Saturday, April 11, 2009

Bedah Calon Novel;

Saturday, April 11, 2009
JEJAK SUNYI PENYAIR DAN NOVEL BELUM BERJUDUL
Sabtu, 4 April 2009 pukul 14.00 lebih sedikit, Rumah Kreatif Matapena kembali ramai. Sembilan orang penulis dan calon penulis melingkar di ruang tengah, ruang yang biasa digunakan untuk ngobrol dan diskusi teman-teman anggota komunitas matapena. Di tengah-tengah lingkaran ada suguhan teh anget, Fried Tahu (atau menurut tulisan di bakulnya Tahu Kentucky) dan irisan buah melon. Zaki Zarung yang membawa diskusi siang itu. Ia memperkenalkan dua penulis yang bakal novelnya akan dibedah. Hadir Humam Rimba Palangka yang sengaja hadir dari Kebumen khusus untuk acara ini. Sedangkan Rendy Jean Satria penulis Jejak Sunyi Penyair berhalangan hadir. Sedang ada acara di Bandung.

Setelah acara dibuka, Rimba mendapat kesempatan pertama untuk memresentasikan novelnya.

“Novel saya ini bercerita tentang peristiwa yang memang benar-benar pernah terjadi pada teman saya. Jadi saya ingin menuliskannya… “

Rimba memulai cerita dengan kisah temannya yang kemudian ia tuliskan dalam novel. Adalah Sunardi, pemuda yang supel, pinter, baik, dan macam-macam lagi. Ia nyantri di sebuah pesantren di Kebumen nyambi sekolah di SMU. Kisah terjadi di SMU. Ada tokoh Vina menarik perhatian Sunardi. Konflik muncul ketika Vina ternyata anak seorang yang dahulu terkena kasus salah tangkap karena dianggap oknum PKI. Sunardi berjuang untuk mengungkap kebenaran itu dan juga berusaha memperjuangkan hak Vina.

Menurutnya tidak ada dosa turunan, ketika orang tua pada jaman dulu melakukan kesalahan, lalu sang anak juga turut memanggul dosanya hingga segala konsekuensi atas dirinya menjadi buruk.

Hujan turun deras dengan tiba-tiba ketika Rimba mengakhiri presentasinya Suara petir dari langit dan deru angin yang kencang di luar Ruamh semakin menjadi. Tepat ketika Fuad memulai proses pembedahan dengan mengemukakan bahwa alur novelnya kurang ada ledakan. Pettt! Matilah lampu. Tidak cuma lampu. Rupanya listrik padam. Karena ruang lumayan gelap, Pijer Sri Laswiji segera bangkit dan mencari lilin serta korek api. Diskusi makin hangat dengan nyala redup dua buah lilin di atas gelas. “Sebelumnya saya mau tanya, Kang. Kenapa sampean mengangkat ide tentang PKI. Lalu di situ juga ada setting pesantren. Tentang ide novel sampean tersebut., sampean sebenernya ingin menyampaikan tentang apa toh? Hubungannya PKI dan dunia pesantren juga. Saya itu belum nangkap utuhnya novel sampean e…” Pijer menambahkan.

Selain itu Pijer juga menilai penokohan dalam novel Rimba masih kurang kuat, karakter tokohnya belum terwakilkan dalam narasi maupun dalam dialog.

Rimba hanya menthuk-menthuk dan mengatakan, “saya akan mencatat masukan-masukan teman-teman untuk perbaikan novel ini,”

Wawan, anggota baru dari PP Luqmaniyah Jogja berkomentar, “tentang judul kok belum ada? Terus perlu adanya pembagian sub tema biar lebih focus, diberi mungkin akan lebih baik kalau diberi subjudul…,”

Tri Wahyuningsih -yang novelnya ‘Jadi Santri’ bakalan terbit- berkomentar, “Teknis penulisan kurang nyaman dibaca, EYD kurang diperhatikan, jadinya bacanya agak terganggu,”

Zaki Zarung berkomentar tentang setting. Menurutnya, penggarapan setting suasana kurang jadi. Sebab kadang ada kata yang ga masuk. Tema tentang PKI yang diangkat penulis sebenarnya sangat bagus, cuman kurang tergarap sejak awal. “Kenapa konflik tentang keluarga Vina dengan latar belakang PKI yang jadi inti tema tidak dimunculkan dari awal,”

Mahbub mengiyakan komentar Pijer tentang penggarapan karakter tokoh-tokohnya. Menurutnya karakter belum tergarap maksimal. Apa yang ingin diceritakan, antara sinopsis denganm novel yang ditulis kurang sesuai. Apa yang diceritakan dalam sinopsis tidak didapatkan dalam novel.

Fuad, “Endingnya kurang logis, kenapa tiba-tiba Sunardi di rumah sakit, sebabnya apa? Kok kayaknya tidak ada hubungannya dengan konflik sebelumnya. Hujan semakin deras. Kritikan atas novel juga menderas. Rimba nampak basah berkeringat geram. Dalam wajahnya menyimpan dendam akan pembuktian, bahwa ia siap mengejutkan pada sesi pertemuan selanjutnya.

“Akan ku buat kalian terkejut dengan evolusi novelku. Sekarang boleh kalian mengguyurku dengan kritik tajam. Esok, kalian akan tercengang melihat kupu-kupu menguar dari novelku. Tunggulah!” kata Rimba dalam hati.

Bahasan novel Rimba selesai. Giliran novel Jejak Penyair milik Rendi Jean Satria yang dibedah. Fuad kehilangan kata-kata untuk mengatakan novel ini tidak bagus. Bahasa indahnya sudah menutup mulutnya untuk menilai aspek yang lain. Namun beda dengan Baroroh yang mengatakan kalau paragraf-paragraf yang disusun panjang-panjang, pembaca menjadi bosan.

Menurut Pijer, penokohan sudah bagus, karakter tokohnya sudah tergarap. Tapi menurutnya ini belum bisa disebut novel, karena belum ada pengembangan konflik. Konflik yang dibangun hanya satu. Lebih dekat dengan sebutan cerpen panjang, katanya. Zaki berkomentar tentang pemakaian kata. Pilihan katanya kadang kurang matching. Misal, plural da konvensional yang disandingkan dengan istilah Indonesia puitis yang kurang ngeh. Ending juga tergesa dipaparkan. Akan lebih asyik kalau dibuat menggantung aja samapi ketika akhirnya karya puisi sang tokoh dimuat di koran, kata Zaki mengakhiri komentarnya.

Ah, lagi-lagi banyak kritik. Namun secara keseluruhan novel ini sudah bagus. Tinggal sedikit digoyang sudah layak diterbitkan.

Hujan mulai reda. Satu persatu peserta bedah calon novel pulang ke kandang masing-masing. Zaki dan Rimba masih tinggal di rumah kreatif menunggu maghrib. Baru setelah maghrib mereka menuju Kotagede menemui beberapa kawan lama; reuni. Dan keesokan harinya ia pulang ke Kebumen membawa bara dalam catatannya.

0 komentar: