bukan cerita tv ; joni af seperti terlempar ke masa lalu saat rumputan masih hijau di bawah rumah panggung yang rimbun reriuh seribu masalah di atasnya yang belum tercium dan ketika air kali membuat becek jalanan menuju surau dan cerita hantu menjelang petang membuat enggan beranjak dari pembaringan tak hendak diri mengaji meski belum ada tv yang begitu memenjara mata dan hati mulutmu memahat arca candi relief hidup yang tak terlupa ada mawar ada carun yang kesemua-mua sangat santun mengalir hanyutkan diri di kali belajar dari mulutmu kawan dari hati jangan henti memahat, kawan jangan henti sebelum aku kembali ke penjara, kawan ke dalam kotak tv Jogja, 25 nov 2007
Kemudian Mahbub Jamaludin menuju panggung ia baca sebuah puisi Akhmad Fikri AF tentang pengalaman naik pesawat terbang. Katanya, “lebih hebat dari shalat,” sebab begitu dekat dengan Sang Pemilik Hayat.
Puisi ini termuat dalam antologi tunggal Bebek Kong Draman (2009). Seletah Mahbub, Hugeng S Dharma beraksi membaca puisi lamanya ketika merangsang cinta kawula muda. Rupanya ia bernostalgia. Kadang proses awal kepenyairan seseorang sangat laik tuk dikenang.
Malam tahlilan sastra itu tambah meriah ketika Muhammad Mahrus membacakan cerpen berjudul “orang tua di tiang gantung”.
Namun ternyata tak kalah meriah lagi ketika komunitas bawah pohon – Danny, Faisal dan Irul melakukan eksplorasi pembacaan puisi. Mereka menamakannya ‘raperisasi puisi’. Menyanyikan lagu Bondan Prakosa dengan iringan gitar. Gelora para muda ini menguar. Membuat tahlilan lebih khusuk dalam keriangan.
Langsung sebelum momen dahsyat ini lewat, Teguh Wangsa Gandhi, membacakan syair ‘busuk’-nya yang gelap dan mengakhirinya dengan geguritan yang padang tentang manusia serupa burung terbang disalah musim. “mabur salah mongso” katanya. Semua jadi terangguk, kadang bahkan sering manusia tak berbuat dengan tepat, banyak khilaf dan keliru.
Setelah penyair-wan menguasai dari mula, kini giliran penyair-wati; Retno Iswandari memukau penonton lewat lentik kuat suara hatinya. Mengabarkan puisi eropa milik penyair ketika masa tua; duduk tergugu di depan perapian yang kian padam. Maka buku adalah teman dan sekaligus halaman tempat bermain dan menyiram kehidupan. Dan satu puisinya meluncur lebih dahsyat, tentang ‘rindu tak perlu bertemu’ hingga ‘tentang terbakar tanpa api’. Ia menghafal semua puisinya meski kadang mengakui, “saya sedikit lupa, jadi maaf,”
Dilanjut Sachree M Daroini membaca dua puisi Akhmad Fikri AF. Dengan suara dan mimik jiwa yang menguarkan bara semangat tak kenal padam, ia sukses membuat audien yang semula akan pamit menjadi enggan meninggalkan ruang.
Berturur selanjutnya adalah sahabat dari Kutub, Selendang Sulaiman (nama orang), yang bertutur tentang sosok sastrawan yang pada minggu ini diperingati haulnya, KH Zaenal Arifin Thoha (Alm). Lalu Andi baitul kilmah menutup malam tahlilan sastra dengan imaji ke negeri meraih mimpi.
Acara berakhir pukul 21.41, dan dilanjut dengan bincang santai di rumah kreatif matapena hingga mata tak lagi kuat menahan kantuk.
Tiba-tiba Pijer Sri Laswiji mengirim sms ke beberapa teman: Acara ini lebih baik dari kemarin. Aku jadi ingin bisa bikin puisi dan sekaligus membacakannya dengan hebat seperti teman-teman lain, tapi sayang yang perempuan pada kemana ya? Apakah perempuan enggan melukis dunia dengan syair mereka?
Tak ada yang menjawab tuntas pertanyaan itu. Yang jelas malam itu, dari 30 orang yang hadir, hanya 3 orang perempuan yang datang. Itupun retno iswandari saja satu-satunya yang menulis dan membacakan puisinya. Atau karena acara yang diadakan malam hari? Entahlah. Yang jelas perlu kita lihat satu bulan lagi, pada tahlilan satra ke-3 nanti. Semoga semua menjadi lebih indah adanya… (zz)
0 komentar:
Post a Comment