Friday, December 23, 2005

Pertemuan Matapena dengan Anak-Anak SMU ...

Friday, December 23, 2005
Tanggal, 22 Desember 2005, Matapena mengundang temen-temen setingkat SMA-MAN di Yogya untuk ngobrol soal respon mereka atas lahirnya novel pop pesantren, ples mengajak mereka untuk ikut menulis tentang cerita santri dan pesantren. Tidak diduga-duga, dari dua puluh undangan yang kami antar langsung ke sekolahan, hanya tiga sekolah yang tidak bisa mengikutsertakan anak didiknya. Satu sekolah diwakili oleh dua orang, malah ada yang empat orang lho. Dan, total peserta yang hadir siang itu ada 25 orang. Ini dia mereka:
Faizatul Laili, Alim Sutato, MA Ali Maksum: Irma Mayasarah, Aufa Nuha Ihsani, Pekik N. Sasongko, Rif’an Anwar, MA Nurul Ummah: Siti Fatimah, Nur Ismala Dewi, MA An-Nur Ngrukem: Lina, MAN I Yogyakarta: Rusda Nasyita Rahma, Dyah Ayu Wardani, MAN II Yogyakarta: Ahmad Afandi, Pery Oktriansyah, Muallimin Yogyakarta: Muhammad Ali Fikri, Nur Hakim Ibnu Effendi, SMU Muha II: Cahyo Waskito P.A., Rahmi Bestari, SMU 1 Yogyakarta: Rahmata Novanisa, Aulia Rizdha, SMUN 2 Yogyakarta: Mahaarum Kusuma Pertiwi, Putri Hayu Austina, SMUN 6 Yogyakarta: Huning Margaluwih, Atina Handayani, SMUN 9 Yogyakarta: Hayu Qisthi Adila, Nurina Happy.
“Menarik sekali cerita tentang Santri Baru gede. Ceritanya romantis dengan setting kehidupan pesantren,” Arum memulai komentar setelah membaca novel karya Zaki itu. Ia mengaku selama ini senang membaca novel islami, dan karakteristik novel Matapena ada pada penggabungan antara yang pop dengan pesantren.
Tak jauh berbeda, Qisthi juga merasa surprise ketika membaca Santri Semelekete. “Soalnya saya belum pernah kepikiran ada cerita tentang lesbi, dan yang nggak lurus-lurus di pesantren,” jelas siswi SMU 9 yang katanya pernah jadi santri 2-3 minggu.
Ia juga suka sama cerita Kidung Cinta Puisi Pegon. “Keren banget! Emang model perjodohan yang kayak gitu jadi wah banget ya di pesantren?” tegasnya bertanya. Karena sebelumnya ia belum pernah mendenger cerita perjodohan seperti itu di pesantren. “Saya nggak bisa ngebayangin ada fenomena perjodohan santri. Padahal kayaknya nggak mungkin banget kalau itu diterapkan ke remaja kayak aku. Belum kenal langsung nikah,” lanjutnya sambil tersenyum manis.
Keunikan-keunikan inilah yang sebenarnya ingin ditawarkan oleh Matapena. Seperti dituturkan oleh Mas Fikri dalam pertemuan itu. Bahwa pengalaman remaja di pesantren banyak yang belum disentuh karena selama ini pesantren dianggap sakral, tertutup, terisolir, dan kuper. “Kita ingin mengatakan, orang-orang pesantren tidaklah seperti yang dibayangkan teman-teman. Pengalaman-pengalaman sejenis itu akan kita angkat dengan diksi yang khas. Mereka punya pengalaman dan bagaimana pengalaman ini ditulis,” jelasnya gamblang.
Ia juga menambahkan bahwa di beberapa kota di Jawa Timur, novel Matapena laku terjual. Buku-buku Matapena ada di urutan 1 dari 20 besar penjualan buku kelompok penerbit LKiS. “Respon mereka cukup bagus. Ini berarti remaja di kota membutuhkan perbandingan yang selama ini dianggap kolot,” simpul Mas Fikri kemudian.
Paling tidak respon bagus itu juga ditunjukkan oleh teman-teman SMU yang hadir dalam pertemuan itu. Meskipun tidak sedikit juga yang memberikan kritikan dan masukan. Selain persoalan teknis pilihan font, cover, layout isi, juga variasi tema yang tidak hanya cinta-cintaan melulu.
“Menurut saya novel-novel santri perlu mempublikasikan diri,” Hayu dari SMA 2 coba memberikan masukan. Ini penting untuk membongkar image yang tidak menarik tentang cerita santri, dan bagi Hayu, persoalannya ada pada kurangnya publikasi. Tentu saja ini menjadi PR penting buat Penerbit Matapena selanjutnya. Oke deh! ;))

0 komentar: