Friday, April 20, 2007

Bincang-Bincang Bareng Abidah El-Khaliqy

Friday, April 20, 2007

Jum'at 13 April 2007, suasana lantai 1,5 LKiS tampak sedikit berbeda. Pertemuan penulis Matapena siang itu tidak lagi membahas bakal novel dan proses kreatif bersama, tetapi 'ngobrol bareng' bersama novelis perempuan Abidah El-Khaliqy, penulis novel Perempuan Berkalung Surban.



Acara yang dihadiri para penulis Matapena, baik Assabiqunal Awwalun (generasi pertama) maupun Assabiqunatsani (generasi kedua), ditambah beberapa undangan perwakilan dari SMU dan Madrasah Aliyah di Kota Yogyakarta itu dimulai pukul 14.30 WIB. Sebagai pembukaan, Isma, penanggung jawab Matapena mengungkapkan bahwa acara siang itu dimaksudkan supaya para penulis bisa sharing pengalaman dan gagasan bersama Abidah tentang sastra pesantren.

Abidah menyampaikan beberapa kritik dan masukan untuk novel-novel pop pesantren terbitan Matapena. “Menurut saya, beberapa novel Matapena terkesan terlalu menampilkan narasi yang fisikal. Misalnya dalam novel Santri Semelekete ada bagian yang menceritakan kondisi jorok pesantren terlalu detil sehingga justru menampilkan kelemahan pesantren bagi para pembaca yang belum mengenal lingkungan pesantren.”

Bagi Abidah, dalam menulis novel hendaknya lebih menampilkan nilai. Bagaimana sekiranya sastra pesantren mampu mendistribusikan nilai-nilai pesantren pada masyarakat pembaca. Penulis harus bisa mengawinkan imajinasi dan realita. Dia juga mengkritik tentang bahasa novel pop pesantren Matapena yang terlalu ngepop. “Bahasa 'pop' itu tidak masalah jika dituliskan dalam dialog. Akan tetapi, untuk narasi penceritaan, penulis sebaiknya tetap konsisten dengan bahasa baku.”

Dalam kesempatan itu Abidah juga mengetengahkan seorang novelis, Barbara Catland. Penulis yang jumlah karyanya sudah ribuan itu selalu menceritakan kisah cinta putri kerajaan dalam novel-novelnya. Tetapi keunikannya, selain setting kota atau negara tempat sang puteri yang beragam, penulis tetap memegang prinsip bahwa dalam kisah cinta itu keperawanan sang puteri tetap terjaga sebelum pernikahan.

“Lalu, apa rahasia novel-novel Barbara Catland yang mungkin bisa menjadi pelajaran bagi para penulis Matapena, Mbak,” tanya Pijer antusias.
Abidah kemudian mengungkapkan bahwa Barbara Catland memiliki data dan catatan tentang kerajaan-kerajaan di dunia. Bahkan, dia pernah ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Artinya, penulis memang harus menguasai dan tahu betul tentang apa yang akan ditulisnya. Penulis harus memperkaya wawasan.”

Selain itu, Hilma juga menanyakan bagaimana proses kreatif Abidah dalam pembuatan novel Genijora yang mendapat juara kedua dalam lomba yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, dengan setting Maroko yang demikian kuat, sementara penulis belum pernah berkunjung ke negara itu. “Saya tahu Maroko dari membaca dan informasi teman-teman,” jelas Abidah. “Jadi, penulis harus kreatif untuk bisa mendapatkan informasi dan wawasan tentang sesuatu yang akan ditulisnya,” lanjutnya mengakhiri perbincangan.

0 komentar: