahrul Ulum Tambakberas ini ada kurang lebih 15 pondok pesantren dengan kiai pengasuh masing-masing. Lembaga pendidikannya juga lengkap, dari TK, MI, SMP, MTsN, MTs Plus, SMA, MAN, MA Plus, MA PK, Muallimin Muallimat, Sekolah Persiapan PT, sampai Sekolah Tinggi BU. Tapi, semuanya menginduk ke Yayasan Bahrul Ulum. Nah, PPP Al-Lathifiyyah adalah satu pondok puteri yang ada di Bahrul Ulum, selain PPP Al-Fathimiyyah yang waktu itu juga kami kunjungi. Sampai di tempat pertemuan, suasananya benar-benar jauh berbeda dengan waktu di Tebuireng. Ramai, berisik, dan banyak suara. Apalagi pas Mas Fikri didaulat untuk sambutan atas nama Matapena. “Cakep…cakep!” “Huaaa….!” “Suit…suit!” Dan, seruan sejenislah yang sanggup mengundang kegeeran. Tak ketinggalan Zaki dan Shachree yang juga laki-laki kebagian teriakan itu. Kasihan Pijer dong hehehe. Pukul 14.00 WIT (Waktu Indonesia Tambakberas) para penulis kembali berbagi cerita. Seperti di Tebuireng, di depan para santri putri Al-Lathifiyyah beserta undangan yang jumlahnya kurang lebih 100-an jiwa, mereka juga menceritakan sedikit isi novel mereka dan proses penulisannya. Tapi, mereka lebih banyak membombardir para santri dengan virus menulis. Sementara saya kebagian jatah memoderatori jalannya diskusi. Sesi ngomong ini tidak terlalu lama, karena memang disengaja untuk mengintensifkan sesi dialog. Acara sore itu diakhiri pukul 16.10. Sebenarnya masih ada santri yang mau nanya. Tapi kami masih harus memenuhi undangan ketemu sama komunitas Ikatan Penulis Muda PPP Al-Fathimiyyah Bahrul Ulum. Keluar dari ruangan aula, para penulis langsung diminta untuk ninggalin ‘jejak’ tanda tangan di buku para santri, juga alamat dan nomor Hp! Walhasil, kami nggak bisa buru-buru ke Al-Fathimiyyah mengejar sisa waktu sore. Sementara saya sempat ngobrol sama Pak Faizun, pembimbing santri Al-Lathifiyyah. Menurut beliau, kegiatan seperti ini sangat positif untuk menumbuhkambangkan potensi santri dalam dunia tulis-menulis. “Soalnya kadang kita bingung juga mau menghubungi penerbit mana ketika ada tulisan dari para santri,” lanjutnya. Hubungi Matapena aja, Pak! Atau besok kami hubungi. Oke! Menyapa Ikatan Penulis Muda (PPP Al-Fathimiyyah Bahrul Ulum Tambakberas, Jumat, 23 Desember 2005) Pukul 16.20 barulah kami bisa bebas dari kepungan santri Al-Lathifiyyah II. Dari Aula Yayasan Bahrul Ulum kami berjalan kaki menuju Al-Fathimiyyah yang berjarak kurang lebih 50 meter. Sore itu gerimis, belum lagi jalanannya juga penuh genangan air. Untung ada santri Al-Fathimiyyah yang kebetulan ikut hadir di aula yayasan. Jadi, bisa menunjukkan langkah menghindar dari genangan itu. Kami langsung menuju ke ndalem Neng Ida, ngobrol sebentar sambil menunggu persiapan tempat pertemuan. Ternyata tempat pertemuannya di mushala. Posisinya ada di tengah bangunan pesantren. Para laki-laki tadinya agak kikuk juga ketika harus memasuki sarang ‘penyamin’. Membayangkan kehebohan santri Al-Lathifiyyah yang over yang baru saja dialami. Itu saja tidak di kandang sendiri. Apalagi, sekarang? Bakal di atas over kali ya. Eh, tetapi tak taunya suasananya benar-benar berbeda. Teman-teman tenang-tenang saja menyambut kami. Duduk lesehan tanpa tikar. Empat puluhan orang ada kayaknya. Sementara kami dapat tempat duduk di atas kursi. Kayak pengajian. Tanpa bertele-tele acara langsung dimulai. Yang pertama mendapat kesempatan berbicara adalah Mas Fikri. Intinya memperkenalkan Matapena dan ngajak temen-temen untuk menulis. Dilanjut dengan sedikit sharing pengalaman dari para penulis. Sayangnya memang tidak bisa lama-lama, waktunya sudah mepet maghrib. Belum ada dialog sama mereka. Akhirnya dengan terpaksa cuma bisa kasih kesempatan ke satu orang untuk bertanya. Padahal, mereka pada rame-rame tunjuk tangan lho… Tapi, apa mau dikata. Waktu memang bergerak begitu cepat. Pas azan Maghrib, ngobrol bareng anak-anak IPM pun harus disudahi. Saya and the geng berpamitan. Menyudahi serangkaian ‘sapaan’ di Jombang. Bye bye… semoga kita bisa ketemu lain hari. Amiin.
Monday, December 26, 2005
The First Road Show ... to Jombang
by matapena di 3:31 PM Monday, December 26, 2005Label: ROADSHOW 0 komentar
Friday, December 23, 2005
Pertemuan Matapena dengan Anak-Anak SMU ...
by matapena di 10:09 AM Friday, December 23, 2005Label: PERTEMUAN 0 komentar
Friday, October 14, 2005
BERITA: Kedaulatan Rakyat, Jumat Wage (14 Oktober 2005)
by matapena di 9:47 AM Friday, October 14, 2005
Karya sastra pop pesantren terbitan Matapena
Tentu yang menarik, mereka yang menulis karya fiksi, paling tidak pernah ‘mencicipi’ dunia pesantren. Kehidupan yang dirasakan, diamati, dibesut dalam kemasan fiksi. Seperti anak muda di pesantren, meski memiliki aturan, tradisi sendiri juga merasakan dunia cinta. Serba-serbi ini menjadi mozaik dunia pesantren yang diungkapkan dengan bahasa popular, bahkan sangat gaul sebagaimana karya fiksi remaja di luar pesantren. “Kami sebenarnya ingin ruang baru bagi penulis muda, karena kami tahu potensi mereka besar. Tentu termasuk potensi pasar yang besar pula,” tandasnya. (Jay)-cLabel: BERITA 3 komentar
Thursday, October 13, 2005
BERITA: Kompas, 13 Oktober 2005
by matapena di 9:07 AM Thursday, October 13, 2005
Zaki Zarung (kanan) tengah menceritakan isi novel karangannya,
Santri Baru Gede, di Sodalounge, Rabu (12/10). Dalam
kesempatan itu, empat novel lain juga ikut di-launching yakni Bola-Bola Santri,
Dilarang Jatuh Cinta, Kidung Cinta Puisi Pegon, dan Santri Semelekete.
____________________________
Kia nggak tahu gimana harus bilang cinta. Trus dengan apa mesti ngomong sayang. Apalagi harus memanjat tembok tinggi yang namanya keamanan. Apa kata santri nanti?
Oleh: Lukas Adi Prasetya
Kia atau yang nama lengkapnya Husna Adzkia itu adalah seorang santri perempuan, yang juga mahasiswi dengan dengan agenda aktivitas yang lumayan banyak. Awalnya, niat Kia memutuskan masuk ke pesantren adalah murni nyantri. Namun, ketika mengenal Haidar, santri putra yang satu pesantren sekaligus satu kampus dengannya, berawal pula kisah cintanya.
Di pesantren, peraturan paling ketat adalah soal pacaran. Keinginan saling berkomunikasi antar mereka akhirnya bermuara pada majalah dinding (mading) di pesantren, yang kebetulan keduanya masuk dalam kepengurusan mading itu. Dan, akhirnya mereka saling bertukar ungkapan dengan puisi pegon (tulisan Arab namun berbahasa non-Arab) pada mading itu. Itu adalah petikan novel berjudul Kidung Cinta Puisi Pegon karya Pijer Sri Laswiji yang di-launching dan dibedah di Sodalounge, Rabu (12/10). Bersamaan dengan itu dibedah pula empat buku lain yakni Santri Baru Gede (karangan Zaki Zarung), Dilarang Jatuh Cinta (karangan S. Tiny), Bola-Bola Santri (karangan Schachree M Daroini), dan Santri Semelekete (karangan Ma’rifatun Baroroh). Lima novel terbitan Matapena (kelompok penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial/LKiS) itu secara umum bernuansa tentang pesantren dan kisah kasih para santrinya. Santri Baru Gede bercerita tentang Raha, santri laki-laki yang menjalin kisah dengan seorang gadis yang berasal dari lingkungan luar pesantren. Sementara Dilarang Jatuh Cinta mengisahkan Zulaikha, santri perempuan yang selalu mempertanyakan jati dirinya karena ia tidak percaya takdir dan cinta. Santri Semelekete menceritakan lika-liku Endang Jumilah alias Enjoy, siswi SMA yang badung. Gadis yang tergabung dalam G@sink (Gadis Sintinx), salah satu geng di SMA itu yang suka berulah tersebut akhirnya dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya. Di pesantren, Enjoy harus membiasakan diri dengan peraturan yang superketat, kegiatan segudang, jilbab, hingga baju gedombrohan. Namun, di lingkungan baru, gadis yang heboh ini sempat pula menaksir salah satu ustadznya. Novel lain, Bola-Bola Santri, berkisah tentang Gus Mada, Gus Hisyam, dan Gus munir yang memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan harga diri warisan kakek mereka yakni pondok dan santri Al-Bakir. Retno Sufatni, Pemimpin Redaksi LKiS dan Nur Isma, Redaktur Matapena menuturkan, lewat lima novel ini mereka ingin mengangkat sisi lain pesantren lewat kacamata santri sendiri. Menurut Retno, lima novel yang disebutnya sastra pop pesantren ini bertujuan untuk mengomunikasikan budaya pesantren dengan budaya lain di luar pesantren, melalui kisah-kisah keseharian para penghuni pesantren (santri). Itulah yang selama ini belum banyak tergali. Padahal, ujar Nurul Huda, Supervisor Pemasaran LKiS, sekarang ada 14.500 lebih pesantren di Indonesia dengan jumlah santri lebih dari 3,5 juta. Segmen ini belum tergarap, khususnya lewat novel. Nurul juga berpendapat, banyak sisi menarik yang bisa diangkat dari pesantren dan bagus untuk dituliskan. Di pesantren, menurut Zaki Zarung yang juga tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta, hubungan antara perempuan dan laki-laki sangat dibatasi. “Padahal, usia santri kan baru kenceng-kencengnya, misalnya saat tertarik dengan lawan jenis. Peraturan pondok yang ketat membuat santri bisa jadi memilih kucing-kucingan untuk mencari-cari waktu karenanya,” kata Zaki. Meski begitu, menyikapi masa remaja, setiap santri mestilah memegang prinsip agar tidak terjebak dalam hal-hal negatif, seperti pergaulan bebas dan narkoba. Juga, dalam pesantren harus pula dibangun sikap kritis dari santri karena itu juga bekal yang perlu didapat. “Saya pun juga melakukan otokritik terhadap pesantren bahwa remaja santri di pesantren jangan sampai apriori terhadap peraturan, tapi bagaimana menyikapi peraturan,” ujar Zaki sambil menambahkan, apabila santri berhadapan dengan dunia luar juga jangan bersikap kaku.Label: BERITA 0 komentar
Wednesday, October 05, 2005
Antara Sarung dan Cinta
by matapena di 4:21 PM Wednesday, October 05, 2005
Judul: Pangeran Bersarung Penulis: Mahbub Jamaluddin Tebal: vi + 412 halaman Cetakan I: Oktober 2005
Filosofi cinta yang ada dalam Pangeran Bersarung mungkin adanya cuma di pesantren. Soalnya, filosofi cintanya coba menunjukkan hubungan antara sarung--kostum khas para santri--dengan cinta. Sarung dan cinta, sama-sama alat yang bisa digunakan untuk hal positif, atau malah mencelakakan, tergantung bagaimana si empunya menggunakan dua alat itu. Seperti Puji yang pada mulanya bersikap hati-hati dengan yang namanya cinta. Apalagi kata Suryo, teman pondoknya, cinta itu sejenis sama cewek yang bisa bikin mati kreativitas. Akan membayang-bayangi dan menyiksa. Makan enggak enak, tidur enggak lelap. Walhasil mengganggu proses belajar dan ngaji kan. Jadilah Puji menghindar dari Sofi yang diam-diam dicintainya. Ia juga tidak ambil pusing dengan Puspa yang blak-blakan bilang suka ke dirinya. Bahkan, ia bolos tidak sekolah untuk menghindari berhubungan dengan cewek. Wah, tambah kacau kan? Ini sama saja Puji memakai sarungnya buat gantung diri, bukan menutupi aurat. Untunglah bapaknya yang mantan playboy itu segera dimunculkan ke pondok. Ia menurunkan ilmu tentang konsep ‘witing tresno’-nya kepada sang anak. Karena wit / pohon itu bisa tumbuh baik dengan dipupuk, begitu pun dengan cinta. Sama persis dengan kasus perasaan Puji ke Puspa yang mulanya biasa-biasa saja. “Kalau kamu gunakan cinta itu untuk mengisi ruhmu, dan kamu arahkan pada kebaikan dan hal-hal positif, ia akan menjadi tenaga supersonik yang membuatmu melesat bagai pesawat," begitu kata si bapak. ;))
Label: NOVEL TERBIT 0 komentar
Monday, October 03, 2005
Dari Gunungkidul "Dilarang Jatuh Cinta" Meluncur
by matapena di 10:51 AM Monday, October 03, 2005
Label: ROADSHOW 0 komentar
Sunday, August 21, 2005
Kalau Santri Baru Gede ...
by matapena di 1:39 PM Sunday, August 21, 2005
Label: NOVEL TERBIT 0 komentar
Saturday, August 20, 2005
Banyak Jalan Menuju Cinta
by matapena di 1:29 PM Saturday, August 20, 2005
Judul: Kidung Cinta Puisi Pegon
Penulis: Pijer Sri Laswiji
Tebal: vi + 222 hlm
Cetakan I: Agustus 2005Seperti banyak jalan menuju Roma, banyak juga jalan menuju cinta. Rutenya macam-macam, dan setiap orang punya cara tempuh sendiri-sendiri. Apalagi cinta di pesantren, lingkungan yang membatasi pertemuan antara laki-laki dan perempuan, kecuali ada kepentingan organisasi atau kepentingan bersama lainnya. Maka, jangan heran juga kalau para santri ternyata tak kalah kreatif, memanfaatkan media untuk melakukan “pertemuan” cinta. Sebut saja Yeni yang memanfaatkan kantin pondok sebagai pos gratis untuk kiriman parcel. Ada juga yang memanfaatkan jam bebas usai kuliah untuk menemani sang pacar jalan-jalan ke mall. Atau, banyak juga yang berkomunikasi dengan Hp yang dititipin ke teman di luar pondok. Dengan risiko kalau ketahuan, pasti kena sita. Itulah sedikit dari uniknya “curi-curi” para santri dalam Kidung Cinta Puisi Pegon. Termasuk jalan cinta versi Kia dan Haidar lewat jalur kekuatan bahasa, yang dituliskan dalam barisan Puisi Pegon. Tahu Pegon kan? Itu, jenis tulisan Indonesia atau Jawa yang memakai abjad-abjad Arab dari alif sampai ya’ untuk menuliskannya. Jadi, bukan memakai abjad a sampai z seperti biasa berlaku. Nah, lewat satu rubrik puisi di mading inilah Kia mengenal cinta dan melakukan komunikasi hati dengan “kekasih”-nya, Haidar. Kebetulan Kia dan Haidar terlibat dalam program pertukaran mading antara pondok puteri dan putera. Tapi, namanya bahasa puisi, maknanya kadang susah juga buat dipahami. Walhasil, hati Kia dan Haidar tetap belum menemukan kepastian kalau mereka saling mencintai. Sementara untuk bertanya langsung, meski beberapa kali keduanya bertemu, baik di ruang tamu untuk urusan mading ataupun di kampus di sela-sela perkuliahan, Kia dan Haidar sama-sama tak melakukannya. Tentu karena beberapa alasan. Episode cinta dalam diam pun terus berlangsung. Sampai kemudian Kia dihadapkan pada jalan menuju cinta yang lain. Kia diminta oleh Ibu Nyai untuk menikah dengan Gus Luthfi, putera kiai pondok lain. Satu jalan cinta yang bagi kebanyakan santri adalah prestise dan sekali pun Kia tak pernah memimpikannya. ;)
Label: NOVEL TERBIT 0 komentar
Friday, August 19, 2005
Mengintip Bola-Bola Kehidupan Pesantren
by matapena di 1:19 PM Friday, August 19, 2005Label: NOVEL TERBIT 0 komentar
Tuesday, August 16, 2005
Semelekete Masuk Pesantren
by matapena di 4:12 PM Tuesday, August 16, 2005
Label: NOVEL TERBIT 0 komentar
Tentang Cinta yang Dramatis
by matapena di 11:54 AM
Judul: Dilarang Jatuh Cinta
Penulis: S.tiny
Tebal: xii + 130 hlm.
Cetakan I: Agustus 2005
Seperti apa sih cinta yang dramatis itu? Mencintai orang yang tidak mencintai kita? Diduakan, dikhianati, atau diputus cinta oleh orang yang kita cintai? Atau, memendam perasaan mendalam pada orang yang tak tahu-menahu perasaan kita? Terus orang itu malah memilih temen kita sendiri untuk jadi kekasihnya? Apa pun itu, kisahnya bisa bermacam-macam. Termasuk kisah Zulaikha yang dituliskan oleh S.tiny, penulis asal Gunung Kidul ini. Pada bagian awal novel, Tiny menggambarkan sosok Zulaikha sebagai cewek yang tak pernah mendapatkan “cinta”--–dalam arti kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, menentukan keinginannya, juga menemukan makna terdalam cinta dari orang tuanya, Raden Mas Gus Zulkifli, yang selain seorang pengusaha besar juga seorang kiai pemilik sebuah pesantren. Pantesan kalau Zulaikha sampai dibikin seperti kena asma. Ngiiik…ngiiik…ngiiik. Hasilnya, Zulaikha nyaris tak pernah belajar cinta, bahkan ia tak percaya cinta. Hingga, ia bertemu Zulkarnain. Dan, Zulaikha pun mulai berkenalan dengan cinta. Meski ia harus tersiksa dengan berbagai aksi gerilya. Mulai dari serunya panjat-lompat pagar (kebayang kan?), panasnya dunia gangster, dan usaha menutup rapat-rapat telinganya dari amukan sang ayah. Tapi tragisnya, ia harus kecewa karena pengkhianatan Zulkarnain. Ia kecewa karena cinta yang diimpikannya ternyata justru membuatnya tak lagi punya cinta. Hanya Amar yang kemudian bisa membuat semangatnya untuk belajar cinta tumbuh kembali. Amar yang dikenalnya hanya lewat tulisan surat, pengantar dokumen Zulaikha yang ditemukannya. Meskipun tak pernah bertemu muka, ia yakin inilah cinta yang sebenarnya. Karena cinta bukan hanya kesenangan jalan bersama, bukan hanya kebanggaan popularitas. Juga tidak memandang fisik, materi, apalagi demi gengsi. Tapi, lagi-lagi Zulaikha harus kecewa. Setelah perjuangan yang panjang berhadapan dengan ayah yang terlalu rapuh membalas kekalahan masa lalunya dan sejarah heroik seorang anak manusia yang bergerilya memperjuangkan kemerdekaannya. Zulaikha harus menyerah pada kenyataan bahwa Amar yang bernama asli Sulaiman itu cukuplah hanya bias menjadi saudara seayahnya. Meskipun Sulaiman pernah bilang, “Sayang, jangan katakan pada siapa pun. Sebenarnya aku selalu berdoa, semoga kita ini tidak benar-benar saudara ….” ;)
Label: NOVEL TERBIT 3 komentar
Tuesday, August 02, 2005
Yang Bertabur dari Bilik-Bilik Santri
by matapena di 9:38 AM Tuesday, August 02, 2005
Label: BERITA 0 komentar
Friday, July 01, 2005
Selamat Datang....
by matapena di 11:47 AM Friday, July 01, 2005Secara ideal, Matapena ingin melengkapi tawaran gaya hidup remaja yang sudah banyak dituliskan dalam beberapa novel karya para remaja yang lain. Paling tidak di antara sekian banyak gaya hidup itu, ada gaya hidup yang tak kalah unik dan menarik untuk diapresiasi, contohnya saja gaya hidup santri dan pesantren.
Diluncurkan sejak Agustus 2005 dengan enam novel pertamanya:
1. Santri Semelekete
MA’RIFATUN BAROROH, kelahiran Magelang, 25 April 1986. Beberapa karyanya dimuat di Kuntum, Horison, Fadilah, Muslimah dan lain-lain. Santri Semelekete adalah novel pertamanya.
2. Santri Baru Gede
Zaki Zarung, cowok Bali alias Bantul Asli. Kelahiran 30 Juli 1982. Sampai sekarang masih nyantri di PP Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. Aktif juga di Komunitas Sangkal, tempat mangkal para santri berdasi eh, yang suka sastra en teater di pondoknya. Kebetulan juga Santri Baru Gede adalah novel pertamanya.
3. Kidung Cinta Puisi Pegon
Pijer, Sri Laswiji, cewek Reli alias Rembang Asli. Kelahiran 01 Juni 1983. Nggondol sarjana pendidikan Bahasa Arab dari UIN Sunan Kalijaga tahun 2004 kemaren. Masih berstatus sebagai santri Ponpes Nurul Ummah kotagede. Kidung Cinta Puisi pegon juga novel pertamanya.
4. Bola-Bola Santri
SAKRI M. DAROINI, lahir Di Madiun, 16 JULI 1980. Bola-Bola Santri adalah karyanya. Sampai sekarang masih aktif di teater Eska UIN Sunan Kalijaga.
5.Pangeran Bersarung
Mahbub Djamaluddin. Cah Kebumen asli. Kelahiran 15 Februari 1980. Kuliah di Fisipol, UGM Yogyakarta, belum juga selesai. Pernah dondon ngetel di PP Al-Huda, Jetis Kutosari Kebumen, dan PP Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.
6. Dilarang Jatuh Cinta
S. Tini, cewek manis kelahiran Gunung Kidul, 27 Agustus 1985. Lulusan MAN Wonosari yang nyasar ke pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang semester tujuh. Sama dengan yang lain, Dilarang Jatuh Cinta adalah novel pertamanya.
Selain melakukan roadshow ke pesantren-pesantren, mengajak teman-teman santri dan remaja pada umumnya untuk menulis dengan menawarkan Komunitas Matapena dan program pendampingan tulis-menulis. Matapena juga memberikan layanan profesional untuk: fasilitator pelatihan penulisan sastra, karya ilmiah, dan jurnalistik.
Terima kasih...
Label: informasi 0 komentar

