Tuesday, August 02, 2005

Yang Bertabur dari Bilik-Bilik Santri

Tuesday, August 02, 2005
“Makan, makan. Makanan datang!” Yeni berteriak sambil menggotong sebakul nasi. Di atasnya ada sebaskom sayur, dan atasnya lagi piring lebar berisi beberapa tempe mendoan. Dan masih nyangking sebuah bungkusan. Entah bungkusan apa. Setelah Yeni meletakkan barang-barang bawaannya di lantai, serentak teman-temanku mengambil piring masing-masing di rak. Aku pun segera menyusul. Lapar. “Nih, ada rejeki!” kata Yeni membuka bungkusan yang dibawanya. Martabak telor. “Pasti dari Kang Jangkung!” celetuk Yayah. “Kang Jangkung siapa sih?!” tanyaku. “Ah Kia. Kuper ya kuper, tapi sama info teman sekamar tuh ya harus ngertilah! Kang Jangkung itu…” “Pacar Yeni…,” sambung Diah pelan. “Ooo!” aku melongo dan mengangguk-angguk. Hm, ternyata pesantren bukan penghalang bagi mereka untuk berhubungan. Ada kantin pondok yang menjadi via gratis untuk kirim parcel. Jadi muncul rasa kepingin nih!
(Kidung Cinta Puisi Pegon)
Unik dan asyik. Inilah yang ingin digambarkan oleh Pijer Sri Laswiji, tentang kehidupan pesantren. Di tengah kesibukannya menjadi santri, penulis yang satu ini masih sempat juga menuliskan cerita yang indah-indah dari pesantren yang selama ini hanya ada dalam ingatan para santrinya. Selain Pijer, ada juga Zaki, Mahbub, Baroroh, Shachre, dan S.tiny. Novel-novel mereka sekaligus menjadi debut pertama para penulis muda tentang cerita dari ‘dunia lain’ yang bernama pesantren.

Kata Pijer, sebenarnya banyak hal dari pesantren yang bisa dijadikan ide bermodal pengamatan dan pengalaman. “Dari cerita teman-teman di pondok juga bisa. Nah, kebetulan untuk novelku ini terinspirasi oleh puisi-puisi Hugeng Satya Darma, guru puisiku,” jelasnya. Tidak jauh berbeda, ketika menulis Santri Semelekete Baroroh pun melakukan hal yang sama. “Nyomot dikit-dikit dari pengalaman sendiri, pengalaman teman, dan berkhayal,” akunya. Dalam novel pertamanya itu, ia mengisahkan bagaimana lucu, konyol, dan serunya menjadi santri baru.

Dan, masih banyak lagi yang bisa diceritakan dari pesantren. Apalagi, ia merupakan lembaga mandiri dan variatif sesuai dengan karakter kiai pengasuhnya. “Nah, itulah keunggulan pesantren. Meski ada cerita yang umum sifatnya, tapi lokalitas masing-masing pesantren memiliki cerita-cerita unik sendiri-sendiri,” komentar Mahbub, penulis Pangeran Bersarung. “Terutama kehidupan santrinya yang sebenarnya nggak mau ketinggalan zaman, namun agak norak. Santri itu orang yang kreatif dan apa aja bisa. Santri bisa jatuh cinta, bisa seorang petualang, bisa anak gaul, dan santri juga bisa nakal,” kata Shachre ikut berkomentar. Ia juga menambahkan kalau itu masih belum seberapa jika mau menggali objek imajinasi dari kitab kuning atau keluarga kiai.

Tapi, menulis tentang kisah pesantren, mau tidak mau memang harus paham dunia pesantren, meski tidak harus seorang santri. Apalagi sebuah karya fiksi yang banyak menekankan pencitraan. Maka beruntunglah Zaki dan kawan-kawannya yang telah dianugerahi dua kelebihan sekaligus, tinggal di pesantren dan bisa menulis. Meskipun bukan berarti tak ada kendala. Di samping faktor intern tentunya, seperti kehabisan ide dan kata sampai bingung mau menulis apa, Pijer mengakui kalau kendala utama dalam proses menulis adalah waktu. “Aku harus bisa memenej waktu dengan baik karena terbentur dengan kegiatan-kegiatan pondok,” lanjutnya. Sementara Baroroh menambahkan kalau lingkungan pondok yang ramai sering kali mengganggu konsentrasinya. “Di mana pun aku ngumpet, selalu saja ada orang. Apalagi kalau di kamar, uh pada ngobrol dan mondar-mandir melulu.” Itulah seninya curi-curi waktu demi hobi. Malah ada kejadian tragis seperti yang dialami Zaki. Ia rela berhadapan dengan Keamanan Pondok alias seksi Penjaga Tata Tertib, karena waktu pagi yang notabene waktu berkegiatan ia sering tidak kelihatan batang hidungnya. “Soalnya aku ngetik di kos temen-temen deket pondok. Pokoknya yang ada komputernyalah. Hehehe… jadi malu,” kenangnya lucu.

Namun, sesulit apa pun kondisinya, bagi Zaki, menuliskan kisah-kisah unik yang bahkan hanya bisa ditemukan di dunia pesantren merupakan proyek yang terus dijaga dan dibudayakan. Misalnya dalam bentuk teenlit maupun chicklit. Apalagi minat baca remaja terhadap buku-buku semacam itu sangat tinggi. “Tapi yang agak aku khawatirkan adalah buku-buku semacam yang ditulis bukan oleh orang pesantren. Hasilnya, tentu terjadi pemahaman yang salah, keliru, dan tidak benar sama sekali. Itu kan merugikan pembaca. Mereka dibohongi dan menerima barang mentah,” lanjut Zaki. Oleh karena itu bagi Shachre, sekaranglah saatnya santri punya kelas. Menulis tentang kehidupan mereka. Meski tetap bersarung dan berkopiah, bukankah tulisan merupakan bagian dari kreativitas? “Seorang santri tidak akan pernah menjadi kotor hatinya hanya gara-gara menulis,” jelas Shachre mantap.

Tinggal satu PR yang menurut Zaki harus diselesaikan. Menurutnya budaya oral yang selama ini berkembang di pesantren sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan para santri untuk menulis. Hingga menurutnya perlu ada gerakan SSM alias Santri Suka Menulis di pesantren-pesantren, juga dibentuk halaqah-halaqah kecil sebagai ajang pembudayaan menulis di kalangan santri. Meskipun secara umum, Mahbub berpendapat kalau kalangan pesantren sudah mulai menghormati dunia tulis-menulis. Di kalangan santri pun, khususnya yang sudah melek baca buku, mulai ada kegelisahan dominasi tradisi oral. Kegelisahan yang juga dirasakan oleh Zaki dan kawan-kawan.

Pantaslah kalau mereka begitu bersemangat untuk terus menulis tentang dunia mereka itu. “Masalahnya pesantren itu cute habis sih,” ucap Shachre yang diam-diam ternyata sudah siap dengan naskah Love in Pesantren. Seperti juga Zaki yang bakal menceritakan santri yang kerjaannya molor melulu, atau Mahbub dengan tiga novelnya sekaligus. “Tiny never ending write!” S.tiny ikut berikrar mantap. Memang harus. Karena bagaimanapun menarik dan cute-nya cerita-cerita di balik tembok pesantren, tak akan bisa dinikmati jika tidak diceritakan kembali melalui tulisan tangan-tangan kreatif mereka. Iya nggak? :)

0 komentar: