Monday, March 30, 2009

EMOTIONAL CONECTING ?

Monday, March 30, 2009
; Sebuah Hubungan Yang Tidak Ramah Antara Aku dan Keledai Hitam

Malam setelah haul ke-2 almarhum Gus Zaenal Arifin Thoha aku segera meluncur ke rumah matapena, meski saat itu aku sempat tinggal gelanggang colong playu, demikian istilah Kang Mahbub untuk aku waktu itu karena memang jatahku baca puisi aku tinggal begitu saja. Karena memang waktu sudah larut malam dan aku kira aku tidak lagi kebagian tugas baca puisi. Malam itu juga aku harus istirahat, pikirku karena aku harus mendatangi Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah untuk mengadakan roadshow Matapena.

Pagi hari menjelang bangun pagi aku sudah mengumpulkan tenaga dan menghimpun kekuatan semangat. Berteriak, mengaji, sholawat atau just menyanyikan lagu tanpa syair Slamet Gundono yang memang bagus untuk oleh vocal bersama Zaki dan Kang Mahbub. Setelah itu menyiapkan ubo rampe untuk roadshow; formulir pendaftaran, daftar hadir, dan tetek bengek lainnya. Tepat jam tujuh pagi harus menemani sarapan Zaki yang harus mendongeng di depan lima ratusan santri TPA di Imogiri. Di warung akhirnya kami menemukan ide dongengan Zaki, yaitu kisah Ibnu Hajar yang bisa mengambil hikmah dari proses koneksitas alam dengan manusia. Batu yang berinteraksi dengan air, yang kemudian melahirkan pembelajaran penting bagi manusia tentang konsep sabar, dan tekun dalam mencari knowledge.

Setelah selesai membuat konsep untuk dongeng, kami langsung menuju Pondok Pesantren Nurul Ummah karena aku harus bertemu dengan Irawan Fuadi. Di pesantren itu Fuad sudah siap dengan kendaraan mungilnya yang tak lebih adalah belalang tempur milik satria baja hitam atau Keledai Hitam si Abu Nawwas. Tanpa sepion, tak ada lampu depan, kenalpot pecah dan jok belakang yang tak utuh untuk memuat pantatku yang tidak begitu lebar. Namun prinsipku barokah is number one. Karena motor itu adalah salah satu inventaris keluarga ndalem.

Dan karena keyakinan barokah itu, ternyata kami harus diuji, motor dipancal hidup namun baru berjalan tiga meter tersendat dan muntah asap. Diselah dua kali berjalan lagi ternyata masih ngadat, walhasil aku harus turun dulu dan membiarkan Fuad melatih keledai hitamnya itu berkeliling lapangan karang. Ternyata kendaraan itu perlu pemanasan dengan tanpa beban. Ya, motor itu protes sambil berteriak bahwa sepagi itu telah terjadi pen-dholim-an terhadap dirinya oleh kami. Kami membiarkan miss-conecting, antara mesin dengan kami sebagai manusia, ketika terjadi pendholiman semacam itu kamipun kemudian didholimi oleh waktu, molor!

Setelah kami bisa berakrab ria dengan keledai hitam itu, kami berjalan dengan terseok apalagi harus menuruni tanjakan jalan utara lapangan Karang, tapi semangat jihad kami sebagai militan Matapena tidak pernah surut. Allahu akbar!

Sesampai di pesantren, entah mungkin telah terjadi koneksitas vertical antar motor dan Pesantren itu ketika memasuki gerbang pesantren keledai hitam itu mogok lagi. Beberapa kali kita selah masih mogok, akhirnya saya berkesimpulan meski tidak ada tanda kendaraan harus turun kamipun harus turun! tidak hanya sampai di situ. Fuad harus kembali lagi untuk mengembalikan kamera digital yang sedianya untuk acara nanti. Puh! Tuhan ampuni kami….

Jam 08.51. pesantren masih ro’an, padahal kami mengejar jam 09.00 sebagaimana yang terjadwal. Kami maklum. Kami langsung menuju kantor, di kantor disambut oleh Kang Zaim dan beberapa pengurus lain, sayang aku lupa namanya. Sempat pula aku bertemu dengan Kang Kijun adik kelasku waktu di aliyah, dan dulu pernah satu pondok. Menjelang acara itu perbincangan sekitar pesantren Al-Luqmaniyyah. Bagaimana pesantren yang berada di tengah kota itu mampu berkembang begitu cepat, santri-santri yang kebanyakan membawa laptop, motor dan hape itu tidak gagap bersanding dengan alfiyah dan tradisi pengajian kitab klasik lainnya. Ya, Gus Najib memegang dan berperan utuh untuk menentukan arah roda pendidikan pesantrennya dengan gaya klasik -Kitab kuning- namun tak ketinggalan modernisasi.

Acarapun dimulai sekitar jam 09.40. yang dihadiri sekitar tujuh puluh peserta santri putra dan putri Pondok Pesantren Al-luqmaniyyah. Setelah pembukaan, moderator langsung mempersilahkan kami untuk berbicara, yang terjadi aku hanya menceritakan perjalanan kami di pesantren-pesantren dan pentingnya sebuah komunitas sastra yang berbasis pesantren. Sementara Fuad lebih berbicara bagaimana berkomunitas itu, sebagai genarasi lanjutan dari komunitas Matapena Fuad bercerita banyak mengenai take and give di Matapena, yang telah lenyap senioritas dan yunioritas, matapena adalah sebuah proses bersama untuk menemukan sastra alternative yang berbasis pesantren. Selain itu Fuad juga bercerita tentang fasilitas dan keasyikan ketika bergabung dengan matapena. Pernyataan ini ternyata diamini oleh Orwella yang pernah bergabung dengan salah satu komunitas sastra di Yogyakarta. Kata Orwella yang merupakan santri putri PP Al-luqmaniyyah itu, “membayar tiga puluh ribu, itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan pengalaman dan kebebasan menyampaikan imajinasi dalam bersastra pada sebuah komunitas sastra,” demikian ungkapnya dengan berapi-api. Horas Orwel!

So. Memang hari itu tidak begitu banyak pertanyaan, karena Fuad mencoba mengkoneksikan ruangan itu dalam full imajine, para santri diminta berdiam sebentar meraih sebuah imaji dan menulis sesederhana mungkin untuk kemudian dibacakan di depan teman-teman. Sungguh luar biasa, hampir limapuluh persen para peserta mengangkat tangan ketika diminta membacakan tulisannya, ada yang menulis tentang dialog lugas Kyai gaul dengan santri cool, ada yang menulis tentang mimpi seorang santri ada juga yang menulis kisah cinta di pesantren. Aku berkesimpulan mereka luar biasa semangatnya. Sebagai tambahan aku mencoba menggelitik semangat mereka dengan menjelaskan konsep draft dalam menulis novel, ya tentunya hanya sekilas, karena tanpa terasa adzan dhuhur mulai berkumandang.

Namun aku tidak ikut berjamaah, karena Gus Najib menyandera kami untuk berdialog dan berdiskusi kecil tentang cara memotifasi santri. Dari dialog itu, saya menemukan sebuah konsep yang bagi saya sangat luar biasa untuk diterapkan di Matapena, yang pertama yaitu konsep nasibiyyah yang merupakan konsep penjaringan dan pengelompokan peserta dalam menemukan telenta dan mengukur kemampuan peserta biar tidak terjadi generalisasi. Kedua adalah at-tawazzun bainan-nafsi wal aqli, sebuah keseimbangan antar nafsu (emotional) dan akal yang semuanya bisa bertemu dalam lorong ilmu. Namun puncak dari konsep itu sebenarnya adalah essential yaitu Allah (tasawwuf). Jika keseimbangan nafsu dan akal itu terjadi maka akan terjadi yang ketiga yaitu koneksitas manusia dengan alam yang lahir dari kemutlakan ilmu (Allah). Pembentukan koneksitas itu bisa dilakukan dengan riyadhah (salik, tasawwuf). Dan jika sudah terjadi koneksitas (kearifan, keadilan, dan keseimbangan) antara alam dengan manusia maka tidak mungkin tidak lagi, di muka bumi ini akan terjadi kedamaian hakiki.

Dan kami harus berhenti untuk berdialog, ketika Gus Najib mempersilahkan kami untuk makan bersama. Selesai makan Gus Najib hendak memulai topik dialog baru tapi saya buru-buru harus segera memotong, “Sepuntene, Gus. sauntawis cekap anggen dalem sowan. dalem bade nyuwun pamit…,” dan akhirnya kami bisa menuju keledai hitam lagi untuk pamit. Meski sekali lagi kami harus adil pada motor tua itu, Fuad melatihnya kembali berjalan tanpa beban dulu baru saya ikut naik di belakangnya…