Thursday, March 26, 2009

Olala, Resmi-Phobia!

Thursday, March 26, 2009
PP Darun-Najah Jakarta Selatan
15 Maret 2009
oleh Mahbub Dje


Meski sudah janjian pukul 15.00, kenyataannya kami baru dijemput bakda ashar, sekitar pukul 17.00. Sebelumnya, kami harus menyamakan persepsi dulu dengan Zaki Zarung, mengingat sebelumnya terdapat sedikit kesalahpahaman. Setelah terjadi negosiasi, akhirnya kami berangkat bersama. Seperti kemarin, kami menjemput Restu di depan UIN. Sementara Restu datang, Zaki menemui sahabat lamanya, dan melobi dia untuk ikutan roadshow. Sebab, memang agenda hari itu adalah roadshow. Mungkin sekitar 10 menit, dan dari depan UIN, di saat maghrib mulai menggantung, kami meluncur menuju Darun Najah.

Hari itu minggu sore, dan jalanan lumayan lancar. Memang, selancar-lancarnya Jakarta, masih saja ada yang macet. Di beberapa ruas jalan, terutama di beberapa kilo sebelum Darun Najah, kemacetan terjadi. Iring-iringan kendaraan bergerak seperti semut. Seorang relawan—ah, benarkah ia relawan?—berdiri di tengah pertigaan, berusaha mengatur lalu lintas yang padat. Saat melewatinya, sopir kami membuka kaca jendela dan memberikan selembar uang seribuan untuknya.

Satu tarikan gas, mobil pun sampai di depan pintu gerbang pesantren. Perlahan, mobil memasuki pelataran pesantren. Luas sekali. Dan gelap. Tampaknya mati lampu. Hanya masjid berlantai dua itu yang kelihatan benderang. Santri besar kecil terlihat hilir mudik. Mobil berhenti di samping masjid, dan kami pun turun.

Kang Slamet langsung beraksi. Dengan baju seragam hitam-merahnya, ia segera menelpon panitia lokal. Ternyata, yang ditelepon sudah berada di depan masjid. Dari remang-remang, lelaki itu muncul dan menyalami kang Slamet. Kemudian, kami diajak ke tempat penerimaan tamu. Lilin menyala di meja-meja. Beberapa gadis cantik (cantik, sebab remang-remang—entah kalau terang) terlihat mempersiapkan minuman dan ube rampenya. Ustadz Masruin yang kemudian banyak menemani kami. Dia masih muda. Kutaksir, usianya sekitar 25-an tahun. Alumni pesantren Gontor yang asli Pemalang ini, beberapa saat kemudian mempersilakan kami pindah tempat duduk; ke meja makan. Wow, baik banget.

Yup, ternyata sate dan sop segar sudah menanti kami. Kang Slamet, Mas Dani, Zaki, dan teman-teman lain masih malu-malu. Aku malah berlagak jadi tuan rumah, mempersilakan mereka, mengajak Ustadz Masruin untuk turut serta menemani. Diselingi ngobrol ringan, kami pun menikmati makan malam yang segar dan romantis itu. Aku katakan romantis sebab lilin-liln menyala, dan pembicaraan yang hangat demikian asyik mengalir seakan kami sudah begitu dekat. Wah-wah-wah.

Sambil menanti listrik hidup, dilatari oleh suara-suara santri dari arah masjid, kami berbincang banyak hal. Mulai dari pengalaman hidup Ustadz Masruin di Gontor hingga hukum rokok di pesantren. Kisaran 20 menit kemudian, acara siap dimulai. Kami pun diajak ustadz Masruin ke tempat acara; sebuah aula besar terbuka di belakang masjid. Dari jauh, aku sudah keder dulu melihat tatanan ruangan yang begitu resmi. Kursi berjajar dibagi dua kelompok. Panggung setinggi setengah meter melebar di depan. Meja yang tinggi tertulis ‘pemateri’; ‘moderator’, aqua botol dan gelas-gelas bening ala pesta bergaya Eropa. Ah, resmi sekali. Kayak sarasehan aja.


Kami duduk di shofa bagian paling depan. Tempat duduk vip, sebab para peserta duduk di kursi plastik ala mantenan. Lalu acara dimulai. Kulihat arloji di hp-ku sudah menunjukkan pukul 20.00 ketika seorang santri naik ke mimbar, menjadi MC sekaligus membuka acara dengan resminya. Lalu pembacaan ayat suci al-Qur’an. Hm, resmi sekali. Untung gak pake sambutan segala. Sebab, MC langsung menyerahkan forum ke kami.

Kemudian, Zaki menyerahkan forum kepadaku. Aku mengajak para audiens merenungkan kembali tentang pentingnya kepenulisan. Kubuka dengan kata-kata sayyidina Ali, “Al-‘Ilmu Shoid wal-kitabah qayyiduh.” Lalu kuajak peserta menyelami, bagaimana nasib ummat islam jika al-qur’an tidak dituliskan. Bagaimana kalau hadits-hadits dan kitab-kitab keagamaan tidak dibukukan. Ilmu umat Islam tentu habis terkikis. Milan Kundera bilang, “Jika kamu ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, hancurkanlah buku-bukunya.” Maka, lihatlah bagaimana mundurnya peradaban Islam ketika buku-buku umat Islam dibakar dan dihanyutkan oleh Hulagu Kan saat Baghdad kalah perang. Setelah aku cukup, Restu masuk. Seperti biasa, Restu memberikan teori singkat kepenulisan novelnya. Menulis novel harus ‘tanpa kepala’. Perasaan, jiwa, tumpahkan saja. Lalu setelah selesai, baru dikoreksi ulang, kalau perlu cari teman sebagai pembaca pertama.


Pada sessi berikutnya, acara tanya jawab pun digelar. Sesudah dirasa cukup, Zaki kembali membawa audiens untuk mempraktikkan cara praktis menulis. Zaki meminta audiens menuliskan 4 kalimat dialog antara dua tokoh. Kemudian beberapa voulentir dari peserta membacakannya. Setelah dirasa cukup, Zaki meminta peserta memperbaiki tulisannya dengan menambahkan setting dan narasi. Dan, jadilah tulisan itu lebih baik dan lebih enak dibaca. “Nah, gampang kan bikin novel?”

Pada sessi ketiga, pembaca diajak mengenal lebih jauh tentang matapena, bagaimana cara-cara menjadi anggota komunitas, dan pengumuman bahwa Ustadz Masruin adalah koordinator pendaftaran. Lalu zaki menyerahkan acara kepada MC kembali. Kulihat ustadz Masruin dipersilakan memimpin doa ketika hp-ku menunjukkan pukul 21.59. Setelah doa, kami bertiga—Zaki, aku, Restu—dikasih kenang-kenangan dari Darun Najah. Tas kertas berisi kalender Darun Najah, CD profil, dan leaflet profil pesantren. Kami pun berpamitan.


“Bagaimana Kang Slamet?” tanyaku ketika mobil perlahan menyusuri pelataran pondok. “Alhamdulillah.” “Alhamdulillah piye?” “Suksess... sing penting kan acara sukses. Kalau masalah dagangannku, tak usah terlalu dibahas...”


Aku tahu apa maksud Kang Slamet, dan tak pernah bertanya lagi. Menikmati perjalanan, ataupun ngobrol santai, lebih nikmat untuk dilakukan daripada ngobrol serius apalagi ngobrol resmi kayak tadi.[]

0 komentar: