Thursday, March 26, 2009

Mendadak Diskusi Bareng Katrin Bandel

Thursday, March 26, 2009
; Lokalitas dalam Sastra

(Jogja RKKM, Sabtu, 21 Maret 2009) Garasi rumah kreatif lumayan sejuk waktu itu. Semilir angin yang masuk lebih banyak dari pada yang di dalam ruang tengah. Katrin yang semula ada di dalam ruang tengah kini beranjak ke garasi di susul teman-teman lain; pijer, isma, mahbub, sachree, dan zaki. Banyak senyum menghias bibir Katrin siang itu. Ia nampak ramah dan bahagia. Ia senang karena memang sudah lama ingin bertemu dengan penulis-penulis matapena untuk menyampaikan komentar-komentarnya mengenai novel-novel pop pesantren matapena.
Tepat pukul 13.20 ketika teman-teman lain berkumpul, -ufi, shofa, jajang, ahsin, irfan ipenk, aya, dan umi- zaki membuka acara dengan salam dan sedikit pengantar tentang mendadak diskusi di siang itu.

“tema kali ini adalah lokalitas dalam sastra. Jadi apa sih yang dimaksud dengan lokalitas dalam sastra itu? Dan local itu yang bagaimana? Bagaimana lokalitas dalam karya matapena? Bagaimana menulis novel yang melokal dan menarik?” lalu zaki mempersilakan Katrin untuk memaparkan pandangannya tentang hal-hal tersebut.

“Matapena sudah sangat local dan menarik kok,” kata katrin.

“kenapa?” lanjutnya, “Tahun 70-an ada novel warna local: seperti Ronggeng Dukuh Paruk yang memaparkan adat local atau etnis tertentu. Sedangkan Matapena bukan hanya memuat lokalitas etnis tertentu, namun satu institusi tertentu. Nilai-nilai pruralitas menjadi kelebihan novel-novel pesantren matapena. Novel yang mengungkapkan etnis tertentu biasanya hanya mengagungkan entitas tertentu. Pendatang sebagai pengganggu dan jahat. Pesantren lebih plural. Dan itu menarik.

“Lalu yang dimaksud dengan warna local itu apa? Lokalitas itu apa?”

“Dalam novelnya, Ahmad Tohari menggambarkan setting tempat dengan sangat teliti.

Begitu pula Matapena, novel-novel ini sudah mengambarkan dengan teliti sebuah pesantren. Warna local sudah digambarkan dengan baik. Yang khas dari matapena sendiri adalah bahasa yang hybrid dan campur baur –Indonesia, Arab, Inggris, Sunda, Madura, Jawa, dll-. Itu sangat menarik. Apalagi jika ditambah dengan glosari, itu akan lebih akan menarik lagi sebab karena bahasa yang beragam dengan idiom, Inggris, Arab, Indoneisa, Jawa, Madura, dan lain sebagainya kadang membuat orang yang belum kenal pesantren jadi perlu dibantu dengan glosari tersebut,”

“Yang penting dalam buku berwarna local adalah nilai local. Ahmad Tohari menggambarkan nilai moral pada novel pertama Dukuh Paruk yang agak menyimpang dari sekitarnya dengan wajar. Di akhir trilogy Dukuh Paruk seolah harus dibawa ke nilai islam. Di matapena, nilai-nilai di pesantren yang berbenturan terjadi negosiasi dengan berbagai nilai. Yang pada akhirnya menemukan pemecahannya sendiri.”

Kira-kira itulah yang menarik dari novel-novel pesantren matapena menurut Katrin Bandel. Pertanyaan pertama muncul dari Zaki tentang apakah novel local itu tidak universal? Lalu maksud dari Universalitas dalam karya sastra itu bagaimana?

Menjawab pertanyaan Zaki, Katrin mengajak flashback ke masa lalu, bahwa pernyataan tentang universalitas itu adalah nonsen. Universal itu tak lain adalah nilai yang diciptakan barat. Di Indonesia? Novel remaja yang kota justru lebih sempit.

“Jika dibandingkan antara novel Ahmad Tohari dan Ayu Utami? Ahmad Tohari lebih menarik karena menawarkan hal baru. Novel Ayu Utami itu sok universal; Amerika dan Indonesia seolah tidak ada bedanya. Sok mengglobal yang pada akhirnya malah terkesan dibuat-buat. Ayu Utami banyak ngomong tentang sex yang ia sendiri tidak fahami,”

“Satu lagi yang menarik; sastra warna local ditulis oleh orang yang memahami yang dibicarakan. Pengalaman langsung itu kerasa sekali. Pemula menulis pengalaman pribadi,”

Lalu perlahan katrin membuka tumpukan novel di depannya dan mengangkat sebuah novel berjudul Perempuan Berkalung Sorban (PBS).

“Ini novel jelek. Lebih menarik matapena. Dalam novel-novel matapena ada kritik untuk pesantren tetapi selalu ada negosiasi. Rasa cinta penulis pada pesantren begitu terasa, namun tak menutup untuk tetap berbenah, harus ada yang diubah lebih baik lagi,"

“Pada PBS, ia tidak menggarap setting lokalitas, sosiologis pesantren dengan baik. Seperti apa pergaulan di dalam pesantren. PBS menggambarkan pesantren itu tertutup dan mengerikan. Yang ada hanya gambaran hitam putih tentang moralitas pesantren. Hitam putih digambarkan lewat tokoh yang kadang 100% persen jahat dan kadang 100% baik. Itu membuat membosankan. Tokoh matapena memiliki juga kesalahan, aka tetapi tetap berusaha memperbaiki diri.”

“Jika novel matapena dibaca orang non-islam; ini sebagai jihad yang diterima, dunia pesantren menjadi dunia yang ramah dan bisa dibayangkan sebagai sesuatu yang tidak mengerikan. Namun pada PBS, dunia Islam itu terasa kaku dan menggerikan; tertutup dan perempuan ditindas di dalamnya. Harusnya lebih bernuansa. Dilihat pula kontribusi pesantren pada kebaikan.”



Isma bertanya. “Sebagai pemula, sepertinya lebih menarik jika ditarik ke ranah lebih luas, lokalitas di tingkat global itu bagaimana? Bagaimana tentang pandangan local itu tidak ngetrend dan tidak popular. Bagaimana menggali kemauan remaja menulis tentang dirinya?”

Katrin menjawab. “fenomena novel remaja sangat khas. Remaja menulis itu suatu hal yang menggembirakan. Remaja Islami yang sains fiction menarik juga.”

Ufi bertanya, “kesImpulan lokal sangat menarik bagi yang di luar. Bagaimana jika ingin membuat imajinasi yang dahsyat? Apakah itu juga menarik?”

Katrin menjawab, “Sains fiction itu bias jadi lokal? Biasanya konflik yang timbul berangkat dari renungan jaman sekarang. Hubungan pengalaman dengan membaca? Tentu saja saya tertarik dengan sesuatu yang belum saya kenal. Namun saya juga tertarik dengan dunia saya yang ditulis orang lain, karena akan ada prespektif berbeda. Merefleksikan pengalaman sendiri bisa nyambung. Kalo mencoba meniru jadinya mentah. Kalo di kontek Indonesia, kurang universal dan kurang menarik, kekhasan Indonesia itu pluralitas; bahwa setiap karya ada tarik menarik dalam budaya Indonesia tentang pesantren dan dunia luar pesantren. Islam dan non-islam. Ketat dan non-ketat. Pertemuan antar etnis di pesantren. Bukan hanya tentang pesantren di Jawa. Tapi semuanya. Saya pernah berkunjung ke pesantren di Kalimantan, dan memang tipologinya hampir sama dengan pesantren di Jawa.”

“Dalam karya sastra yang ‘universal’, semisal karya Ayu Utami seakan-akan tidak ada konflik moral. Dia tidak menggarap konflik moral. Dia hanya mau provokasi bahwa seakan-akan semua orang berlaku seperti para tokohnya. Padahal tidak sama sekali bahkan di Amerika. Ayu Utami tidak menggarap konflik itu.”

“Lalu lokalitas itu sebenarnya apa? ya tidak ada! Semuanya universal,” Tapi implementasi nilai-nilainya saja yang berbeda antara sebuah masyarakat tertentu dengan masyarakat di luarnya. Novel yang membahas tentang kalangan menengah atas biasanya tidak disebut dengan warna local tapi universal. Hal ini dikarenakan definisinya yang tidak adil. Universalitas dikaitkan dengan global, yang umumnya barat.”

“Dunia jadi global karena ada kolonialisme. Global itu Amerika maka menjadi universal karena relasi kekuasaan global. Selalu ada konteks politik di dalam kontoks sosial.”

Diskusi terus berlanjut, Jajang menganggap bahwa sebenarnya tidak ada nilai universal. Katrin hanya menggaris bawahi pentingnya negosiasi dalam konflik karya sastra. Dan referensi sangat penting agar semakin banyak prespektif dalam karyanya. Ia juga menjawab pertanyaan Pijer tentang haruskah lokalitas itu tidak ada di tempat lain? Ia menjawab tidak, yang penting kesadaran lokal itu di pupuk. Bahkan menjadi lokalitas universal, kata zaki mencoba menambah.

Diskusi berakhir pukul 15.10. tak terasa sudah dua jam lebih. Juga tak terasa dari tadi hujan deras mengguyur membuat dingin hawa siang itu. Sebab yang terasa adalah hangat bara pencarian ilmu. Yang menguarkan pesona lokalitas masing-masing individu menyatu dalam universalitas nilai; keinginan untuk membuat dunia lebih baik. (zz)

0 komentar: