Sebelum harga tiket, tentu ada alasan lain mengapa kami memilih kereta api. Suasana baru—yang mungkin bisa dijadikan ide-ide segar bagi pikiran. Kebebasan bergerak, tidur, dan tentunya buang air. Juga tidak pakewuh kalau mau menyulut sigaret atau sekedar kentut—yang tanpa bunyi—mengingat angin yang terus mengganti udara di ruangan gerbong. Dan yang terakhir, terbukanya kemungkinan mendapat teman bicara yang asyik.
Memang benarlah. Harapan kami terwujud di Gaya Baru Malam Selatan. Kami duduk bersama dua kawan baru. Satu dari Purwokerto, satu dari Tegal. Keduanya berencana pulang setelah merantau di Madura. Sepanjang perjalanan kami bicara ini dan itu. Hal-hal semelekete yang remeh temeh. Tetapi lumayan, daripada di travel yang biasanya antar penumpang hanya saling diam. Jaga imej. Mungkin karena ego para borjuis negeri ini selalu lebih besar; berbeda sekali dengan para proletar yang bisa langsung akrab meski belum kenal sebelumnya.
Begitulah. Perjalanan kami ditemani ayunan gerbong ke kanan ke kiri. Suara para asongan menawarkan jajanan dan kopi. Derit-derit roda besi. Dan terkadang tangis bayi yang terbangun di malam hari.
“Udah sampe mana, Pa, perjalanannya?” sms dari Zenal.
“Baru di stasiun Kebumen. Perkiraan sampe Cirebon 1/3 malam. Jadi kau tidur aja. Ntar kubangunin untuk qiyamulail. Hehe…” jawabku coba menjayuskan diri.
Peluit masinis melengking di depan sana. Dan bergeraklah berduyun-duyun pasukan pejalan dari stasiun Kebumen menuju Jakarta.
Nyatanya, pukul 05.30 kami baru sampai di Jaksan, stasiun besar kota Cirebon. Shalat subuh sekedarnya. Istirahat sekenanya. Lalu sms Zenal.
“Gimana nih, ada yang mo jemput?”
“Naik help aja. Jurusan Kadipaten dari Kedawung.”
“Mas-mas,” tukang becak menyambut rejeki pagi. “arep nangendi?”
“Ciwaringin.”
“O, ke kedawung dulu berarti. Ayuh, tek terna apa?” mulailah ia menebar pesonanya.
“Berapa sih, pak?” Sachri mengambil kuda-kuda membela diri. Siapa tahu kita diembat.
“Ya terserah, lah.”
“Jauh dari sini, Cidawungnya?”
“Kedawung. Bukan Cidawung. Yah, jauhnya sih nggak. Tapi nek mlaku ya lumayan.”
Kami duduk. Bermusyawarah. “Gimana, sach?” bisik-bisik.
“Ayu lah, melu aku bae.”
“Pira si pak?” kataku melu-melu ngapak.
“Rongpuluh.”
Dan terperanjatlah kami berdua. Harga gila apa! Pagi-pagi udah minta duapuluh!
Mau ninggalin si tukang becak, kasihan juga. Dah dari tadi mengawal kita sejak pintu stasiun hingga di tepi jalan. Mana pagi lagi! Belum terlihat angkot atau apa. Maka Kami terpekur sendiri-sendiri. Gila! Duapuluh? Jogja-Kebumen aja cuman enam belas!
“Ya wis. Tek muraih. Limalas wis.”
“Telungewu, gelem?”
Tukang becak tersungut-sungut. Muncu-muncu tuh mulut. Akhirnya, dengan tipu muslihat klasik, kami berhasil meninggalkan tukang becak yang sangat optimis menggaet kami itu. Apa jurus klasik itu? Sok pede. Ya, kami dengan pede berjalan seakan-akan kami udah hapal tlatah cirebon.
“Wis, pak. Aku arep numpak help bae,” kata kami seraya meninggalkannya dengan langkah-langkah panjang tanpa keraguan. Meski di hati kecil kami terdapat kesangsian apakah arah yang kami tempuh benar atau salah.
Untunglah kami ketemu ibu muda—yang meski tidak cantik—tetapi lumayan baik hati. (eh, apa hubungannya cantik dan informasi?) Kami tanya ini dan itu kepada malaikat baik hati kami ini, yang kemudian segera menunjukkan help apa yang harus kami naiki dan sekaligus ongkosnya. Baikan banget, kan? Coba kalau cantik. Pasti sudah kutaksir. Hehehe. Maksudnya, kutaksir dagangannya. Ibu muda ini kan sedang nata-nata dagangan di depan sebuah sekolah dasar.
***
“Kami dah naik jurusan Kadipaten. Masihkah jauh?”
“Dah dekat, koq. Minta turun di MAN Model. Sopirnya pasti tahu.” Jawab sms Zenal.
Redaksi ‘deket’ yang dipakai zenal membuat kami gelisah. Ya karena kami nggak sampai-sampai juga. Jangan-jangan kelewatan? Ini ditambah lagi keterangan si kernet yang mencla-mencle. Kami tanya, “Berapa kilo?”
“Lima kilo paling, mas.”
Setelah kira-kira lima kiloan bis berjalan, kami tanya lagi. “Masih jauh?”
“Paling-paling tinggal empat kilo.”
“Weh>?./(0@#%$!”
“Sach, kamu liat sebelah kanan. Aku liat sebelah kiri. Kalau ada plang MAN model, langsung bilang ‘kiri’.”
Tapi sampai duapuluh menitan kami menjelalatkan mata, tak jua menemukan plang ataupun papan nama. Dan bertambah gebalau lah jiwa kami, ketika mobil yang kami tumpangi disalip bus besar jurusan bandung. Weh, jangan-jangan kita sampai mbandung, dab?
Ternyata tidak. Karena si kernet kemudian memukulkan recehan di kaca jendela. Lalu turunlah kami.
“Itu, mas, MAN Model.” kata si kernet. “Nyeberang jalan, masuk satu kilo.”
Kulihat hape. Jam 08.30. Wah, telat jauh nih!
***
Kami ditempatkan di madrasah, di kantor atas yang terdiri dari kamar-kamar. Entah lokasi itu biasanya digunakan untuk apa. Yang jelas, hanya kamilah yang menjadi penghuninya sejak saat itu. Mungkin perlu disebutkan di sini bahwa kamar kami memiliki fasilitas yang mencukupi: ac, dua pasang ranjang bertingkat (jadi ada empat ranjang), kasur yang berjumlah lima, bantal dan guling yang tidak terhitung, serta jendela yang—jika kami jail—bisa digunakan untuk menyeleksi siapa yang pantas jadi miss madrasah. Untung saja kami adalah para lelaki yang shaleh, berbudi tinggi, dan berakhlak mulia. Hehehe.
Setelah istirahat, mandi, dan berdandan dalam waktu yang singkat; yakni sekitar lima belas atau dua puluh menit, kami pun langsung menuju aula. Di sana anak-anak belum berkumpul semua. Baru sesudah kami menghabiskan dua batang rokok, anak-anak pun datang, dan acara pembukaan pun dimulai. Acara ini berakhir pukul 10.00.
Karena acara sudah kadung mundur, akhirnya kami berkreasi sendiri membikin memodifikasi jadwal yang sudah ditetapkan. Sachri memulai dengan sekilas motivasi. Mungkin karena sedikitnya waktu, dan juga karena sound-system yang kurang bagus, agaknya kurang mengena kepada khalayak. Apalagi waktu itu tempat duduk belum disetting sedemikian rupa, sehingga jarak penceramah dan audiens terlalu juah.
Sesudah pembukaan selesai, dan guru pembimbing dengan leluasa pergi dari sidang pembelajaran, acara dilanjutkan dengan lebih santai. Anak-anak yang tadinya pada mojok digiring duduk di depan. Dan manual acara pun langsung masuk ke pembahasan fiksi dan non-fiksi, yang juga disampaikan oleh Sachree. Pada sessi ini, peserta diarahkan untuk membedakan mana karya yang fiksi dan mana yang non-fiksi.
Tanpa istirahat, aku melanjutkan masuk ke pembahasan tentang ide. Aku sebenarnya sudah nyiapin sejumput makalah sebagai bahan bacaan. Akan tetapi entah mengapa, file-nya justru ketinggalan di yogya. Akhirnya aku pun cuap-cuap aja. Tentang bagaimana cara mencari ide. Kuselang-seling acara ini, antara cuap-cuap dan main-main; pohon ide, dan kenakalan ide.
Acara sesi ini ditutup dengan menugaskan peserta untuk menuliskan idenya, yang nanti hendak dikembangkan menjadi cerpen. Dan tibalah saat yang ditunggu-tunggu: Ishoma. Bukan isho-nya yang begitu ditunggu, tetapi ma-nya. Karena memang sejak pagi kami belum makan. Hehe.
Pukul 13.30 acara dilanjutkan.
Pada sesi pertama, peserta dibikin dua kelompok. Satu dipegang aku dan satu dipegang sachre. Di setiap kelompok, masing-masing peserta mengungkapkan apa ide mereka dan bagaimana alurnya. Pada sesi ini, apa yang biasa kami terapkan di komunitas matapena jogja, juga berusaha kami doktrinkan kepada mereka. Yaitu, agar peserta aktif memberikan masukan-masukan kepada teman-temannya. Sayangnya, mereka masih kaku dan sachre yang dalam sesi ini lebih menempatkan diri sebagai pendamping, bukan pembicara. Tapi meski demikian, aku salut kepada beberapa peserta, yang ternyata sebagian anak sudah mulai menuliskan novel-novel mereka.
Setelah kumpul-kumpul selesai, peserta kembali masuk barisan besar. Dan acara dilanjutkan untuk pendalaman unsur-unsur intrinsik karya sastra. Mulai dari setting, opening, konflik, penokohan, setting dan ending. Acara ini dipandu oleh sachree.
Untuk memperdalam pemahaman, pada sesi selanjutnya aku dan sachree membagi peserta menjadi lima kelompok; masing-masing kelompok diberi satu cerpen karya teman-teman langitan. Lalu dalam waktu setengah jam, setiap kelompok harus selesai menuliskan unsur-unsur cerpen itu, dan mempresentasikannya di depan setelah sebelumnya memberikan gambaran singkat cerita kepada audiens.
Ternyata waktu masih tersisa lumayan banyak. Maka kami sepakat untuk ‘mempermainkan’ peserta dengan sistem copy to master. Dari cerpen tersebut, setiap peserta harus membikin ceritanya lagi.
Acara diakhiri pukul 16.30 WIC (waktu indonesia cirebon), setelah sebelumnya kita memberikan semacam pe-er agar masing-masing peserta membikin cerpen dari hasil ide yang telah dirumuskan tadi pagi, dan dikumpulkan besok.
Meski acara udah ditutup, tapi sebagian peserta masih ada yang ngerubung. Kita ngobrol-ngobrol tentang permasalahan mereka dalam menulis dan bagaimana solusinya.
Pukul 17.00 kami baru bisa kembali ke kamar.
***
Acara dilanjutkan pukul 08.30
Pagi itu kami ot-bond ke luar. Ini penting, mengingat cewe-cewe yang menggigit kami semalam, selidik punya selidik, ternyata pada lari ke hutan gung-liwang-liwung di samping sekolah. Maka pasukan kami yang bersenjatakan sepucuk pena dan segepok buku, kami siapkan. Aku pimpin di depan; menjadi kepala dari barisan yang mengular menyusuri jalan setapak membelah belantara. Sachree dan panitia mengiring di belakang.
Sesampainya di tempat yang bisa dibilang romantis, dan bisa juga serem, dan bisa juga acak-acakan, kami pun mengkoordinir pasukan dan mengomando mereka agar berburu setting. Silahkan tuliskan setting tempat ini. Entah itu hutannya, daun-daunnya, semutnya, langitnya, nyamuknya, sampah-sampah yang mengering, jembatan, pohon tumbang, atau apalah.
Dan begitulah. Selayak militer, mereka pun segera melaksanakan komando. Ada yang pergi ke ujung-ujung hutan. Ada yang bernaung di bawah pohon bambu. Ada yang nongkrong di pohon tumbang yang melintang. Ada pula seorang siswi yang duduk di bawah jembatan, mengamati lorong gelap sungai yang telah mengering. Semuanya tenggelam dalam dunia imaji mereka. Dalam gerakan gemulai lengan tangan menggoreskan pena di kertas kosongan. Tentu saja, likulli syain mustasnayat…. Karena ada juga yang ngobrol sendiri dan bersendagurau di pojok-pojok hutan. Tapi biarlah. Toh mereka bukan militer. Mereka dah gede-gede, dan kedatangan kami memang bukan untuk membentak….
Acara berburu setting diakhiri pukul 09.00. Sebelum bubar, kami komando lagi mereka agar sepanjang perjalanan pulang mereka membayangkan salah satu tokoh unik yang pernah mereka jumpai di sekolah atau pesantren. Baik itu guru yang killer, guru yang mbeller, santri yang suka ngiler, ataupun siswa yang funker. Pokoknya yang unik-unik.
Nah, sesampai di kelas, kita pun langsung mengasah keahlian mereka untuk menggambarkan tokoh mereka. Kami patok waktu dua puluh menit. Dalam prakteknya, kami beri toleransi sampai dua puluh lima menit.
Ternyata, hasil tulisan mereka bagus-bagus. Ngimaji-ngimaji. Melangit-melangit. Dan unik-unik. Meski tentu saja bahasa tulis mereka masih kurang alus.
Oleh karena itulah, setelah break-free sekitar limabelas menit, kita melangkah ke sessi selanjutnya dengan membahas eyd dan bahasa tulis. Aku gamblangkan tentang kesalahan-kesalahan tulis yang seringkali terjadi pada pemula. Mulai dari cara bikin dialog yang kerap tanpa tanda kutip, atau pake tanda kutip tetapi ngaco; bagaimana membubuhkan tanda tanya dan tanda seru; titik-koma; dan sebagainya.
Lalu sachree menambahi dengan mengoreksi kesalahan-kesalahan umum yang ada pada cerpen mereka (yang saat itu sebagian udah dikumpulkan, sebagian belum) yang berkaitan dengan eyd dan bahasa tulis. Dan karena kesalahan besar terletak pada cara menulis dialog, maka sachree menugaskan agar mereka membikin dialog antara tiga tokoh dengan cara yang benar. Kami beri waktu sepuluh menit. Uniknya, ketika mengumpulkan tugas itu, ternyata masih saja ada beberapa yang salah. Bahkan malah ada yang bikin kayak naskah drama. Huuh!
Acara diakhiri pukul 12.00. Kita break-ishoma. Pukul 13.00 lebih sedikit acara dilanjutkan. Manual acara ngritik karya mereka terpaksa kami hilangkan mengingat tidak adanya waktu untuk membaca karya mereka. Disamping itu, sampai jam istirahat berakhir baru enam atau delapan naskah yang kami terima. Jadi, ya akhirnya kami langsung masuk acara problem solving; plus penjelasan lebih lanjut tentang matapena dan visi-misi workshop I-II-III serta kesalingterkaitannya.
Nah pada sessi problem solving ini peserta bertanya ini itu. Dalam forumku, aku ajak mereka untuk mandiri. Artinya, aku tidak serta merta menjawab masalah mereka. Tetapi aku tawarkan kepada peserta lain, siapa tahu ada yang membantu. Lumayan juga, sebagian peserta berani angkat bicara. Meski sebagian yang lain masih aja malu-malu dan malu-maluin. Setelah acara problem solving selesai, kami teruskan dengan acara visi misi workshop I-II-III. Di sini kami benar-benar menekankan agar mereka berkarya sepanjang jeda antar workshop. Karena menjadi mulgho ketika workshop I belum dipraktekkan, misalnya, tiba-tiba mereka ngikutin workshop II. Wong bikin cerita yang pendek aja belum bisa bagaimana mau bikin semi-novel yang lebih panjang lagi? Dan peserta terangguk-angguk. Kayaknya yakin banget mau bikin karya….
Acara kami tutup pukul 15.30. Kami pulang setelah makan dan mandi sekilas. Eh, dalam perjalanan dapat sms: “Pak, apa kami masih bisa ketemu di sini? Ini Musa’adah. Aku mau bicarakan buku karyaku: 12 pemusnah jenuh dan satu novelku (remaja islami)….”
“Oh, kami sedang dalam perjalanan pulang, ‘Nak’…. Kau kirim aja ke matapena… atau e-mailnya…. Gimana?”
Dan kami melanjutkan jejak petualang cirebonan. Sachree naik kereta dari Prujakan—kereta jalur utara langsung menuju surabaya; aku naik kereta dari Jaksan—kereta jalur selatan langsung menuju Jogja tercinta. Dan sekali lagi, di perjalanan ini aku menemukan kawan obrolan yang asyik—yang cerita tentang hal-hal yang tidak ditemukan di buku-buku. Bertemu pengamen-pengamen nakal yang layak dijadikan bahan novel, tukang kopi yang tak lelah-lelah mondar-mandir dari gerbong ke gerbong, bencong-bencong yang menjual keseksian dan suara fals mereka begitu kereta memasuki tlatah wates hingga jogja. Dan pemandangan asyik sepanjang kereta menyusuri rel yang tak putus-putusnya itu.
Wallahu a’lam….
mahbub dje
August 7, 2007
4 komentar:
help iku opo se mas ??? ning Cirebon ono acara opo ???
help itu sejenis angkutan pedesaan mas. kalo di pekalongan namanya "kol" :)
mas kpn ke cherbon lg,,,,
nyesel ya k cherbon,,,,,
hehehehehe
q slh stu yg ikut pel jurnal wkt itu
yg plg gedee d photo tu
kegiatan yang demikian amat bagus dan pantas dapat apresiasi tinggi..semoga
dan gimana carany gabung dengan komunitas sampeyan
asep saefullah
Post a Comment