Monday, June 25, 2007

Membincang MATABACA Edisi Juni 2007

Monday, June 25, 2007



MATABACA Juni mengupas soal “Sastra Islami, Oh Indahnya”. Katanya karena boming Ayat-Ayat Cinta… Bagi yang suka novel bernuansa Islam, judul itu tidak asing lagi, saking bomingnya mungkin lalu kemudian ini dipandang sebagai fenomena untuk “sastra islami”.

Sebenarnya saya kurang begitu sreg dengan istilah sastra islami. Karena, termaknakan sebatas label, kemasan, dan berbau-bau Islam. Lebih bagus Sastra Islam pemaknaannya daripada Sastra Islami. Cuma, lagi-lagi, perdebatan selanjutnya adalah soal pemaknaan istilah dan definisi. Dan saya, temasuk orang yang paling tidak mau terjebak soal perdebatan itu.

Kalaupun kemudian Matapena yang menerbitkan novel pop pesantren didaulat untuk jadi salah satu responden, mungkin karena pesantren identik dengan Islam. Sudah pasti. Lalu, novel pop pesantren dikelompokkan dalam “sastra islami”. Ini menurut kacamata MATABACA.

Cuma, pada prinsipnya, kata si redaktur Matapena, “Kami tidak familiar dengan label sastra islami. Kami lebih memilih untuk menyebut karya kami dengan novel pop pesantren. Novel karena berbentuk novel, pop karena dikemas dengan kemasan dan bahasa yang populer/dikenal, pesantren karena memang bercerita tentang kehidupan pesantren.” Jadi, masih menurutnya, tanpa label “islami”-pun, novel pop pesantren sudah jelas Islam.

Ohya, saya tertarik sama pernyataan Dian Guci, seorang penulis yang kebetulan juga berkomentar tentang “sastra islami” dalam MATABACA. Katanya:
“Sastra Islami itu sebetulnya nggak perlu mengusung ayat-ayat segala macam. Tidak perlu menyebutkan identitas Islam sebetulnya. Tidak perlu menerjemahkan suatu ayat Al-Qur’an, tapi merupakan nilai universal yang dikandung dalam agama Islam. Sebenarnya saya capek dengan label sastra islami ini. Kalau kita lihat karya Steinback yang berjudul The Grapes of Wrath, bercerita mengenai kemiskinan yang bisa mengkafirkan orang. Belum lagi karya Hamka dan Harimau-Harimau Mochtar Lubis. Menurut saya, karya-karya mereka merupakan sastra yang mengandung nilai Islam. Kebanyakan karya islami yang ada sekarang hanya mengobarkan cuap-cuap doang alias hanya bisa menyebut bahwa saya orang Islam dan harus berdakwah.”

Nah, ini kan pendapat. Dan, setiap orang berhak punya pendapat. Bukankah perbedaan adalah rahmat?

0 komentar: