Tepat pukul 10 00 WIB pelatihan karya tulis santri dan Bedah Novel “Ning Aisya” Se-Kabupaten Lamongan secara resmi dibuka oleh Kepala Pondok Pesantren Al-fattah, Ustadz Humaidillah, S.Pd.I. Dalam sambutannya ustadz mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu untuk menyukseskan kegiatan ini, terutama kepada LKiS dan HIMAPA.
Usai opening ceremony, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi tentang Tekhnik Penulisan Berita dan Artikel yang disampaikan oleh Sholichan Arif, wartawan Surabaya Pagi. Peserta sangat antusias dan serius menyimak materi yang disampaikan oleh wartawan yang juga alumni PP. Al-Fattah ini. Terbukti ketika season tanya jawab dibuka oleh moderator banyak sekali peserta pelatihan yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Namun karena waktunya terbatas, moderator hanya membatasi empat pertanyaan.
Dalam presentasi Mila bertutur tentang alur cerita novel, isi novel secara garis besar, dan latar belakang penulisan novel. Dilihat dari sudut kesusastraan, Drs. Sulaiman, pembanding yang tulisannya sering muncul di Horison dan salah satu penyusun soal UN 2007 mata pelajaran Bahasa Indonesia ini menyatakan bahwa secara umum Novel “Ning Aisya” sangat bagus sekali. Sebuah novel yang bercerita tentang kehidupan pesantren dan isinya sarat dengan pesan agama, moral, pendidikan, dan hiburan. Kekutan Novel ini ada pada penggunaan diksi yang hidup dan renyah, kritik yang dikemas manis, dan ketepatan alur yang menyebabkan pembacanya turut merasakan emosi Ning Aisya, si tokoh utama dalam novel tersebut.
Namun, ada dua catatan yang bisa direnungkan sebagai bahan perbaikan selanjutnya, yakni sulitnya membedakan antara cerita masa sekarang dengan kisah masa lalu sebagai hasil pembacaan pada Diary. Seperti yang diungkap Camilla sebagai otokritik atas novelnya, “Mestinya, ini bisa dibedakan dengan ‘kecerdikan layouter’. Penggunaan font yang berbeda atau diberi satu lembar kosong yang diberi satu coretan besar: Aisya dalam Kenangan, misalnya, sehingga lebih mudah dibedakan.” Drs. Sulaiman yang juga MC Jawa ini juga memberikan masukan agar menggunakan lebih banyak bentuk majaz agar lebih hidup, misalnya dengan kontra personifikasi, litotes, hiperbola, dan lain sebagainya.
Senja mulai merapat ambang malam, para pemateri akhirnya undur diri dari lokasi dan panitia berharap bahwa kerja sama ini bisa berlanjut di masa mendatang.
Ditulis oleh M. Sya’roni S.Pd.I
0 komentar:
Post a Comment