Ini adalah pertemuan rutin temen-temen Penulis Novel Matapena, Jumat, 12 Januari 2007. Baik yang karyanya sudah pernah ataupun yang baru nulis dapat dua halaman. Kalo bulan yang lalu yang berbagi bakal novelnya adalah Shofa sama Zaki, kali ini giliran Pijer sama Mahbub.
Novel Pijer sebenarnya sudah selesai, saking lamanya menunggu waktunya ngobrol yang terkatung-katung gara-gara liburan lebaran, idul adha, taon baru, ples liburan sekolah. Novel Pijer bercerita tentang perjuangan Fika mengembangkan seni hadrah di pesantrennya. Karena penghalangnya tidak cuma bapak kepala sekolah yang “aneh” tapi juga masyarakat sekitar yang kadung memberikan image negatif atas keberadaan pesantren dan kiprahnya. “Coba pak kepala sekolahnya jangan dibikin dipecat,” Mahbub mengajukan ide. “Soalnya kalo aku menganalogkan, seperti tentara yang sudah gigih menembak musuh, cuma ternyata si musuh matinya bukan karena peluru yang ditembakkan, tapi karena terpeleset.”
“Iya. Pikirku juga begitu,” Sakri mengamini.
“Yah, maksudku sih kalo dipecat kan, berarti sudah nggak ada lagi penghalang buat Fika,” jelas Pijer. “Tapi, oke deh, aku pertimbangkan.”
Itu salah satu contoh obrolan saling tukar ide dan penilaian. Sebelumnya teman-teman memang sudah baca synopsis atau beberapa bagian novel yang sudah ditulis. Untuk kemudian dibincangkan dalam forum ini. Sementara Mahbub bercerita tentang Ibu Nyai dan kucing piarannya. Novel ini memang berjenis komedi, meski tak menghilangkan bagian kritisnya. Karena ternyata gara-gara kucing itu, Ibu Nyai sudah membuat Sukarti, abdi dalemnya, merasa tidak dihargai kemanusiaannya.
“Tapi, harus dijelaskan juga jenis kucingnya. Soalnya kalo jenis piaraan, biasanya nggak suka nyolong gereh atau apa,” usul Hilma.
“Terus, biasanya perilaku memiara binatang antara orang kampung dengan orang kota juga berbeda. Kalo orang kota suka digendong-gendong, berbeda dengan orang desa yang cukup dengan memebri makan saja,” Sakri menambahkan.
Dan, masih banyak lagi masukan juga ide-ide penguat yang ditawarkan teman-teman untuk Mahbub. Juga sampai pada hal yang kecil, misalnya, racun apa yang dipakai Sukarti untuk mencelakai si kucing, yang kira-kira ndak bikin mati tapi juga mencemaskan Bu Nyai, dan kira-kira dikenal oleh Sukartai yang orang kampung itu.
Acara selesai pas jam lima sore. Dengan agenda pertemuan untuk bulan depan, giliran mbahas bakal novelnya Sakri sama Hilma. C U…
“Iya. Pikirku juga begitu,” Sakri mengamini.
“Yah, maksudku sih kalo dipecat kan, berarti sudah nggak ada lagi penghalang buat Fika,” jelas Pijer. “Tapi, oke deh, aku pertimbangkan.”
Itu salah satu contoh obrolan saling tukar ide dan penilaian. Sebelumnya teman-teman memang sudah baca synopsis atau beberapa bagian novel yang sudah ditulis. Untuk kemudian dibincangkan dalam forum ini. Sementara Mahbub bercerita tentang Ibu Nyai dan kucing piarannya. Novel ini memang berjenis komedi, meski tak menghilangkan bagian kritisnya. Karena ternyata gara-gara kucing itu, Ibu Nyai sudah membuat Sukarti, abdi dalemnya, merasa tidak dihargai kemanusiaannya.
“Tapi, harus dijelaskan juga jenis kucingnya. Soalnya kalo jenis piaraan, biasanya nggak suka nyolong gereh atau apa,” usul Hilma.
“Terus, biasanya perilaku memiara binatang antara orang kampung dengan orang kota juga berbeda. Kalo orang kota suka digendong-gendong, berbeda dengan orang desa yang cukup dengan memebri makan saja,” Sakri menambahkan.
Dan, masih banyak lagi masukan juga ide-ide penguat yang ditawarkan teman-teman untuk Mahbub. Juga sampai pada hal yang kecil, misalnya, racun apa yang dipakai Sukarti untuk mencelakai si kucing, yang kira-kira ndak bikin mati tapi juga mencemaskan Bu Nyai, dan kira-kira dikenal oleh Sukartai yang orang kampung itu.
Acara selesai pas jam lima sore. Dengan agenda pertemuan untuk bulan depan, giliran mbahas bakal novelnya Sakri sama Hilma. C U…
2 komentar:
wah..pasti menarik brain storm kayak gini,..kapan kapan kalau saya ke jogja ikutan dong, ..he he
mbak isma, acara di MATAPENA apa aja setelah ini?
kok di blog dah buanyak banget?
mila pengen ikutan nih.
sekarang udah lebih longgar.
Post a Comment