Berlibur, bersastra, dan berkarya, tetap menjadi motto kegiatan Liburan Sastra di Pesantren II yang digelar oleh Komunitas Matapena di Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Empat puluh lima peserta datang dari Jawa Timur dan Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan ini dari tanggal 2-4 Januari 2009.
Diiringi gemericik hujan, kegiatan diawali dengan rancak musik hadrah oleh santri-santri Pandanaran di Aula kompleks puteri. Usai seremonial pembukaan, Akhmad Fikri yang kemudian disusul oleh Kuswaedy Syafii berbicara tentang “Sastra, Pesantren, dan Pembebasan”. Bahwa sastra sebenarnya bagian tak terpisahkan dari kehidupan pesantren. Santri bersastra selama 24 jam, lewat nazham, dzibaan, shalawatan, usfuriyah. Sastra bagi santri akan berefek pada penguatan dzauq atau kepekaan pada rasa, dan kepekaan ini yang akan meluaskan cakrawala. Bagi Kuswaedy, cakrawala luas itulah pembebasan.
Fokus liburan sastra kali ini adalah penulisan cerpen. Dimulai dengan pengumpulan naskah cerpen tulisan temen-teman, sebagai bahan diskusi kecil di pematang sawah Pandanaran. Sebelumnya ngobrol kepenulisan dengan Mahbub dan Sachree. Mereka bercerita tentang proses kreatif mereka. Seperti yang dituturkan Hilma sang moderator bahwa setiap orang yang menulis pasti punya kisah dan cerita dalam kepenulisannya. Sementara, untuk kisah dan cerita teman-teman peserta dieksplorasi labih luas di kelompok kecil, di pematang sawah Pandanaran.
Usai bercengkerama dengan alam sawah, teman-teman diajak untuk kembali ke masa kecil mereka, bermain gobak sodor. Kembali merenda lokalitas yang mulai tercerabut. Ada yang masih ingat tentang permainan itu, ada juga yang sudah melupakan atau belum pernah mengenalnya. Cunik, salah seorang peserta dari Tulungagung berkomentar, “Masak pada nggak tahu sih permainan ini?” Tapi, seru! Dari peserta, fasilitator, sampai panitia, semua terlibat dalam permainan dan tertawa bersama.
Agus Noor dan Joni Ariadinata yang didaulat untuk berbicara dengan detil soal ide-alur dan penokohan berhasil memukau peserta. Pada sesi pertama, bakda zhuhur, Agus menjelaskan bagaimana ide itu penting dicatat. “Saya buat file kalimat puitik. Saya tulis, tanpa tahu itu akan berguna kapan atau enggak. Misalnya, Lima Laki-Laki Lumpuh.” Selain membagi tips bagaimana menangkap ide dan merumuskannya, dan memompa semangat peserta untuk “memaksa diri” terbiasa menulis seperti yang ia lakukan dan berhasil. “Kejam pada diri sendiri adalah latihan menulis sebagai profesi. Seperti naik sepeda. Semakin ahli dan terbiasa. Menulis itu seperti naik sepeda, ada banyak cara untuk melakukannya. Artinya problem menulis itu ditentukan oleh bagaimana penulis itu.”
Pada sesi bakda ashar, Joni menjelaskan tentang penokohan secara detil. “Banyak cerpen yang terbit, tapi begitu banyak yang kita lupakan, salah satu sebabnya karena para penulis tidak memperhatikan tokoh yang dia tulis,” begitu ia memulai. Dan, meluncurlah banyak tips bagaimana menuliskan tokoh yang unik dan tak terlupa. “Untuk seorang pemula, cari sampel. Karena untuk menandai cerita, tokoh memang harus unik. Pembohong yang harus goblok banget, lugu ya lugu banget, jangan yang setengah-setengah. Ini kan mudah dilupakan bisa juga lewat psikologi nama, setiap nama kan punya muatan yang berbeda. Misalnya, Joni kesannya dugal, suka memperkosa orang. Gak mungkin orang desa yang jujur dan dekil.”
Malam harinya, teman-teman menonton film The Fredom Writer. Film tentang kekuatan sebuah tulisan yang bisa membongkar endapan dendam dan konflik antarras para murid di sebuah kelas. “Saya awalnya tidak tertarik. Tapi, setelah mengikuti, ternyata sangat inspiratif. Problem pendidikan yang kebetulan sedang saya hadapi di lingkungan tempat saya mengajar,” jelas Zakaria takjub. Dan, hal senada juga diungkapkan oleh peserta yang lain.
Selain pematang sawah Pandanaran, pada hari kedua teman-teman juga diajak berdekatan dengan alam kaki merapi, sambil berbincang soal setting dengan Evi Idawati. Menurut Evi, penulisan setting yang baik, mulailah dengan menuliskan apa adanya dari objek yang ditangkap, baru kemudian dibumbui dengan imajinasi dan pemaknaan. “Bahan penulisan setting bisa dengan datang langsung ke suatu tempat, wawancara, foto, gambar, rekaman video.” Dari kaki merapi, teman-teman dikondisikan untuk pementasan malam penutupan. Mementaskan Satu Babak tentang Hujan, karya Shachree adaptasi dai cerpen Aphoria Hujan karya Rasyid A, salah seorang peserta dari Darul Ulum Jombang.
Malam penutupan dimeriahkan oleh pentas dadakan dari santri puteri Pandanaran juga peserta dengan pembacaan puisi dan olah suara. Faisal Kamandobat dan Retno juga ikut membacakan puisi. Kang Acep dan Goenawan Mohamad yang sedianya diundang hadir untuk orasi budaya bersama Bisri Efendi dari Lipi, berhalangan hadir. Dalam orasinya, Bisri mengungkapkan salah satu temuan filologi menarik tentang komik yang ditulis oleh seorang kiai. Selain bahwa sastra pesantren seyogianya tidak membuat ruang sendiri dan eksklusif.
Usai penutupan, teman-teman berkumpul di aula untuk acara perkomunitasan Matapena dan perpisahan. Banyak kesan, banyak kenangan, banyak semangat untuk tetap menulis. Tunggu kiriman antologi cerpen teman-teman… Sampai jumpa di Liburan Sastra berikutnya ya…
0 komentar:
Post a Comment