Monday, October 03, 2005

Dari Gunungkidul "Dilarang Jatuh Cinta" Meluncur

Monday, October 03, 2005
“Dilarang Jatuh Cinta, nggak ada maksud ngelarang cinta, tapi bikin kamu percaya cinta.” Begitu, S.tiny membacakan kembali tulisan di backcover buku Dilarang Jatuh Cinta (DLJC), pas acara peluncuran novel karyanya di Gunungkidul. Semua peserta yang kebanyakan para ABG itu kontan bertepuk tangan heboh. Mereka adalah siswa-siswi MAN Wonosari, dari kelas satu sampai kelas tiga, ditambah undangan perwakilan dari SMU lain di Gunung Kidul. Enggak cuma mereka lho, ikut meramaikan juga lima penulis novel Matapena yang lain, Shachree, Mahbub, Baroroh, Zaki, dan Pijer. Apalagi ketika Mahbub dan Baroroh berpasangan membaca novel Santri Semelekete, acara yang digelar Sabtu, 1 Oktober 2005 di Aula MAN Wonosari itu tak ubahnya panggung pentas seniman kenamaan.

Eh, tapi ngapain sih sampe Gunung Kidul segala. Padahal, menggebrak Gunung Kidul dengan peluncuran buku mungkin dipandang cukup unik dan langka. Seperti juga diakui oleh bagian kesiswaan MAN Wonosari, Drs. Andar Prasetyo, setidaknya untuk level MAN sendiri. “Kita belum pernah mengadakan kegiatan seperti ini,” jelasnya. Ternyata usut punya usut, sang penulis yang juga kelahiran Gunungkidul, 27 Agustus 1985 ini merupakan lulusan MAN Wonosari tiga tahun lalu. Nah, kebayang kan bagaimana harunya para guru mendapati kenyataan anak didik mereka sanggup melahirkan satu karya. Kebanggaan ini secara tegas juga disampaikan oleh Drs. H. Ya’kub, kepala MAN Wonosari bahwa entoh dari Gunungkidul yang ‘seperti itu’ lahir juga seorang penulis. “Kalau S.tiny saja bisa kenapa yang lain tidak bisa,” tambah Andar Prasetyo memberikan semangat ke adik-adik kelas S.tiny untuk menulis.

“Lalu bagaimanakah proses kreatif Mbak ketika menulis novel ini,” tanya seorang siswa dari MAN Wonosari dalam sesi dialog. Pertanyaan sejenis juga dilontarkan oleh beberapa siswa yang lain. Termasuk berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses penulisan. “Dua minggu,” jawab S.tiny. Ia juga menambahkan kalau ke mana pun ia pergi tak pernah lepas dari pulpen dan kertas. “Untuk menulis setiap ide yang tiba-tiba muncul,” jelasnya.

Acara yang digelar dari pukul 10.30 sampai pukul 14.00 ini disemarakkan juga dengan pembagian dorprize buku-buku baru Matapena dan Pustaka Pesantren, untuk setiap penanya dan komentator. Dilanjutkan dengan acara tasyakuran di tempat terpisah, di Trowono Paliyan, Karangasem, Gunungkidul. Tak kalah meriahnya, di rumah penulis ini untuk kedua kalinya acara peluncuran DLJC kembali digelar dengan iringan musik gamelan. “Sekadar mengingatkan akan tradisi masyarakat Jawa,” tutur Bu Lurah dalam sambutannya. Ia juga menyampaikan rasa bangganya atas prestasi yang telah diraih oleh salah satu puteri Gunungkidul, menulis sebuah novel. “Tapi ini baru permulaan, bukan yang terakhir,” tegasnya mantap, tentu saja untuk lahirnya karya-karya inovatif yang lain dari tangan-tangan anak negeri cadas itu. ;)

0 komentar: