Monday, December 26, 2005

The First Road Show ... to Jombang

Monday, December 26, 2005

Akhirnya, datang juga deh kesempatan buat Matapena menyapa teman-teman santri. Melihat lebih dekat seperti apa kehidupan mereka yang diam-diam menawarkan keunikan itu. Sudah pasti juga dong, Matapena juga punya keinginan menggandeng mereka untuk jadi penulis. Penulis bagi dunia mereka sendiri, untuk diri sendiri juga orang lain. Catet!
Road Show pun dimulai. Matapena segera meluncur ke kota Jombang, tempat Pondok Pesantren Tebuireng dan Pondok Pesantren Tambakberas berdiri.
Pukul 21.00-an mobil Matapena keluar dari garasi. Acara pertama adalah jemput-menjemput. Dari menjemput Pijer di Pondok Nurul Ummah, dilanjutkan ke tempat Mas Fikri. Jalanan sudah mulai sepi, apalagi cuacanya yang memang agak gerimis. Berrrr! Dingin! Membuat setiap orang memilih mengenakan kostum malem—celana, kaos, ples jaket item. Ples, satu menu tambahan lagi. Mau tahu? Bantal. Hehehe, tahu aja sih kesukaan kami!
Berenam (Jamal, Mas Fikri, Zaki, Shachree, Pijer, dan saya), rombongan Matapena meninggalkan Jogja. Sampai di Ngawi, kami ngaso sebentar, makan minum di angkringan khas sana. Pukul 03.40-an WIB atau menjelang subuh, mendaratlah kami di Jombang. Sepiii banget. Acara pertama jelas menghubungi Kang Ipeng, sudah siap belom tempat buat istirahatnya. Syukurlah, sidah sip. Kami pun langsung meluncur ke Tebuireng, tepatnya Wisma AFI (AFI banget gitu loh) yang kebetulan lokasinya berseberangan sama PP Tebuireng. Untuk mandi, nyelonjorin kaki, merebahkan badan, dll. Biar besok, pas ‘konser’ di pesantren, sudah bener-bener seger dan menarik!
Bedah Buku “Santri Semelekete” (PP Tebuireng Jombang, Jumat 23 Desember 2005)
Acara yang rencananya akan dimulai pukul 09.00 ternyata molor. Sambil menunggu, kami duduk-duduk di ‘semacam halte’ dekat parkiran di halaman depan tempat pertemuan. Kebanyakan santri, putera dan puteri, masih ramai mengerumuni gelaran buku-buku Pustaka Pesantren dan Matapena. Baik sebagai pembeli atau sekadar mengamat-amati judul-judul yang ditawarkan. Ada yang berpakaian rapi, ada juga yang masih pakai seragam khas santri. Sarungan!
Kelamaan menunggu, padahal Jum’at kan hari pendek, saya dan kawan-kawan pun menuju aula di lantai dua. Siapa tahu bisa segera dimulai. Tetapi, sampai di aula yang sudah digelari karpet hijau itu, ternyata masih kosong. Cuma ada beberapa orang panitia yang sibuk membetulkan mikrofon yang katanya bermasalah. Baru ketika mikrofonnya bisa buat berhalo-halo, satu per satu santri mulai berdatangan. Baik santri putera maupun puteri. Rupanya mereka boleh nyampur dalam satu ruangan, dengan lokasi duduk berseberangan. Mereka adalah para santri yang sekolah di SMU, dan beberapa yang sudah mahasiswa.
Eh, istilahnya kok SMU ya, bukan Aliyah? Menurut salah seorang dari santri puteri, di PP Tebuireng ada SMU dan Aliyah. Yang sekolah di SMU boleh cowok boleh cewek, tapi kalau Aliyah cuma buat santri cowok. Begitu ya? Sebenarnya saya masih mau tanya-tanya lagi, eh tuh mbak santri malah balik nanya, “Mbaknya utusan dari sekolah mana?” Hehehe. Jadi lupa deh mau nanya apa lagi. GR sih!
Tepat pukul 10.00 WIT (Waktu Indonesia Tebuireng) acara yang dihadiri oleh kurang lebih 40 santri itu pun dimulai. Pertama, pakai acara sambutan-sambutan, dari Matapena juga KISS. Kemudian masuk ke acara Bedah Buku “Santri Semelekete”. Eh, ini mesti diralat. Soalnya kan Baroroh nggak ikut. Lagi pula, konsep awalnya kan Temu Penulis Matapena.
Dari moderator, Zaki mendapat kesempatan untuk ngomong duluan, kemudian Shachree, Pijer, dan Redaktur Matapena. Di samping menceritakan apa yang sudah mereka tulis dalam novel-novel Matapena, mereka juga menyebarkan virus menulis ke para santri. “Saya saja yang bukan santri, sudah punya anak satu, bisa menulis tentang pesantren, apalagi temen-temen yang sudah jelas-jelas nyantri. Masak dari Tebuireng yang sebesar ini nggak ada yang bisa,” begitu Shachree ngompori mereka habis-habisan. Selain itu, mereka juga menuturkan proses kreatif kepenulisan mereka.
Usai mendengarkan ceramah dari penulis, seperti biasa acara dilanjutkan dengan dialog. Dilihat dari pertanyaan-pertanyaan mereka, rupanya mereka lebih tertarik menyoal tentang dunia tulis-menulis daripada membedah karya-karya yang sudah dihasilkan Zaki dkk. Wah, pertanda bagus nih. Welcome, mbak-mas, di dunia kepenulisan! Usai dialog acara ditutup. Pukul 11.10 WIT.
Peluncuran Novel Pop Pesantren Matapena (Aula Yayasan PP Bahrul Ulum Tambakberas, Jum'at 23 Desember 2005)
Dari Tebuireng, habis Jum’atan, habis cek out, habis makan nasi pecel di kota Jombang, kami menuju Tambakberas. Langsung ke Aula Yayasan PP Bahrul Ulum. Jadi, di Bahrul Ulum Tambakberas ini ada kurang lebih 15 pondok pesantren dengan kiai pengasuh masing-masing. Lembaga pendidikannya juga lengkap, dari TK, MI, SMP, MTsN, MTs Plus, SMA, MAN, MA Plus, MA PK, Muallimin Muallimat, Sekolah Persiapan PT, sampai Sekolah Tinggi BU. Tapi, semuanya menginduk ke Yayasan Bahrul Ulum. Nah, PPP Al-Lathifiyyah adalah satu pondok puteri yang ada di Bahrul Ulum, selain PPP Al-Fathimiyyah yang waktu itu juga kami kunjungi.
Sampai di tempat pertemuan, suasananya benar-benar jauh berbeda dengan waktu di Tebuireng. Ramai, berisik, dan banyak suara. Apalagi pas Mas Fikri didaulat untuk sambutan atas nama Matapena. “Cakep…cakep!” “Huaaa….!” “Suit…suit!” Dan, seruan sejenislah yang sanggup mengundang kegeeran. Tak ketinggalan Zaki dan Shachree yang juga laki-laki kebagian teriakan itu. Kasihan Pijer dong hehehe.
Pukul 14.00 WIT (Waktu Indonesia Tambakberas) para penulis kembali berbagi cerita. Seperti di Tebuireng, di depan para santri putri Al-Lathifiyyah beserta undangan yang jumlahnya kurang lebih 100-an jiwa, mereka juga menceritakan sedikit isi novel mereka dan proses penulisannya. Tapi, mereka lebih banyak membombardir para santri dengan virus menulis. Sementara saya kebagian jatah memoderatori jalannya diskusi. Sesi ngomong ini tidak terlalu lama, karena memang disengaja untuk mengintensifkan sesi dialog.
Acara sore itu diakhiri pukul 16.10. Sebenarnya masih ada santri yang mau nanya. Tapi kami masih harus memenuhi undangan ketemu sama komunitas Ikatan Penulis Muda PPP Al-Fathimiyyah Bahrul Ulum.
Keluar dari ruangan aula, para penulis langsung diminta untuk ninggalin ‘jejak’ tanda tangan di buku para santri, juga alamat dan nomor Hp! Walhasil, kami nggak bisa buru-buru ke Al-Fathimiyyah mengejar sisa waktu sore. Sementara saya sempat ngobrol sama Pak Faizun, pembimbing santri Al-Lathifiyyah. Menurut beliau, kegiatan seperti ini sangat positif untuk menumbuhkambangkan potensi santri dalam dunia tulis-menulis. “Soalnya kadang kita bingung juga mau menghubungi penerbit mana ketika ada tulisan dari para santri,” lanjutnya. Hubungi Matapena aja, Pak! Atau besok kami hubungi. Oke!
Menyapa Ikatan Penulis Muda (PPP Al-Fathimiyyah Bahrul Ulum Tambakberas, Jumat, 23 Desember 2005)
Pukul 16.20 barulah kami bisa bebas dari kepungan santri Al-Lathifiyyah II. Dari Aula Yayasan Bahrul Ulum kami berjalan kaki menuju Al-Fathimiyyah yang berjarak kurang lebih 50 meter. Sore itu gerimis, belum lagi jalanannya juga penuh genangan air. Untung ada santri Al-Fathimiyyah yang kebetulan ikut hadir di aula yayasan. Jadi, bisa menunjukkan langkah menghindar dari genangan itu. Kami langsung menuju ke ndalem Neng Ida, ngobrol sebentar sambil menunggu persiapan tempat pertemuan.
Ternyata tempat pertemuannya di mushala. Posisinya ada di tengah bangunan pesantren. Para laki-laki tadinya agak kikuk juga ketika harus memasuki sarang ‘penyamin’. Membayangkan kehebohan santri Al-Lathifiyyah yang over yang baru saja dialami. Itu saja tidak di kandang sendiri. Apalagi, sekarang? Bakal di atas over kali ya. Eh, tetapi tak taunya suasananya benar-benar berbeda. Teman-teman tenang-tenang saja menyambut kami. Duduk lesehan tanpa tikar. Empat puluhan orang ada kayaknya. Sementara kami dapat tempat duduk di atas kursi. Kayak pengajian.
Tanpa bertele-tele acara langsung dimulai. Yang pertama mendapat kesempatan berbicara adalah Mas Fikri. Intinya memperkenalkan Matapena dan ngajak temen-temen untuk menulis. Dilanjut dengan sedikit sharing pengalaman dari para penulis. Sayangnya memang tidak bisa lama-lama, waktunya sudah mepet maghrib. Belum ada dialog sama mereka. Akhirnya dengan terpaksa cuma bisa kasih kesempatan ke satu orang untuk bertanya. Padahal, mereka pada rame-rame tunjuk tangan lho…
Tapi, apa mau dikata. Waktu memang bergerak begitu cepat. Pas azan Maghrib, ngobrol bareng anak-anak IPM pun harus disudahi. Saya and the geng berpamitan. Menyudahi serangkaian ‘sapaan’ di Jombang. Bye bye… semoga kita bisa ketemu lain hari. Amiin.

0 komentar

Friday, December 23, 2005

Pertemuan Matapena dengan Anak-Anak SMU ...

Friday, December 23, 2005
Tanggal, 22 Desember 2005, Matapena mengundang temen-temen setingkat SMA-MAN di Yogya untuk ngobrol soal respon mereka atas lahirnya novel pop pesantren, ples mengajak mereka untuk ikut menulis tentang cerita santri dan pesantren. Tidak diduga-duga, dari dua puluh undangan yang kami antar langsung ke sekolahan, hanya tiga sekolah yang tidak bisa mengikutsertakan anak didiknya. Satu sekolah diwakili oleh dua orang, malah ada yang empat orang lho. Dan, total peserta yang hadir siang itu ada 25 orang. Ini dia mereka:
Faizatul Laili, Alim Sutato, MA Ali Maksum: Irma Mayasarah, Aufa Nuha Ihsani, Pekik N. Sasongko, Rif’an Anwar, MA Nurul Ummah: Siti Fatimah, Nur Ismala Dewi, MA An-Nur Ngrukem: Lina, MAN I Yogyakarta: Rusda Nasyita Rahma, Dyah Ayu Wardani, MAN II Yogyakarta: Ahmad Afandi, Pery Oktriansyah, Muallimin Yogyakarta: Muhammad Ali Fikri, Nur Hakim Ibnu Effendi, SMU Muha II: Cahyo Waskito P.A., Rahmi Bestari, SMU 1 Yogyakarta: Rahmata Novanisa, Aulia Rizdha, SMUN 2 Yogyakarta: Mahaarum Kusuma Pertiwi, Putri Hayu Austina, SMUN 6 Yogyakarta: Huning Margaluwih, Atina Handayani, SMUN 9 Yogyakarta: Hayu Qisthi Adila, Nurina Happy.
“Menarik sekali cerita tentang Santri Baru gede. Ceritanya romantis dengan setting kehidupan pesantren,” Arum memulai komentar setelah membaca novel karya Zaki itu. Ia mengaku selama ini senang membaca novel islami, dan karakteristik novel Matapena ada pada penggabungan antara yang pop dengan pesantren.
Tak jauh berbeda, Qisthi juga merasa surprise ketika membaca Santri Semelekete. “Soalnya saya belum pernah kepikiran ada cerita tentang lesbi, dan yang nggak lurus-lurus di pesantren,” jelas siswi SMU 9 yang katanya pernah jadi santri 2-3 minggu.
Ia juga suka sama cerita Kidung Cinta Puisi Pegon. “Keren banget! Emang model perjodohan yang kayak gitu jadi wah banget ya di pesantren?” tegasnya bertanya. Karena sebelumnya ia belum pernah mendenger cerita perjodohan seperti itu di pesantren. “Saya nggak bisa ngebayangin ada fenomena perjodohan santri. Padahal kayaknya nggak mungkin banget kalau itu diterapkan ke remaja kayak aku. Belum kenal langsung nikah,” lanjutnya sambil tersenyum manis.
Keunikan-keunikan inilah yang sebenarnya ingin ditawarkan oleh Matapena. Seperti dituturkan oleh Mas Fikri dalam pertemuan itu. Bahwa pengalaman remaja di pesantren banyak yang belum disentuh karena selama ini pesantren dianggap sakral, tertutup, terisolir, dan kuper. “Kita ingin mengatakan, orang-orang pesantren tidaklah seperti yang dibayangkan teman-teman. Pengalaman-pengalaman sejenis itu akan kita angkat dengan diksi yang khas. Mereka punya pengalaman dan bagaimana pengalaman ini ditulis,” jelasnya gamblang.
Ia juga menambahkan bahwa di beberapa kota di Jawa Timur, novel Matapena laku terjual. Buku-buku Matapena ada di urutan 1 dari 20 besar penjualan buku kelompok penerbit LKiS. “Respon mereka cukup bagus. Ini berarti remaja di kota membutuhkan perbandingan yang selama ini dianggap kolot,” simpul Mas Fikri kemudian.
Paling tidak respon bagus itu juga ditunjukkan oleh teman-teman SMU yang hadir dalam pertemuan itu. Meskipun tidak sedikit juga yang memberikan kritikan dan masukan. Selain persoalan teknis pilihan font, cover, layout isi, juga variasi tema yang tidak hanya cinta-cintaan melulu.
“Menurut saya novel-novel santri perlu mempublikasikan diri,” Hayu dari SMA 2 coba memberikan masukan. Ini penting untuk membongkar image yang tidak menarik tentang cerita santri, dan bagi Hayu, persoalannya ada pada kurangnya publikasi. Tentu saja ini menjadi PR penting buat Penerbit Matapena selanjutnya. Oke deh! ;))

0 komentar

Friday, October 14, 2005

BERITA: Kedaulatan Rakyat, Jumat Wage (14 Oktober 2005)

Friday, October 14, 2005
Sastra Pop Pesantren Kian Diminati

Yogya (KR) – Sastra pop/populer kian diminati remaja. Minat ini tidak terbatas membaca karya-karya satra tersebut, tetapi juga semakin banyak remaja kita membuat karya fiksi sendiri kemudian diterbitkan. Realitas ini tentu sangat menggembirakan karena sebelumnya karya sastra pesantren masih sangat sedikit dibuat dan mengunjungi pembaca kita. Bahkan dalam pertumbuhan dan percaturan sastra Indonesia kurang diperhitungkan.

Hal ini diungkap oleh Nurul Huda SA, Supervisor Pemasaran Penerbit Matapena (Kelompok Penerbit LKiS), berkait Penerbit Matapena yang meluncurkan 5 novel sekaligus. Novel itu berjudul Santri Semelekete (karya Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung). Peluncuran dilakukan di Sodalounge, Jl Laksda Adisutjipto 43, Rabu (12/10) sore. Menyemarakkan kegiatan tersebut selain peluncuran dilakukan pembacaan sepenggal novel, sekaligus temu penulis.

Menurut Nurul Huda SA, sastra pop pesantren awalnya memang disingkiri. “Bahkan tidak banyak penulis yang tertarik menggarap wilayah cerita di dunia pesantren,” katanya. Seiring perjalanan waktu, sastra populer pesantren banyak menjadi setting cerita. Sebagaimana wacana yang muncul ke permukaan, pesantren memiliki dunia dan cerita sendiri. “Dunia dan cerita sendiri menjadi sebuah daya tarik untuk dikisahkan, diimajinasikan dalam karya-karya fiksi,” ucapnya.

Karya sastra pop pesantren terbitan Matapena

Tentu yang menarik, mereka yang menulis karya fiksi, paling tidak pernah ‘mencicipi’ dunia pesantren. Kehidupan yang dirasakan, diamati, dibesut dalam kemasan fiksi. Seperti anak muda di pesantren, meski memiliki aturan, tradisi sendiri juga merasakan dunia cinta. Serba-serbi ini menjadi mozaik dunia pesantren yang diungkapkan dengan bahasa popular, bahkan sangat gaul sebagaimana karya fiksi remaja di luar pesantren. “Kami sebenarnya ingin ruang baru bagi penulis muda, karena kami tahu potensi mereka besar. Tentu termasuk potensi pasar yang besar pula,” tandasnya. (Jay)-c

3 komentar

Thursday, October 13, 2005

BERITA: Kompas, 13 Oktober 2005

Thursday, October 13, 2005
Warna-Warni Kehidupan Santri dalam Novel

Zaki Zarung (kanan) tengah menceritakan isi novel karangannya, Santri Baru Gede, di Sodalounge, Rabu (12/10). Dalam kesempatan itu, empat novel lain juga ikut di-launching yakni Bola-Bola Santri, Dilarang Jatuh Cinta, Kidung Cinta Puisi Pegon, dan Santri Semelekete.

____________________________

Kia nggak tahu gimana harus bilang cinta. Trus dengan apa mesti ngomong sayang. Apalagi harus memanjat tembok tinggi yang namanya keamanan. Apa kata santri nanti?

Oleh: Lukas Adi Prasetya

Kia atau yang nama lengkapnya Husna Adzkia itu adalah seorang santri perempuan, yang juga mahasiswi dengan dengan agenda aktivitas yang lumayan banyak. Awalnya, niat Kia memutuskan masuk ke pesantren adalah murni nyantri. Namun, ketika mengenal Haidar, santri putra yang satu pesantren sekaligus satu kampus dengannya, berawal pula kisah cintanya.

Di pesantren, peraturan paling ketat adalah soal pacaran. Keinginan saling berkomunikasi antar mereka akhirnya bermuara pada majalah dinding (mading) di pesantren, yang kebetulan keduanya masuk dalam kepengurusan mading itu. Dan, akhirnya mereka saling bertukar ungkapan dengan puisi pegon (tulisan Arab namun berbahasa non-Arab) pada mading itu.
Itu adalah petikan novel berjudul Kidung Cinta Puisi Pegon karya Pijer Sri Laswiji yang di-launching dan dibedah di Sodalounge, Rabu (12/10). Bersamaan dengan itu dibedah pula empat buku lain yakni Santri Baru Gede (karangan Zaki Zarung), Dilarang Jatuh Cinta (karangan S. Tiny), Bola-Bola Santri (karangan Schachree M Daroini), dan Santri Semelekete (karangan Ma’rifatun Baroroh). Lima novel terbitan Matapena (kelompok penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial/LKiS) itu secara umum bernuansa tentang pesantren dan kisah kasih para santrinya.
Santri Baru Gede bercerita tentang Raha, santri laki-laki yang menjalin kisah dengan seorang gadis yang berasal dari lingkungan luar pesantren. Sementara Dilarang Jatuh Cinta mengisahkan Zulaikha, santri perempuan yang selalu mempertanyakan jati dirinya karena ia tidak percaya takdir dan cinta.
Santri Semelekete menceritakan lika-liku Endang Jumilah alias Enjoy, siswi SMA yang badung. Gadis yang tergabung dalam G@sink (Gadis Sintinx), salah satu geng di SMA itu yang suka berulah tersebut akhirnya dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya. Di pesantren, Enjoy harus membiasakan diri dengan peraturan yang superketat, kegiatan segudang, jilbab, hingga baju gedombrohan. Namun, di lingkungan baru, gadis yang heboh ini sempat pula menaksir salah satu ustadznya.
Novel lain, Bola-Bola Santri, berkisah tentang Gus Mada, Gus Hisyam, dan Gus munir yang memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan harga diri warisan kakek mereka yakni pondok dan santri Al-Bakir.
Retno Sufatni, Pemimpin Redaksi LKiS dan Nur Isma, Redaktur Matapena menuturkan, lewat lima novel ini mereka ingin mengangkat sisi lain pesantren lewat kacamata santri sendiri. Menurut Retno, lima novel yang disebutnya sastra pop pesantren ini bertujuan untuk mengomunikasikan budaya pesantren dengan budaya lain di luar pesantren, melalui kisah-kisah keseharian para penghuni pesantren (santri).
Itulah yang selama ini belum banyak tergali. Padahal, ujar Nurul Huda, Supervisor Pemasaran LKiS, sekarang ada 14.500 lebih pesantren di Indonesia dengan jumlah santri lebih dari 3,5 juta. Segmen ini belum tergarap, khususnya lewat novel. Nurul juga berpendapat, banyak sisi menarik yang bisa diangkat dari pesantren dan bagus untuk dituliskan.
Di pesantren, menurut Zaki Zarung yang juga tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta, hubungan antara perempuan dan laki-laki sangat dibatasi. “Padahal, usia santri kan baru kenceng-kencengnya, misalnya saat tertarik dengan lawan jenis. Peraturan pondok yang ketat membuat santri bisa jadi memilih kucing-kucingan untuk mencari-cari waktu karenanya,” kata Zaki.
Meski begitu, menyikapi masa remaja, setiap santri mestilah memegang prinsip agar tidak terjebak dalam hal-hal negatif, seperti pergaulan bebas dan narkoba. Juga, dalam pesantren harus pula dibangun sikap kritis dari santri karena itu juga bekal yang perlu didapat. “Saya pun juga melakukan otokritik terhadap pesantren bahwa remaja santri di pesantren jangan sampai apriori terhadap peraturan, tapi bagaimana menyikapi peraturan,” ujar Zaki sambil menambahkan, apabila santri berhadapan dengan dunia luar juga jangan bersikap kaku.

0 komentar

Wednesday, October 05, 2005

Antara Sarung dan Cinta

Wednesday, October 05, 2005
Judul: Pangeran Bersarung Penulis: Mahbub Jamaluddin Tebal: vi + 412 halaman Cetakan I: Oktober 2005
Filosofi cinta yang ada dalam Pangeran Bersarung mungkin adanya cuma di pesantren. Soalnya, filosofi cintanya coba menunjukkan hubungan antara sarung--kostum khas para santri--dengan cinta. Sarung dan cinta, sama-sama alat yang bisa digunakan untuk hal positif, atau malah mencelakakan, tergantung bagaimana si empunya menggunakan dua alat itu.
Seperti Puji yang pada mulanya bersikap hati-hati dengan yang namanya cinta. Apalagi kata Suryo, teman pondoknya, cinta itu sejenis sama cewek yang bisa bikin mati kreativitas. Akan membayang-bayangi dan menyiksa. Makan enggak enak, tidur enggak lelap. Walhasil mengganggu proses belajar dan ngaji kan.
Jadilah Puji menghindar dari Sofi yang diam-diam dicintainya. Ia juga tidak ambil pusing dengan Puspa yang blak-blakan bilang suka ke dirinya. Bahkan, ia bolos tidak sekolah untuk menghindari berhubungan dengan cewek. Wah, tambah kacau kan? Ini sama saja Puji memakai sarungnya buat gantung diri, bukan menutupi aurat.
Untunglah bapaknya yang mantan playboy itu segera dimunculkan ke pondok. Ia menurunkan ilmu tentang konsep ‘witing tresno’-nya kepada sang anak. Karena wit / pohon itu bisa tumbuh baik dengan dipupuk, begitu pun dengan cinta. Sama persis dengan kasus perasaan Puji ke Puspa yang mulanya biasa-biasa saja. “Kalau kamu gunakan cinta itu untuk mengisi ruhmu, dan kamu arahkan pada kebaikan dan hal-hal positif, ia akan menjadi tenaga supersonik yang membuatmu melesat bagai pesawat," begitu kata si bapak. ;))

0 komentar

Monday, October 03, 2005

Dari Gunungkidul "Dilarang Jatuh Cinta" Meluncur

Monday, October 03, 2005
“Dilarang Jatuh Cinta, nggak ada maksud ngelarang cinta, tapi bikin kamu percaya cinta.” Begitu, S.tiny membacakan kembali tulisan di backcover buku Dilarang Jatuh Cinta (DLJC), pas acara peluncuran novel karyanya di Gunungkidul. Semua peserta yang kebanyakan para ABG itu kontan bertepuk tangan heboh. Mereka adalah siswa-siswi MAN Wonosari, dari kelas satu sampai kelas tiga, ditambah undangan perwakilan dari SMU lain di Gunung Kidul. Enggak cuma mereka lho, ikut meramaikan juga lima penulis novel Matapena yang lain, Shachree, Mahbub, Baroroh, Zaki, dan Pijer. Apalagi ketika Mahbub dan Baroroh berpasangan membaca novel Santri Semelekete, acara yang digelar Sabtu, 1 Oktober 2005 di Aula MAN Wonosari itu tak ubahnya panggung pentas seniman kenamaan.

Eh, tapi ngapain sih sampe Gunung Kidul segala. Padahal, menggebrak Gunung Kidul dengan peluncuran buku mungkin dipandang cukup unik dan langka. Seperti juga diakui oleh bagian kesiswaan MAN Wonosari, Drs. Andar Prasetyo, setidaknya untuk level MAN sendiri. “Kita belum pernah mengadakan kegiatan seperti ini,” jelasnya. Ternyata usut punya usut, sang penulis yang juga kelahiran Gunungkidul, 27 Agustus 1985 ini merupakan lulusan MAN Wonosari tiga tahun lalu. Nah, kebayang kan bagaimana harunya para guru mendapati kenyataan anak didik mereka sanggup melahirkan satu karya. Kebanggaan ini secara tegas juga disampaikan oleh Drs. H. Ya’kub, kepala MAN Wonosari bahwa entoh dari Gunungkidul yang ‘seperti itu’ lahir juga seorang penulis. “Kalau S.tiny saja bisa kenapa yang lain tidak bisa,” tambah Andar Prasetyo memberikan semangat ke adik-adik kelas S.tiny untuk menulis.

“Lalu bagaimanakah proses kreatif Mbak ketika menulis novel ini,” tanya seorang siswa dari MAN Wonosari dalam sesi dialog. Pertanyaan sejenis juga dilontarkan oleh beberapa siswa yang lain. Termasuk berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses penulisan. “Dua minggu,” jawab S.tiny. Ia juga menambahkan kalau ke mana pun ia pergi tak pernah lepas dari pulpen dan kertas. “Untuk menulis setiap ide yang tiba-tiba muncul,” jelasnya.

Acara yang digelar dari pukul 10.30 sampai pukul 14.00 ini disemarakkan juga dengan pembagian dorprize buku-buku baru Matapena dan Pustaka Pesantren, untuk setiap penanya dan komentator. Dilanjutkan dengan acara tasyakuran di tempat terpisah, di Trowono Paliyan, Karangasem, Gunungkidul. Tak kalah meriahnya, di rumah penulis ini untuk kedua kalinya acara peluncuran DLJC kembali digelar dengan iringan musik gamelan. “Sekadar mengingatkan akan tradisi masyarakat Jawa,” tutur Bu Lurah dalam sambutannya. Ia juga menyampaikan rasa bangganya atas prestasi yang telah diraih oleh salah satu puteri Gunungkidul, menulis sebuah novel. “Tapi ini baru permulaan, bukan yang terakhir,” tegasnya mantap, tentu saja untuk lahirnya karya-karya inovatif yang lain dari tangan-tangan anak negeri cadas itu. ;)

0 komentar

Sunday, August 21, 2005

Kalau Santri Baru Gede ...

Sunday, August 21, 2005
Judul: Santri Baru Gede Penulis: Zaki Zarung Tebal: vi + 258 hlm Cetakan I: Agustus 2005
Seperti kebanyakan remaja, masa baru gede dalam kehidupan santri juga dipusingkan dengan problem pencarian eksistensi dan ketertarikan dengan lawan jenis. Hanya saja, cerita santri baru gede sudah pasti tetap menawarkan sesuatu yang unik dan jarang-jarang dijumpai di luar yang namanya kehidupan pesantren.
Catet yah! Kenapa demikian? Pertama, karena santri tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan berbaris-baris peraturan. Jadi, tidak bisa berlaku asal-asalan dan seenaknya sendiri kalau tidak mau mendapat teguran seksi Keamanan. Kedua, jatah waktu santri tak sebanyak pilihan dan keinginan yang ada dalam benaknya. Di sini ia harus pintar-pintar memilah, atau juga berkompromi, kalau tidak mau dibikin bingung sendiri. Ketiga, sementara tak ada orang tua yang selama dua puluh empat jam bisa menggandengnya dan menjadi tempat pencarian solusi. So, dia harus pintar-pintar cari yang namanya sahabat dan orang gede yang bisa diajak ngobrol.
Seputar tiga itulah Zaki mengolah jalan cerita lewat tokoh Irahadi, alias Raha, dalam Santri Baru Gede. Misalnya bagaimana Raha harus berhadapan dengan seksi Keamanan karena ketahuan bolos ngaji gara-gara jalan-jalan ke Malioboro. Mendapat teguran karena lebih memilih ekskul daripada kegiatan pesantren. Dan, yang tak kalah serunya, ia harus maju mundur menghadapi Filan. Antara berprinsip, santri sejati tidak boleh “dekat-dekat” cewek, selain karena urusannya bakal runyam kalau ketahuan seksi Keamanan, dengan mendengar suara hatinya yang jelas-jelas naksir adik kelasnya itu. Terus, endingnya kira-kira gimana yah?
Yang jelas, sejak berkenalan dengan Mas Oji, pelatih teater, Raha perlahan-lahan mulai stabil dengan ke-diri-annya. Menentukan apa yang baik untuk ia lakukan, juga pandangannya soal cinta, pacaran, dan perempuan.
Maksudnya, ending Raha dengan Filan?
Oh, jelas happy ending. Cuma, proses menuju ending itu yang benar-benar menunjukkan uniknya santri yang baru gede, dan menarik buat dibaca. ;)

0 komentar

Saturday, August 20, 2005

Banyak Jalan Menuju Cinta

Saturday, August 20, 2005
Judul: Kidung Cinta Puisi Pegon Penulis: Pijer Sri Laswiji Tebal: vi + 222 hlm Cetakan I: Agustus 2005

Seperti banyak jalan menuju Roma, banyak juga jalan menuju cinta. Rutenya macam-macam, dan setiap orang punya cara tempuh sendiri-sendiri. Apalagi cinta di pesantren, lingkungan yang membatasi pertemuan antara laki-laki dan perempuan, kecuali ada kepentingan organisasi atau kepentingan bersama lainnya.
Maka, jangan heran juga kalau para santri ternyata tak kalah kreatif, memanfaatkan media untuk melakukan “pertemuan” cinta. Sebut saja Yeni yang memanfaatkan kantin pondok sebagai pos gratis untuk kiriman parcel. Ada juga yang memanfaatkan jam bebas usai kuliah untuk menemani sang pacar jalan-jalan ke mall. Atau, banyak juga yang berkomunikasi dengan Hp yang dititipin ke teman di luar pondok. Dengan risiko kalau ketahuan, pasti kena sita.
Itulah sedikit dari uniknya “curi-curi” para santri dalam Kidung Cinta Puisi Pegon. Termasuk jalan cinta versi Kia dan Haidar lewat jalur kekuatan bahasa, yang dituliskan dalam barisan Puisi Pegon.
Tahu Pegon kan? Itu, jenis tulisan Indonesia atau Jawa yang memakai abjad-abjad Arab dari alif sampai ya’ untuk menuliskannya. Jadi, bukan memakai abjad a sampai z seperti biasa berlaku. Nah, lewat satu rubrik puisi di mading inilah Kia mengenal cinta dan melakukan komunikasi hati dengan “kekasih”-nya, Haidar. Kebetulan Kia dan Haidar terlibat dalam program pertukaran mading antara pondok puteri dan putera.
Tapi, namanya bahasa puisi, maknanya kadang susah juga buat dipahami. Walhasil, hati Kia dan Haidar tetap belum menemukan kepastian kalau mereka saling mencintai. Sementara untuk bertanya langsung, meski beberapa kali keduanya bertemu, baik di ruang tamu untuk urusan mading ataupun di kampus di sela-sela perkuliahan, Kia dan Haidar sama-sama tak melakukannya. Tentu karena beberapa alasan.
Episode cinta dalam diam pun terus berlangsung. Sampai kemudian Kia dihadapkan pada jalan menuju cinta yang lain. Kia diminta oleh Ibu Nyai untuk menikah dengan Gus Luthfi, putera kiai pondok lain. Satu jalan cinta yang bagi kebanyakan santri adalah prestise dan sekali pun Kia tak pernah memimpikannya. ;)

0 komentar

Friday, August 19, 2005

Mengintip Bola-Bola Kehidupan Pesantren

Friday, August 19, 2005
Judul: Bola-Bola Santri Penulis: Shachree M. Daroini Tebal: vi + 380 hlm
Cetakan I: Agustus 2005
Ngomong-ngomong soal pesantren, pernah kan membayangkan bentuk kehidupan yang berlangsung di dalamnya? Mulai dari kiai dan keluarganya, para santri, sampai orang-orang yang tinggal di sekitaran pesantren?

Dalam beberapa bagian, memang sih tidak ada bedanya dengan kehidupan yang berlangsung di lingkungan kita. Tapi, tetep aja ada bagian-bagian yang berbeda dan “mengunik”. Apalagi jika pesantren itu terletak di pelosok, belum kenal dengan modernitas, dan menerapkan sistem pendidikan salaf, tradisional.

Nah, novel Bola-Bola Santri bermaksud merangkum keunikan-keunikan itu. Novel ini berbicara jujur soal apa yang terjadi dan tak pernah berhenti, terus menggelinding ibarat bola, tentang kehidupan di dalam sebuah pesantren. Dari kelahiran, saat-saat tumbuh dan berubah, dan kematian.

Novel ini juga menunjukkan, konflik perebutan warisan dan kekuasaan tetap bisa ditemukan di dalam pesantren. Bersilih ganti dengan cerita petualangan tiga putera mahkota, Gus Hisyam, Gus Mada, dan Gus Munir, dengan segudang kharisma kegusan mereka. Juga, dengan kelompok sepakbola mereka yang apa adanya, demi mempertahankan nama besar pesantren sang kakek, di mata para penduduk kampung. :)

0 komentar

Tuesday, August 16, 2005

Semelekete Masuk Pesantren

Tuesday, August 16, 2005
Judul: Santri Semelekete
Penulis: Ma'rifatun Baroroh
Tebal: vi + 200 hlm
Cetakan I: Agustus 2005

Apa jadinya kalau cewek seperti Endang Jamilah jadi seorang santri? Cewek anggota geng G@sinx di SMA-nya yang suka ngerjain guru dan ngusilin anak-anak yang kelihatan rada alim, culun, atau bego. Atau kalau enggak ngumpul-ngumpul bikin acara sambil ngerumpi dan menggosip?

Jawabannya, pertama, dia akan bersenandung pilu, "Betapa malang nasibku…" ketika pertama kali memasuki pintu gerbang pesantren. Setelah melihat teman-temannya yang sekarang adalah gadis-gadis berjilbab, berpakaian kolot gedombrohan. Ada yang pakai daster kayak orang hamil, ada yang pakai sarung kedodoran. Jiwanya meronta-ronta, memberontak ingin lepas. Tapi, ia merasa belum mampu untuk keliaran hidup sendiri mencari duit.

Kedua, ia akan ambruk pingsan usai membaca qonun pondok pesantren yang berbaris-baris itu. Barisan peraturan sekolah aja nggak sepanjang itu.

Ketiga, ketika Enjoy dapat kamar baru, pasti ia bakal terkaget-kaget ples heran. Kok beda banget sama peraturan yang di kantor pondok itu. Ia hampir nggak percaya melihat bermacam-macam poster menempel di dinding. Ada gambar Spiderman, Batman, Sakhrukh Khan, Micky Mouse, Avril Lavigne, Iwan Fals, dan Harry Poter. Apalagi di pojokan ada yang lagi asyik manggut-manggut dan geleng-geleng kepala mengikuti irama musik dengan walkman. Sementara mbak Desi sang kepala suku malah lagi asyik mbaca novel Fredy S! Kemudian ia akan bertanya, "Mbak, kok aneh sih. Ini kan melanggar peraturan?"

Keempat, Enjoy akan merasa sangat beruntung menjadi anggota kamar yang “gue banget” itu. Ternyata pesantren tidak seseram yang ia bayangkan.

Tapi, kelima, tetep saja ia bermasalah dengan tugas rutin nyuci baju, ngantri mandi, dan catet! Piket nyuci piring punya anak sekamar. Dan, bisa dipastikan untuk tugas yang terakhir ini, harus ada piring yang dikorbankan alias pecah! Keenam, tetep juga dipakai kalah-kalahan sama kakak seniornya. Ketujuh, ia juga tetep enggak bisa tidur malam gara-gara harus berdesak-desakkan, apalagi di deket Vita yang belum mandi sore. Sementara di samping kirinya si Fera lagi garuk-garuk kepala sambil didis. Meloroti rambutnya helai demi helai mencari telur kutu dengan penuh kenikmatan. Sesekali terdengar bunyi "kletik!" Belum lagi bunyi "Tiuut. Bess!" yang ikutan menambah pengap suasana.

Kedelapan, Enjoy bakalan susah memendam bakat masa lalunya. Dari suka belanja habis-habisan, diam-diam keluar buat dugem, sampai naksir sama ustadznya sendiri.
Kesembilan, ia juga masih berbakat buat ngelabrak cowok-cowok yang coba main-main dengannya.

Kesepuluh, Enjoy perlu suplemen untuk membuatnya bertahan di pesantren.Pastinya begitu. Dan, suplemen itu untungnya sudah Enjoy temukan di ending cerita. :)

0 komentar

Tentang Cinta yang Dramatis

Judul: Dilarang Jatuh Cinta Penulis: S.tiny Tebal: xii + 130 hlm. Cetakan I: Agustus 2005
Seperti apa sih cinta yang dramatis itu? Mencintai orang yang tidak mencintai kita? Diduakan, dikhianati, atau diputus cinta oleh orang yang kita cintai? Atau, memendam perasaan mendalam pada orang yang tak tahu-menahu perasaan kita? Terus orang itu malah memilih temen kita sendiri untuk jadi kekasihnya?
Apa pun itu, kisahnya bisa bermacam-macam. Termasuk kisah Zulaikha yang dituliskan oleh S.tiny, penulis asal Gunung Kidul ini. Pada bagian awal novel, Tiny menggambarkan sosok Zulaikha sebagai cewek yang tak pernah mendapatkan “cinta”--–dalam arti kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, menentukan keinginannya, juga menemukan makna terdalam cinta dari orang tuanya, Raden Mas Gus Zulkifli, yang selain seorang pengusaha besar juga seorang kiai pemilik sebuah pesantren. Pantesan kalau Zulaikha sampai dibikin seperti kena asma. Ngiiik…ngiiik…ngiiik. Hasilnya, Zulaikha nyaris tak pernah belajar cinta, bahkan ia tak percaya cinta. Hingga, ia bertemu Zulkarnain.
Dan, Zulaikha pun mulai berkenalan dengan cinta. Meski ia harus tersiksa dengan berbagai aksi gerilya. Mulai dari serunya panjat-lompat pagar (kebayang kan?), panasnya dunia gangster, dan usaha menutup rapat-rapat telinganya dari amukan sang ayah. Tapi tragisnya, ia harus kecewa karena pengkhianatan Zulkarnain. Ia kecewa karena cinta yang diimpikannya ternyata justru membuatnya tak lagi punya cinta.
Hanya Amar yang kemudian bisa membuat semangatnya untuk belajar cinta tumbuh kembali. Amar yang dikenalnya hanya lewat tulisan surat, pengantar dokumen Zulaikha yang ditemukannya. Meskipun tak pernah bertemu muka, ia yakin inilah cinta yang sebenarnya. Karena cinta bukan hanya kesenangan jalan bersama, bukan hanya kebanggaan popularitas. Juga tidak memandang fisik, materi, apalagi demi gengsi.
Tapi, lagi-lagi Zulaikha harus kecewa. Setelah perjuangan yang panjang berhadapan dengan ayah yang terlalu rapuh membalas kekalahan masa lalunya dan sejarah heroik seorang anak manusia yang bergerilya memperjuangkan kemerdekaannya. Zulaikha harus menyerah pada kenyataan bahwa Amar yang bernama asli Sulaiman itu cukuplah hanya bias menjadi saudara seayahnya. Meskipun Sulaiman pernah bilang, “Sayang, jangan katakan pada siapa pun. Sebenarnya aku selalu berdoa, semoga kita ini tidak benar-benar saudara ….” ;)


3 komentar

Tuesday, August 02, 2005

Yang Bertabur dari Bilik-Bilik Santri

Tuesday, August 02, 2005
“Makan, makan. Makanan datang!” Yeni berteriak sambil menggotong sebakul nasi. Di atasnya ada sebaskom sayur, dan atasnya lagi piring lebar berisi beberapa tempe mendoan. Dan masih nyangking sebuah bungkusan. Entah bungkusan apa. Setelah Yeni meletakkan barang-barang bawaannya di lantai, serentak teman-temanku mengambil piring masing-masing di rak. Aku pun segera menyusul. Lapar. “Nih, ada rejeki!” kata Yeni membuka bungkusan yang dibawanya. Martabak telor. “Pasti dari Kang Jangkung!” celetuk Yayah. “Kang Jangkung siapa sih?!” tanyaku. “Ah Kia. Kuper ya kuper, tapi sama info teman sekamar tuh ya harus ngertilah! Kang Jangkung itu…” “Pacar Yeni…,” sambung Diah pelan. “Ooo!” aku melongo dan mengangguk-angguk. Hm, ternyata pesantren bukan penghalang bagi mereka untuk berhubungan. Ada kantin pondok yang menjadi via gratis untuk kirim parcel. Jadi muncul rasa kepingin nih!
(Kidung Cinta Puisi Pegon)
Unik dan asyik. Inilah yang ingin digambarkan oleh Pijer Sri Laswiji, tentang kehidupan pesantren. Di tengah kesibukannya menjadi santri, penulis yang satu ini masih sempat juga menuliskan cerita yang indah-indah dari pesantren yang selama ini hanya ada dalam ingatan para santrinya. Selain Pijer, ada juga Zaki, Mahbub, Baroroh, Shachre, dan S.tiny. Novel-novel mereka sekaligus menjadi debut pertama para penulis muda tentang cerita dari ‘dunia lain’ yang bernama pesantren.

Kata Pijer, sebenarnya banyak hal dari pesantren yang bisa dijadikan ide bermodal pengamatan dan pengalaman. “Dari cerita teman-teman di pondok juga bisa. Nah, kebetulan untuk novelku ini terinspirasi oleh puisi-puisi Hugeng Satya Darma, guru puisiku,” jelasnya. Tidak jauh berbeda, ketika menulis Santri Semelekete Baroroh pun melakukan hal yang sama. “Nyomot dikit-dikit dari pengalaman sendiri, pengalaman teman, dan berkhayal,” akunya. Dalam novel pertamanya itu, ia mengisahkan bagaimana lucu, konyol, dan serunya menjadi santri baru.

Dan, masih banyak lagi yang bisa diceritakan dari pesantren. Apalagi, ia merupakan lembaga mandiri dan variatif sesuai dengan karakter kiai pengasuhnya. “Nah, itulah keunggulan pesantren. Meski ada cerita yang umum sifatnya, tapi lokalitas masing-masing pesantren memiliki cerita-cerita unik sendiri-sendiri,” komentar Mahbub, penulis Pangeran Bersarung. “Terutama kehidupan santrinya yang sebenarnya nggak mau ketinggalan zaman, namun agak norak. Santri itu orang yang kreatif dan apa aja bisa. Santri bisa jatuh cinta, bisa seorang petualang, bisa anak gaul, dan santri juga bisa nakal,” kata Shachre ikut berkomentar. Ia juga menambahkan kalau itu masih belum seberapa jika mau menggali objek imajinasi dari kitab kuning atau keluarga kiai.

Tapi, menulis tentang kisah pesantren, mau tidak mau memang harus paham dunia pesantren, meski tidak harus seorang santri. Apalagi sebuah karya fiksi yang banyak menekankan pencitraan. Maka beruntunglah Zaki dan kawan-kawannya yang telah dianugerahi dua kelebihan sekaligus, tinggal di pesantren dan bisa menulis. Meskipun bukan berarti tak ada kendala. Di samping faktor intern tentunya, seperti kehabisan ide dan kata sampai bingung mau menulis apa, Pijer mengakui kalau kendala utama dalam proses menulis adalah waktu. “Aku harus bisa memenej waktu dengan baik karena terbentur dengan kegiatan-kegiatan pondok,” lanjutnya. Sementara Baroroh menambahkan kalau lingkungan pondok yang ramai sering kali mengganggu konsentrasinya. “Di mana pun aku ngumpet, selalu saja ada orang. Apalagi kalau di kamar, uh pada ngobrol dan mondar-mandir melulu.” Itulah seninya curi-curi waktu demi hobi. Malah ada kejadian tragis seperti yang dialami Zaki. Ia rela berhadapan dengan Keamanan Pondok alias seksi Penjaga Tata Tertib, karena waktu pagi yang notabene waktu berkegiatan ia sering tidak kelihatan batang hidungnya. “Soalnya aku ngetik di kos temen-temen deket pondok. Pokoknya yang ada komputernyalah. Hehehe… jadi malu,” kenangnya lucu.

Namun, sesulit apa pun kondisinya, bagi Zaki, menuliskan kisah-kisah unik yang bahkan hanya bisa ditemukan di dunia pesantren merupakan proyek yang terus dijaga dan dibudayakan. Misalnya dalam bentuk teenlit maupun chicklit. Apalagi minat baca remaja terhadap buku-buku semacam itu sangat tinggi. “Tapi yang agak aku khawatirkan adalah buku-buku semacam yang ditulis bukan oleh orang pesantren. Hasilnya, tentu terjadi pemahaman yang salah, keliru, dan tidak benar sama sekali. Itu kan merugikan pembaca. Mereka dibohongi dan menerima barang mentah,” lanjut Zaki. Oleh karena itu bagi Shachre, sekaranglah saatnya santri punya kelas. Menulis tentang kehidupan mereka. Meski tetap bersarung dan berkopiah, bukankah tulisan merupakan bagian dari kreativitas? “Seorang santri tidak akan pernah menjadi kotor hatinya hanya gara-gara menulis,” jelas Shachre mantap.

Tinggal satu PR yang menurut Zaki harus diselesaikan. Menurutnya budaya oral yang selama ini berkembang di pesantren sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan para santri untuk menulis. Hingga menurutnya perlu ada gerakan SSM alias Santri Suka Menulis di pesantren-pesantren, juga dibentuk halaqah-halaqah kecil sebagai ajang pembudayaan menulis di kalangan santri. Meskipun secara umum, Mahbub berpendapat kalau kalangan pesantren sudah mulai menghormati dunia tulis-menulis. Di kalangan santri pun, khususnya yang sudah melek baca buku, mulai ada kegelisahan dominasi tradisi oral. Kegelisahan yang juga dirasakan oleh Zaki dan kawan-kawan.

Pantaslah kalau mereka begitu bersemangat untuk terus menulis tentang dunia mereka itu. “Masalahnya pesantren itu cute habis sih,” ucap Shachre yang diam-diam ternyata sudah siap dengan naskah Love in Pesantren. Seperti juga Zaki yang bakal menceritakan santri yang kerjaannya molor melulu, atau Mahbub dengan tiga novelnya sekaligus. “Tiny never ending write!” S.tiny ikut berikrar mantap. Memang harus. Karena bagaimanapun menarik dan cute-nya cerita-cerita di balik tembok pesantren, tak akan bisa dinikmati jika tidak diceritakan kembali melalui tulisan tangan-tangan kreatif mereka. Iya nggak? :)

0 komentar

Friday, July 01, 2005

Selamat Datang....

Friday, July 01, 2005
Matapena coba meramu semua yang lucu-wagu dan mungkin kamu sepelein, sampai yang kritis-nyinyir yang bisa kamu seriusin. Semua tentang cerita manis dari bilik-bilik pengalaman kehidupan remaja di Indonesia.

Secara ideal, Matapena ingin melengkapi tawaran gaya hidup remaja yang sudah banyak dituliskan dalam beberapa novel karya para remaja yang lain. Paling tidak di antara sekian banyak gaya hidup itu, ada gaya hidup yang tak kalah unik dan menarik untuk diapresiasi, contohnya saja gaya hidup santri dan pesantren.

Diluncurkan sejak Agustus 2005 dengan enam novel pertamanya:
1. Santri Semelekete
MA’RIFATUN BAROROH, kelahiran Magelang, 25 April 1986. Beberapa karyanya dimuat di Kuntum, Horison, Fadilah, Muslimah dan lain-lain. Santri Semelekete adalah novel pertamanya.

2. Santri Baru Gede
Zaki Zarung, cowok Bali alias Bantul Asli. Kelahiran 30 Juli 1982. Sampai sekarang masih nyantri di PP Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. Aktif juga di Komunitas Sangkal, tempat mangkal para santri berdasi eh, yang suka sastra en teater di pondoknya. Kebetulan juga Santri Baru Gede adalah novel pertamanya.

3. Kidung Cinta Puisi Pegon
Pijer, Sri Laswiji, cewek Reli alias Rembang Asli. Kelahiran 01 Juni 1983. Nggondol sarjana pendidikan Bahasa Arab dari UIN Sunan Kalijaga tahun 2004 kemaren. Masih berstatus sebagai santri Ponpes Nurul Ummah kotagede. Kidung Cinta Puisi pegon juga novel pertamanya.

4. Bola-Bola Santri
SAKRI M. DAROINI, lahir Di Madiun, 16 JULI 1980. Bola-Bola Santri adalah karyanya. Sampai sekarang masih aktif di teater Eska UIN Sunan Kalijaga.

5.Pangeran Bersarung
Mahbub Djamaluddin. Cah Kebumen asli. Kelahiran 15 Februari 1980. Kuliah di Fisipol, UGM Yogyakarta, belum juga selesai. Pernah dondon ngetel di PP Al-Huda, Jetis Kutosari Kebumen, dan PP Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.

6. Dilarang Jatuh Cinta
S. Tini, cewek manis kelahiran Gunung Kidul, 27 Agustus 1985. Lulusan MAN Wonosari yang nyasar ke pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang semester tujuh. Sama dengan yang lain, Dilarang Jatuh Cinta adalah novel pertamanya.

Selain melakukan roadshow ke pesantren-pesantren, mengajak teman-teman santri dan remaja pada umumnya untuk menulis dengan menawarkan Komunitas Matapena dan program pendampingan tulis-menulis. Matapena juga memberikan layanan profesional untuk: fasilitator pelatihan penulisan sastra, karya ilmiah, dan jurnalistik.

Terima kasih...

0 komentar