Friday, December 12, 2008

Liburan Sastra di Pesantren II

Friday, December 12, 2008

Komunitas Matapena akan kembali menggelar kegiatan Liburan Sastra di Pesantren. Buat teman-teman yang ingin ikutan, informasi lengkapnya sebagai berikut:
Kegiatan ini berangkat dari kegelisahan akan minimnya apresiasi sastra para siswa di lembaga pendidikan formal. Selain sebagai tawaran kegiatan positif bagi remaja di masa liburan sekolah, untuk penggalian dan pengasahan skill writing di kalangan remaja. Maka, diadakanlah kegiatan LIBURAN SASTRA DI PESANTREN (LSdP). Dengan tema: “BERLIBUR, BERSASTRA, BERKARYA”

Target Kegiatan:
-Peserta dapat mengapresiasi karya sastra.
-Peserta bisa menuliskan ide, imajinasi, dan gagasan dalam bentuk karya sastra.
-Peserta bisa menjaga kekompakan dan saling menghargai antarteman yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan agama.



Liburan Sastra di Pesantren adalah pelatihan sastra yang dilaksanakan dalam nuansa liburan bertempat di pesantren. Untuk LSDP II ini, Materi kegiatan difokuskan pada teknik penulisan cerpen meliputi: penentuan ide dan gagasan, alur dan penokohan, setting, dan apresiasi cerpen dalam pementasan. Ditemani oleh para pemateri dari sastrawan nasional seperti Agus Noor dan Joni Ariadinata. Dengan metode fasilitasi dan memanfaatkan potensi alam dan lokal. Target materi dalam liburan ini adalah antologi cerpen hasil karya para peserta. Puncak kegiatan akan diisi dengan pementasan cerita pendek, pembacaan puisi oleh Faisol Kamandobat dan Aning Ayu Kusuma, dan orasi budaya oleh Bisri Efendi.

LSDP II akan dilaksanakan pada Jum’at, Sabtu, Minggu, tanggal 2, 3, 4 Januari 2009. Bertempat di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta. Rencananya akan diikuti oleh 50 remaja, berusia 18-22 tahun, berasal dari seluruh Indonesia dan memenuhi syarat-syarat pendaftaran.

Ketentuan Pendaftaran:
-Peserta adalah remaja berusia 18-22 tahun.
-Mengisi formulir pendaftaran.
-Membayar kontribusi peserta, dan akan mendapatkan makalah, tanda pengenal, kartu anggota komunitas, tas, sertifikat, dan buku antologi cerpen peserta
-Menyerahkan photo diri (pose bebas tapi sopan, ukuran maksimal 3R)
-Menyerahkan salah satu karya yang pernah dibuat, baik yang pernah dimuat di media massa maupun yang belum.
-Peserta bersedia tinggal di Pondok Pesantren selama kegiatan.
-Pendaftaran bisa dilakukan di sekretariat panitia; Komunitas Matapena, Jl Parangtritis Km, 4,4 Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul Yogyakarta.
-Pendaftaran bisa melalui email: matapena_jogja@yahoo.com. Hp: 0818374593 (Sdri. Khilma) atau 085878933456 (Sdri. Isma).
-Pendaftaran sampai hari Senin, 29 Desember 2008.

So, jangan sampai ketinggalan ya, karena peserta terbatas.

0 komentar

Friday, November 21, 2008

Tentang Komunitas Matapena

Friday, November 21, 2008
Komunitas Matapena adalah komunitas literasi yang lahir dari kegelisahan remaja Indonesia terhadap budaya generasi bangsa. Komunitas Matapena memilih tradisi baca tulis sebagai jalan untuk mencoba mengubah diri mereka sendiri dan remaja Indonesia ke arah yang lebih baik. Komunitas Matapena adalah sebuah rumah tempat kita dapat berkreasi bersama, belajar, berdiskusi, berorganisasi, mengunduh ilmu dan pengalaman, mengasah potensi dan ketrampilan, dan segala hal yang takkan terlupakan sebab menentukan arah hidup kita ke depan. Komunitas Matapena menjadi ajang kita menulis dan meramu pengalaman hidup kita, dari yang lucu-wagu yang mungkin dianggap sepele orang, sampai yang kritis-nyinyir yang bisa dibaca serius, semua adalah cerita manis dari bilik-bilik pesantren, dari kelas-kelas sekolah, dari kamar-kamar kos, dari ceruk jiwa remaja Indonesia.
VISI
Komunitas Matapena bertujuan menciptakan budaya literasi di kalangan remaja dengan menggali kekayaan lokal, nilai dan tradisi yang mengakar, untuk pengayaan khazanah kesusastraan Indonesia.
MISI
Komunitas Matapena berkomitmen menyebarkan gagasan tentang sastra pesantren dan sastra yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan tradisi yang membumi, yang mengedepankan nilai-nilai tasamuh (toleransi), tawazun (proporsional), ta'adul (keadilan), dan tawasuth (moderat). Komunitas Matapena juga menawarkan diri sebagai rumah kreatif bagi remaja untuk mengembangkan potensi, minat, dan bakat dalam menulis dan bersastra. KEGIATAN 1. SMS Sekolah Nulis Sampeiso. Keren kan? Sampeiso bahasa Indonesianya, kira-kira ya Sampai Bisa. Terbayangkan gak sih, kamu ikutan sekolah menulis dengan harga terjangkau, tapi dipantau terus sampai kamu benar-benar bisa menulis? Di SMS, kamu akan dibimbing para sastrawan ternama, belajar bersama dengan para fasilitator, serta berbagi dan berkreasi dalam literasi. 2. Bikin Buletin Ini merupakan ajang kamu berlatih menulis, berlatih jurnalistik, dan belajar berorganisasi. 3. Tahlilan Sastra Tahlian Sastra, sebuah forum kamu berekspresi. Baca puisi, baca cerpen, atau baca novel di atas panggung. Di sini kamu dapat ketemu pula dengan komunitas lain dan berjejaring. 4. Ngobrol Sastra Wah, di forum ini kamu bakalan surprise ketemu sastrawan-sastrawan besar. Yang pernah datang dan ngobrol dengan anggota Komunitas Matapena, misalnya, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Agus Noor, Joni Ariadinata, Agus Sunyoto, Abidah el-Khaeliqy, Binhad Nurrohmat, Evi Idawati, dan lainnya. 5. Bermaya Kita juga dapat ngirim karya ke dunia maya, melalui web-site Komunitas Matapena yang cantik dan ciamik. Alamatnya, www.matapena.org 6. Nerbitin karya Sampai saat ini, Komunitas Matapena sudah nerbitin 30-an novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi. Ingin menyusul? Karya kamu yang layak terbit pasti diterbitin deh. 7. Roadshow Para penulis Komunitas Matapena juga melaksanakan Roadshow ke sekolah dan pesantren di beberapa daerah. Sampai saat ini sudah ada 150-an lebih sekolah dan pesantren yang dikunjungi oleh Komunitas Matapena. 8. Liburan Sastra di Pesantren Emang Sastra diliburkan? Nggaklah. Maksudnya, Komunitas Matapena juga mengadakan kegiatan pendampingan sastra yang dikemas secara fun di waktu liburan sekolah semester satu (bulan Januari) dan semester 2 (bulan Juli) . Sudah dua kali Komunitas Matapena mengadakan Liburan Sastra, yakni di Pesantren Kaliopak (2008) dan Pesantren Sunan Pandanaran (2009), dihadiri oleh sastrawan dan budayawan nasional dan ikuti oleh peserta dari berbagai daerah di Indonesia. 9. Workshop dan Pelatihan Komunitas Matapena juga kerap mengadakan Workshop dan Pelatihan, di antaranya: Workshop Penulisan Novel, Workshop Penulisan Cerpen, Workshop Penulisan Skenario, Workshop Jurnalistik, dan lain-lain.

0 komentar

Friday, November 14, 2008

Lomba Baca Novel Matapena

Friday, November 14, 2008
Ahad, 19 Oktober 2008 bertempat di gedung Bapenda Wonokromo Pleret Bantul, Komunitas Matapena mengadakan Lomba Baca Novel kerja sama dengan panitia Jawa Bersyi'ir 2008. Pukul 08.00 acara dimulai dengan daftar ulang peserta, dan satu jam kemudian lomba dimulai. Diikuti oleh 16 peserta delegasi dari berbagai pesantren dan sekolah di sekitar Yogyakarta. Lomba ini dikawal oleh MC Zaki Zarung, dan bertindak sebagai juri adalah novelis Sachree M. Daroini dan Ibu Ema Romayah, S.S. staf pengajar Bahasa Indonesia di Yayasan Budi Mulia Sleman.

 
Usai lomba, sebelum pengumuman hasil pemenang, digelar talk show "Nulis Novel dalam Satu Jam" bersama Shachree M. Daroini dan Zaki Zarung. Dalam kesempatan ini peserta yang terlibat mendapatkan doorprize kaos Matapena dan novel. Dan, acara sore itu ditutup dengan mengumumkan 3 peserta terbaik lomba baca novel. Yaitu, Aufannuha Ihsani, delegasi dari P.P. Ali Maksum Krapyak mendapatkan Trophy Matapena, M. Ikhsan, delegasi dari P.P. Nurul Ummah Kotagede mendapatkan trophy dari RMI (Robithoh Ma’ahid Islamiy), dan Washilaturrohmah, delegasi dari P.P. Fadhlun Minallah Wonokromo mendapatkan trophy dari LesBuMI. Selain itu, setiap peserta terbaik juga mendapatkan uang pembinaan dan hadiah 3 buah novel Matapena. 

0 komentar

Wednesday, October 15, 2008

LOMBA dan TALKSHOW

Wednesday, October 15, 2008
Dalam rangka memeriahkan JAWA BERSYI'IR 18-19 Oktober 2008
Komunitas Matapena menggelar:
A. Lomba Membaca Novel


  1. Lomba adalah membaca penggalan novel terbitan Matapena, dengan judul novel dipilih sendiri oleh peserta.
  2. Waktu pembacaan maksimal 7 menit.
  3. Peserta adalah remaja berusia 13-25 tahun yang ditunjukkan dengan tanda pengenal.
  4. Peserta adalah perorangan bukan kelompok.
  5. Peserta diperbolehkan menggunakan kostum dan atau alat peraga lain yang mendukung.
  6. Peserta menuliskan judul dan halaman yang akan dibaca pada saat daftar ulang.
  7. Peserta akan mendapatkan sertifikat.
  8. Peserta membawa sendiri novel yang akan dibaca
  9. Perlombaan dimulai pukul 09.00-selesai.
  10. Jumlah peserta dibatasi maksimal 20 orang pendaftar pertama.
  11. Pendaftaran bisa dilakukan di basecamp Matapena, Jl Parangtritis Km. 4,4 Salakan Baru No 1 Sewon Bantul Yogyakarta pada jam kerja (lima hari kerja) pukul 08.30-17.00 WIB, dengan mengisi dan menyerahkan formulir.
  12. Pendaftaran ditutup hari Minggu, 19 Oktober 2008 pukul 09.00 WIB.
  13. Daftar ulang peserta hari Minggu, 19 Oktober 2008 di lokasi kegiatan mulai pukul 08.00 s.d 09.00 Wib.
  14. Pengumuman juara dan pembagian hadiah pada sesi acara Talk Show
  15. Juara diambil 3 peserta terbaik dengan hadiah:
    • Tropi Matapena, uang pembinaan, novel, dan sertifikat
    • Tropi Lesbumi, uang pembinaan, novel, dan sertifikat
    • Tropi RMI, uang pembinaan, novel, dan sertifikat
    16.Keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat.
     17.Info lebih lanjut bisa hubungi 0858 68041 861 (jam kerja).
B. Talk Show “Bisa Nulis Novel dalam Satu Jam”
  1. Acara adalah talk show tentang kepenulisan
  2. Tema kegiatan “Bisa Nulis Novel dalam Satu Jam”
  3. Peserta adalah remaja dan umum
  4. Nara sumber adalah penulis Matapena: Sachree M. Daroini
  5. Acara dipandu oleh MC berbakat: Zaki Zarung
  6. Waktu kegiatan pukul 14.30 s.d. 17.00 WIB.
  7. Acara diisi dengan pembagian doorprize (kaos dan novel-novel Matapena)
  8. Acara diakhiri dengan pengumuman dan penyerahan hadiah ’Lomba Membaca Novel”.

0 komentar

Wednesday, August 20, 2008

Rekam Proses Pelatihan

Wednesday, August 20, 2008
Rekam Proses Pelatihan Jurnalistik | PP Roudhotut Tholibin Rembang

Part I
Ini pelatihan kedua setelah pelatihan penulisan karya ilmiah populer di MA An-Nuqayah yang penyelenggaranya adalah PSF. Formasi dari Matapena juga tetap, aku, Mahbub, dan Fina. Cuma kali ini ketambahan Mas Joni Ariadinata dari Horizon, selain penambahan waktu pelatihan menjadi tiga hari, dua malam, yaitu Selasa-Kamis, 24-26 Juni 2008.

Pukul 11.30 mobil jemputan sudah tiba di LKiS, tapi aku menawar untuk mundur tiga puluh menit lagi karena harus menyelesaikan kerjaan yang lain. Bersyukur Mas Yanto dan Mas Joni adalah orang-orang yang diberi kesabaran dan rasa pengertian yang lebih dari Tuhan. Mau menunggu sampai jam 12.00 teng, untuk kemudian cabut ke bandara menjemput Mas Amir.


Waktu pertama kali melihat Mas Joni, aku pikir dia orang yang serius dan cool. Ternyata, justru karena cerpenis ini perjalanan Jogja-Rembang jadi tak sepi oleh gelak tawa. Apalagi bersama Mas Amir, yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Mas Joni. Klop sudah. Walaaah, aku sampai tertangis-tangis saking kemekelennya mendengar kisah heroik masa susah mereka. Memang sih, kisah-kisah itu juga pernah aku alami, atau juga Mahbub. Tapi sayang, aku dan Mahbub tidak punya kelebihan yang mereka miliki, bercerita dengan lucu. Jadi, sepanjang perjalanan itu aku dan teman-teman cuma jadi pendengar yang tertawa termehek-mehek. Mungkin suatu saat ada baiknya aku kulakan kisah-kisah itu untuk bahan novelku kali ya. Hehe.

Sekitar pukul delapan malam, sampailah perjalanan di pusat kota Rembang, menyisakan penat dan pening kepala. Apalagi harus melewati jalan aspal sisa banjir yang mengeronjal. Membuat aku hanya bisa mengangguk ketika mendapat tawaran untuk didadah sama Bu Dukun. Lumayan.

Part 2
 
Selasa pagi, pukul 08.30, kegiatan dimulai. Usai opening ceremony dan sedikit pengantar dari Gus Adib dan Mas Amir, Fina membagi pengalamannya dalam menulis. Ternyata peserta cukup apreasiatif. Sesi ini pun berubah menjadi sesi curhat kepenulisan, sahut-menyahut antara peserta putera dan puteri yang berjumlah 37 anak. Memang agak teoretis, dibandingkan dengan sesi Mas Joni yang langsung pada praktik.

Sebelumnya aku mengajak teman-teman untuk melihat lagi jadwal yang ditawarkan. Perubahannya tidak prinsip, hanya penambahan waktu untuk shalat. Sementara untuk materi, sebatas pembahasan itu sepertinya tidak ada masalah. Meskipun ada banyak teori tawaran dari pesantren yang tidak dimasukkan. Terlalu teoretis. Teman-teman juga aku minta untuk menulis tentang bagaimana bayangan mereka tentang pelatihan ini.

Soal mendatangkan semangat Mas Joni memang ahlinya. Malah dia tak mengenal teori dan tetek bengek aturan menulis. Usai bercerita tentang pengalaman dan proses kreatifnya, ia mengajak teman-teman bermain teka-teki. Menemukan pernyataan yang tidak tepat dalam sebuah tulisan. Untuk menunjukkan bahwa dalam menulis cerpen pun logika dan kebenaran umum harus tetap dipegang. Teman-teman tampak asntusias mengikuti model belajar ala Mas Joni. Selain karena Mas Joni itu lucu jadi suasana belajar jadi asyik dan seru.


Setelah itu Mas Joni langsung pada praktik menulis. Ia coba mebangkitkan kreativitas peserta untuk menuliskan realitas yang nyata, khayalan, pengandaian, atau alur cerita yang dibuat secara bersama-sama. Tulisan yang bersumber dari realitas dengan menuliskan kembali tentang sosok Gus Adib, imajinasi bahkan khayalan yang tidak masuk akal, semua dituliskan dalam bentuk cerpen. Untuk praktik membikin alur, Mas Joni bermain reportase tentang teka-teki menghilangnya Evita dari kelas.

Praktis Mas Joni memang hanya mengupas dan praktik menulis cerpen. Tidak juga sampai pada pengembangan materi tentang penulisan novel. Sebelum istirahat maghrib, Mas Joni meminta teman-teman untuk menulis / menyerahkan cerpen sungguhan, puisi, atau karya tulis yang lain. Dan, malam harinya, Mas Joni mengajak peserta untuk mereview hasil tulisan. Sampai hampir pukul 10.00 malam.

Part 3

Hari kedua, pukul 06.00, dimulai dengan out bond ke pendopo terdekat. Tanpa Mas Joni yang rencananya memang akan bertolak ke Jogja pukul 10.00 bersama Mas Yanto. Mahbub memimpin meditasi di dalam ruangan bulu tangkis. Sementara aku coba mengajak peserta untuk bermain diksi dan perasaan. Tujuan kegiatan ini sebenarnya untuk pembebasan pikir dan rasa, selain membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, ketidakpercayaan diri ketika akan menulis. Maka kita bermain tiup balon sampai meletus. Bagi siapa pun ketika meniup balon pasti akan merasa takut dan khawatir jika letusannya akan membuat sakit dan lain sebagainya. Tapi, peserta justru ditantang untuk meniup sampai meletus.

“Bagaimana rasanya setelah meletus?” Mahbub bertanya. “Puas,” jawab salah seorang peserta. “Biasa saja,” jawab yang lain. “Ternyata tidak apa-apa,” sambung yang sebelahnya. Dan, ini membuktikan bahwa ketakutan dan kekhawatiran itu lebih sering hanya bikinan perasaan yang dibuat-buat.

Selesai permainan, teman-teman kembali ke pesantren untuk mandi dan makan. Pukul 08.30 kembali berkumpul di aula untuk sesi Non-Fiksi dan Berita. Berbeda dengan Mas Joni, sesi hari kedua ini lebih banyak memakai metode ceramah dan tanya jawab. Selain memahami bentuk tulisan lewat contoh-contoh berita, esay, dan resensi yang difotokopi. Sebelum berbagi pengalaman tentang pengelolaan mading dan majalah, aku mengajak teman-teman untuk menulis berita tentang sebuah peristiwa pemilihan Miss Ma’had yang wawancaranya kita lakukan bersama-sama.

Menarik. Karena ternyata banyak angle yang muncul dalam berita yang teman-teman tulis sesuai dengan sumber berita yang diwawancara. Dari panitia Miss Ma’had, pengurus, pemenang Miss Ma’had, sampai kecurigaan ada persengkokolan antara panitia dan si pemenang. Jika dibandingkan dengan tulisan fiksi bersama Joni, tulisan berita teman-teman lebih bagus. Bisa jadi karena mereka cenderung dengan bahasa baku, yang juga diamini oleh Mas Joni seperti yang ditemukannya dalam cerpen teman-teman.

Pada sesi lembaga pers dan menejemen redaksi, aku lebih banyak mengajak teman-teman untuk berbagi pengalaman bekerja di majalah dinding. Karena pada dasarnya mereka sudah terbiasa dengan kerja keredaksian, hanya objek dan wilayahnya sedikit berbeda. Metode ini cukup efektif, pertama, melatih keberanian berbicara, kedua, tidak membosakan karena lebih dinamis dibanding ceramah oleh pemateri. Demikian juga tentang struktur keredaksian dan layout majalah. Sampai sore sebelum istirahat maghrib, teman-teman kita minta untuk menuliskan apa yang belum dipahami selama proses dua hari pelatihan.

Ada beberapa hal yang kemudian kembali dijelaskan oleh Mahbub, dan tentang berita dan perbuletinan aku coba bertanya dan menjelaskan langsung ke masing-masing kelompok. Selain mempersiapkan makalah untuk difotokopi dan dibagikan ke peserta.

Kelompok kerja bulletin dibagi empat, sesuai dengan sekolah masing-masing. Yaitu, Madin putera, M3R, MAN, dan Madin puteri. Lebih dulu mereka menentukan nama bulletin, staf redaksi, rubrikasi, juga tema yang akan diangkat. Dari hasil keliling, aku menemukan tema-tema yang menarik. Seperti tentang bahwa santri tidak hanya bisa menulis pegon, yang lalu dikaitkan dengan kegiatan training writing skills ini. Aku juga sempat ikut menajamkan tema, beberapa aspek yang bisa diangkat, juga proses penulisan berita. Saat itu aku yakin betul kalau anggukan paham mereka akan muncul dalam sebuah tulisan dan bulletin yang menarik. Dan, itu akan bisa aku lihat esok hari.

Part 4
 
Pagi, pukul 06.00 kembali teman-teman mengikuti out bond. Menuju ke pantai kartini, gratis dengan bekal surat sakti. Di taman pantai teman-teman kita ajak bermain yang tujuannya adalah membentuk team work yang kompak. Pertama, permainan kait siku. Kedua, permainan bentuk bisu. Ketiga, rangkai cerita. Dan, permainan berjalan seru.


Usai istirahat mandi dan makan, pukul 09.00 teman-teman melanjutkan kerja pembuatan bulletin. Beberapa anak melakukan wawancara, menulis, mencetak tulisan lewat print out, atau melayout. Pukul 12.00 belum juga selesai, dan mendapat tambahan waktu hingga pukul 02.00. Penambahan waktu ini membuat fasilitator tidak bisa membaca dengan intensif hasil pekerjaan teman-teman. Hanya sepintas, dan masukan juga hasil evaluasi disampaikan sebelum acara penutupan. Aku juga sempat membaca tulisan pada majalah yang mengangkat tema tentang santri yang tidak cuma bisa nulis pegon. Dan hasilnya, memang butuh proses untuk menjadi lebih baik. Sementara Fina bertugas membaca diary dan menentukan teman-teman yang mendapatkan novel Matapena. Penutupan pukul 15.30, dihadiri juga oleh Gus Mus.

Dalam sambutannya Gus Mus juga menegaskan bahwa menulis adalah sebuah proses yang tidak bisa dilakukan secara instan. Senada dengan kisah perjalanan hidup Mas Jony yang berdarah-darah dalam proses kepenulisannya. Makanya ia pun berkali-kali mengatakan, jika tidak mau gigih dan rajin membaca, silakan mundur dari menjadi penulis. Ini sekaligus menjadi rekomendasi pelatihan ini. Bahwa ini adalah awal untuk teman-teman Rembang bisa terus intens menulis juga membaca. Bahwa pembagian kelompok kerja bulletin juga awal teman-teman untuk membuat karya baru dalam bentuk majalah. Kelompok itu apakah akan bisa berfungsi atau tidak, proses menjadinya juga ada pada keseriusan teman-teman untuk bekerja. Dan, dalam waktu dekat PR fasilitator adalah membuat review majalah, dan rekap buku harian teman-teman peserta selama pelatihan. Selain tetap membuka sambungan komunikasi lebih jauh secara profesional. Biar kesuksesan jadi milik kita semua! Setelah acara foto-foto, yang mana katanya kamera yang aku pinjam batereinya habis tapi ternyata tidak dan aku pun nggak dapat foto-foto itu (hiks..hiks..), aku dan teman-teman dari Jogja juga Mas Amir mohon pamit.

Yogya, 08 Agustus 2008

Isma kazee

2 komentar

Wednesday, August 06, 2008

Unforgetable...

Wednesday, August 06, 2008
Yang tak terlupa dari Liburan Sastra di Pesantren...

para sastrawan yang berbaik hati meluangkan waktu

teman-teman peserta dari USP dan MQIP Putera Sampoerna Foundation, juga pesantren-pesantren, SMA, PT dan perseorangan dari Jogja, Cirebon, Wonosobo, Banyuwangi, Tuban, Malang, Pati, Kendal, Pekalongan...

teman-teman panitia dan fasilitator


para guru pembimbing, Bu Indri, Pak Marno, Pak Tauhid, Pak Zubaidi, dan Mas Amir dari MQIP Putera Sampoerna.


alam Kaliopak...


ketinggian Bukit Bangkel, tenda yang panas...


nulis-nulis, api unggun, mushala atap langit, pentas budaya...


Terima kasih...

5 komentar

Monday, August 04, 2008

Asyiknya Liburan Sastra di Pesantren

Monday, August 04, 2008
Tak berlebihan jika berliburan sastra di pesantren dibilang asyik dan seru. Karena kegiatan yang sudah terlaksana 10-12 Juli 2008 yang lalu ini berusaha memadukan tiga bentuk kegiatan:

- Berlibur

Titik tekan dalam kegiatan ini adalah fun dan refreshing. Beberapa kegiatan yang menekankan poin berlibur di antaranya adalah jalan-jalan ke Kaliopak dan Bukit Bangkel. Dalam dua kali jalan-jalan itu, peserta didekatkan dengan keindahan alam, nuansa lokalitas, serta beberapa permainan untuk membebaskan ekspresi. Misalnya, permainan bercerita pada air, berbagi dengan batu, dan meniup balon.

Pada sesi penutupan, usai Pentas Budaya, ada acara bernyanyi bersama mengelilingi api unggun. Layaknya acara perkemahan, api ungun adalah puncak segala acara yang menyatukan kebersamaan dalam kedekatan rasa penuh keakraban.

Meskipun menghabiskan banyak tenaga, komentar memuaskan banyak dituliskan oleh teman-teman tentang liburan mereka, misalnya:

Khatim Maulina, Annuqayah Madura:
“Yang tak bisa dilupakan dari Liburan Sastra adalah out bond ke Kaliopak dan Bukit Bangkel. Tahu alam sekitar gitu.”

Tiara Pratidhina, SMAN 13 Surabaya:
“Liburan di desa yang masih asri. Asyik dan seru banget bisa ke Kaliopak.”

Izzatin Nisa’, Madrasah Muallimat Rembang:
“Aku mendapat suasana baru yang lain daripada yang lain/refreshing.”

Rizqi Wijanarko, PP Darul Amanah Kendal:
“Pengalaman out bond, tak terlupakan.”

Wahidah Nur K, MAN Wonokromo Yogyakarta:
“Pas mendaki ke Bukit Bangkel juga pas malam perpisahan, tak terlupakan.”

Dwina Azizah SN, SMAN 13 Surabaya:
“Pemandangan yang indah, yang tidak didapatkan di kota.”

Sa’duman Djaya, Annuqayah Madura:
“Tentunya ketika api unggun itu menyenandungkan bahwa kita sebentar lagi akan berpisah. Ini tak bisa terlupakan.”

Selain jalan-jalan, kegiatan fun yang lain adalah nonton film bersama di aula. Memutar film Died Poet Society. Meskipun tidak sekelas dengan bioskop 21, para peserta dan guru pembimbing tampak menikmati hingga pemutaran selesai. “Filmnya bagus,” lagi-lagi Pak Tauhid berkomentar penuh kekaguman.

- Bersastra

Kegiatan ini menitikberatkan pada apresiasi sastra, baik terhadap karya sendiri maupun orang lain. Beberapa kali yang berhasil dilakukan, pertama, memberikan komentar atas karya teman dalam kelompok-kelompok kecil. Baik ketika di Kaliopak maupun di mushala Atap Langit. Thayyibah Ali Sumarto dari MA Puteri An-Nuqayah sempat berbagi kesan, “Senang sekali saya di kelompok tadi. Kakak-kakak yang mahasiswa itu memberikan komentar untuk tulisan saya.”

Kedua, Pentas Puisi di mushala Atap Langit. Para peserta adalah para sastrawan, terbukti secara spontan mereka bisa tampil bergantian penuh percaya diri membacakan puisi dengan sangat baik.

Ketiga, apresiasi teater, wayang, dan film. Para peserta disuguhi pentas teater oleh Komunitas Sangkal, pentas wayang oleh Kajey Habib, dan pemutaran film Died Poet Society. Ketertarikan dan keseriusan mereka menikmati suguhan itu adalah sebuah apresiasi atas karya sastra yang divisualkan.

Di samping itu, termasuk dalam konsep ini adalah belajar tentang sastra dari banyak pengalaman, baik kepada para sastrawan senior, seperti Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Acep Zam Zam Noor, Joni Ariadinata, Evi Idawati, kepada fasilitator yang merupakan para penulis novel Matapena, maupun kepada sesama teman peserta. Juga belajar tentang seluk beluk pentas karya yang divisualkan, seperti drama atau teater.

Tentang kebebasan berekspresi tanpa kungkungan teori ini, Atho’illah dari PP Langitan Tuban menuliskan, “Saya mendapatkan sebuah pengertian bahwa sastrawan harusnya bisa membaca kehidupan dan peka terhadap gejala sosial yang terjadi. Bahwa ternyata sastra itu membebaskan. Bukan kungkungan teori yang membuat jadi mengkerut,” tulisnya dalam lembar evaluasi hari pertama.

Pada dasarnya dalam diri setiap peseta sudah terdapat bara sastra. Oleh karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah contoh dan motivasi. Sehingga, dihadirkanlah motivasi dari para sastrawan senior, para penulis novel Matapena. Juga, lewat media film yang bercerita tentang kebebasan berekspresi dan menjadi diri sendiri, Died Poet Society. Bara sastra dan motivasi adalah awal proses untuk kemudian para peserta menjadi bersemangat untuk berkarya.

- Berkarya

Salah satu respon positif untuk semangat dalam berkarya dituliskan oleh seorang peserta dalam catatan kecilnya, “Ini akan jadi terakhir yang penuh tanda tanya. Aku bertekad, menulis sendiri di rumah dan tak akan pernah peduli siapa pun.” Juga dituliskan oleh Suyud dari Banyuwangi, “Aq akan jadi penulis!”

Beberapa sesi dalam Liburan Sastra memang diformat untuk membiasakan peserta berkarya, baik dalam bentuk tulisan seperti ketika jalan-jalan ke Kaliopak dan di sela-sela petualangan di Bukit Bangkel. Selain menulis puisi dan cerpen, ada juga permainan copy to under di mana peserta diminta meneruskan potongan cerpen menurut gagasan dan imajinasi mereka masing-masing. Permainan ini merangsang lahirnya cerita baru yang variatif dari sumber cerita yang sama, yaitu cerpen “Lukisan Kaligrafi” karya Gus Mus.

Termasuk dalam konsep berkarya adalah merancang pementasan untuk Pentas Budaya pada malam penutupan acara Liburan Sastra yang ternyata berhasil dengan baik. Solechah Delasari, dari SMAN 4 Yogyakarta menuturkan dalam catatan kecilnya bahwa malam penutupan di panggung menjadi momen yang tak terlupakan dari Liburan Sastra di Pesantren. Dia berkesempatan memandu pementasan dari kelompok puteri dengan gaya seperti membaca puisi. Sangat menarik.

Secara terpisah kelompok putera dan puteri bisa mempersembahkan satu bentuk pementasan yang menarik. Masing-masing kelompok menggarap sendiri mulai dari pilihan naskah cerita, tokoh, watak, karakter, musik, juga kostum. Dalam persiapan pementasan ini fasilitator tidak ikut terlibat sama sekali. Karena berangkat dari asumsi bahwa mereka memang sudah menyimpan bara sastra yang tak terbantahkan.

Memang, tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan persiapan, perjalanan, dan ending dari kegiatan Liburan Sastra di Pesantren. Apalagi mengingat kegiatan ini adalah kegiatan pertama bagi Komunitas Matapena yang bersifat lebih luas daripada workshop-workshop kepenulisan yang selama ini dilakukan di beberapa rayon pesantren.

Tapi, datangnya banyak apreasiasi atas kegiatan ini, baik dari pendaftaran peserta, donasi, dan pesan kesan dari berbagai pihak bisa dijadikan sebagai ujung rekomendasi bahwa Liburan Sastra di Pesantren cukup menarik dan berjalan dengan baik. “Saya sangat respek dengan kegiatan ini. Panitia dan fasilitatornya gaul sesuai dengan selera kaum muda. Materi bagus, penyampaian materi sangat menyenangkan. Salut untuk anak-anak pesantren yang hebat, kreatif, dan inovatif. Menumbuhkan rasa ingin bersastra yang mendalam dan menambah persaudaraan,” demikian dituliskan Bu Indri, guru pembimbing SMAN 13 Surabaya. Salah satu sekolah dampingan USP Putera Sampoerna Foundation.

Senada dengan Bu Indri, Kang Acep juga menuturkan dalam orasi budayanya, “Acara semacam ini bukan hanya penting, tapi juga harus dilestarikan sebagai bagian dari pesantren. Karena kita tahu banyak sekali sastrawan-sastrawan kita yang dari pesantren. Ada beberapa kawan pengarang, di antaranya Muhammad Amri dan Rahmatullah Ali, mereka menjadikan pesantren sebagai setting yang kental.”

Sementara Evi Idawati secara terpisah mengungkapkan keterkejutannya atas acara ini. “Ini lebih bagus lho daripada acara yang kemarin. Coba aku tahu sebelumnya, anakku taksuruh ikut,” ucapnya penuh kekagumam.

Respon serupa juga banyak dilontarkan oleh teman-teman peserta:

Ahmad Syatori, PP Miftahul Muta’allimin Cirebon:
Jangan sampai di sini kegiatan LSDP, semoga tahun berikutnya bisa ditingkatkan.

Ainun Nahdhiyatin, PP Roudhotut Tholibin Rembang:
Sering-sering aja ngadain pelatihan kayak gini, soalnya banyak banget manfaatnya. Buat suasana yang berbeda agar tambah semangat.

Miftachul Alam, SMAN 19 Surabaya:
“Amazing, bagi pemula seperti saya yang mendapatkan pengalaman berharga tentang sastra.”

Rochmad Hartadi, PP As-Salafiyah Mlangi:
Ada follow upnya kayaknya oke tuh.

Hanik Amaria, SMAN 13 Surabaya:
“Ya, maju terus, dan diadakan lagi yang lebih seru dari ini.”

Ahmad Zainuddin, PP Roudhotut Tholibin:
“Untuk panitia, semoga pelatihan ini bukan yang pertama dan yang terakhir.”

Wachidah Nur K., MAN Wonokromo Yogyakarta:
“Besok adain lagi Mas/Mbak acara kayak gini.”

Khatim Maulina, MA An-Nuqayah Madura:
“Jangan jadikan kegiatan ini sebagai kegiatan yang terakhir kali.”

Atho’illah, PP Langitan Tuban:
“Jangan sampai gak diadain lagi.”

Ragil F.A, Komunitas Matapena rayon Wonosobo:
“Kegiatan ajaib.”

Susi Susanti, MA An-Nuqayah Madura:
“Adain tiap tahun, tambah dikembangkan lebih baik yah! Hanya orang yang separo hati yang mampu mendefinisikan kegiatan ini.”

Sholechah Delasari, SMAN 4 Yogyakarta:
“Subhanallah, ada banyak sekali pengalaman yang luar biasa dahsyat. Thanks panitia. Tahun depan ada lagi gak?”

Dan, Mas Amir Maaruf, Program Officer Madrasah Quality Improvement Program Putera Sampoerna Foundation yang mengikutsertakan teman-teman dari PP Roudhotut Tholibin Rembang dan MA An-Nuqayah Madura, menggarisbawahi dengan, "Well planed and well done," tentang kegiatan Liburan Sastra di Pesantren. Selain bisa menjadi inspirasi mengisi liburan yang asyik dan kreatif.

Beberapa masukan, evaluasi, dan koreksi atas banyak hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Liburan Sastra di Pesantren tahun ini akan menjadi bara untuk pelaksanaan Liburan Sastra di Pesantren pada kesempatan liburan sekolah berikutnya dengan lebih baik dan sempurna lagi.

Terima kasih... Terima kasih...

2 komentar

Wednesday, July 23, 2008

DEAD POETS SOCIETY

Wednesday, July 23, 2008
DEAD POETS SOCIETY; PESANTREN DAN SASTRA YANG MEMBEBASKAN

Dead Poets Society (DPS), film produksi Peter Weir dan Paul Junger Witt, dibintangi antara lain; Robin Williams, yang berperan sangat apik sebagai seorang guru bahasa, pertama kali di rilis tahun 1989. Film ini mengambil setting sekolah khusus remaja (laki-laki), Welton College, di mana para muridnya berasal dari kalangan orang-orang ternama. Mereka yang sekolah di sini wajib tinggal di asrama dengan aturan-aturan yang sangat ketat dan disiplin tinggi. Karena mereka tengah disiapkan sebagai calon-calon pemimpin generasi aristokrasi baru di Amerika.

Film ini bercerita tentang seorang guru yang memberi inspirasi anak didiknya untuk mengubah pandangan dan sikap mereka agar hidup lebih dinamis, percaya pada pilihan sendiri dan berani menyuarakan ketertarikan serta bakat personalnya. Untuk melakukan sesuatu yang dianggap mustahil di sekolah itu, sang guru pun mengajarkan mereka puisi dan sastra. Sesuatu yang kelak mendorong perubahan, gejolak di kalangan para guru dan pimpinan institusi yang bersangkutan. Dengan hasil akhir, sang guru (yang menjadi guru favorit di sekolah itu) harus pergi karena dianggap bersalah.


Berikut saya kutip ringkasan film DPS yang saya ambil dari november-november.blogspot.com. Blog ini milik seorang Ibu muda bernama Ratna Noviasari (Ibunya Nisa, begitu si Ibu ini memperkenalkan dirinya). Perempuan berjilbab ini, secara pribadi belum saya kenal dan sampai tulisan ini saya buat pun belum sempat saya berkomunikasi dengannya. Secara etis memang saya sudah meminta ijin mengutip narasinya tentang film DPS. Film ini kebetulan juga salah satu film favorit saya. Sekitar tahun 1991, ketika saya masih semester awal kuliah film ini telah berulang-ulang saya tonton.

Film ini secara khusus menginspirasi saya untuk membentuk sebuah kelompok sastra di kampus IAIN Sunan Kalijaga (sebelum berubah menjadi UIN) bernama Komunitas Anak Merdeka (KAM). Di waktu-waktu senggang kami berkumpul melingkar dan setiap individu membacakan puisi-puisinya. Ketika komunitas Matapena (berdiri 2005), kumpulan para penulis muda berlatar pesantren ini sedang giat-giatnya menyelenggarakan road show dan temu penulis sambil mengembangkan workshop creative writing untuk para santri, saya seperti diingatkan kembali oleh film ini.

Google searching cukup berjasa mempertemukan saya dengan blog Ibu muda ini. Saat itu, saya sedang mencari tulisan-tulisan orang seputar film DPS untuk menjadi bagian dari metode refleksi dalam kegiatan Liburan Sastra di Pesantren (LSDP) komunitas Matapena. Blog Ibu muda ini menulis apresiasi yang cukup bagus tentang film tersebut. Berikut adalah ringkasan yang saya ambil dari blog-nya, dengan beberapa potongan konteks yang saya anggap tidak perlu.

    “Film ini bercerita tentang Mr Keating (Robin Williams) yang menjadi guru di Welton, sekolah berasrama khusus putra. Di tengah-tengah suasana asrama yang kaku, peraturan yang ketat dan cara mengajar yang kuno (orang dulu bilang DDCCH: Duduk, dengar, catat, hapal) keberadaan Keating memberikan suasana baru. Cara Keating mengajar bukan saja menarik tapi juga membuka pandangan baru bagi siswa Welton. Beberapa siswa Welton (Neil, Todd, Cammeron, dll) yang menjadikan Keating sebagai guru favorit mencoba mengikuti masa lalu Keating ketika menjadi siswa di Welton dengan membentuk Dead Poets Society (DPS). DPS adalah kelompok yang selalu mengadakan pertemuan rahasia di sebuah gua dekat sungai tak jauh dari asrama. Dalam pertemuan itu setiap anggota membacakan puisi. Baik puisi karya pengarang terkenal maupun puisi karangan sendiri, selain itu mereka juga berdiskusi tentang berbagai hal. Pendeknya, pemikiran murid-murid Keating mengalami keterbukaan dan kebebasan. Mereka kemudian menjadi berani mengambil keputusan yang diyakini oleh hati mereka. Salah satunya Neil, siswa yang sangat cerdas dan sangat tertarik pada teater. Namun keinginannya ditentang oleh ayahnya. Neil bersikukuh, sehingga akhirnya ayahnya memutuskan untuk memindahkan Neil dari Welton dan memasukkannya ke sekolah militer. Neil yang tidak mau menerima akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol ke kepalanya. Kejadian ini menghebohkan dan membuat gusar seluruh orangtua murid. Para orang tua murid mendesak sekolah untuk bertanggung jawab. Karena didesak, akhirnya sekolah mencari kambing hitam. Kambing hitamnya adalah Keating. Guru yang dianggap nyeleneh ini didakwa mempengaruhi para siswa untuk melakukan pemberontakan. Penghianat selalu ada dalam kasus seperti ini. Cammeron menjadi penghianat yang membocorkan mengenai Dead Poets Society demi menyelamatkan diri. Para anggota Dead Poets Society didesak untuk menandatangani pernyataan yang menyalahkan Keating. Keating berhasil dikeluarkan dari welton, namun Keating juga berhasil menjadikan murid-muridnya menjadi orang-orang yang berpikiran merdeka dan berani menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Keating berhasil memberikan 'pendidikan' dalam arti yang sesungguhnya. Di akhir cerita, ketika Keating hendak meninggalkan kelas, para muridnya berani berdiri di atas meja beramai-ramai di depan mata kepala sekolahnya.”
Sekolah berasrama Welton (Welton College) mungkin tak ubahnya Pesantren. Lembaga pendidikan yang telah lama ada di bumi nusantara sejak beberapa abad yang lampau, khususnya di pulau Jawa. Gambaran umum tentang Pesantren dapat dibaca dalam tulisan Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, “Tradisi Pesantren,”-nya Dzamahsyari Dhofier dan KH. Saefuddin Dzuhri dalam “Guruku Orang-orang Pesantren”. Secara ringkas, Pesantren merupakan tempat para santri tinggal (mondok), untuk menimba ilmu dari sang guru (Kiai). Orang-orang pesantren sudah teramat biasa hidup dalam aturan-aturan yang ketat, batasan-batasan pergaulan yang dilandaskan pada keyakinan agama. Itulah mengapa para santri sering menyebut Pesantren sebagai ‘penjara suci’.

Film DPS menjadi cermin yang cukup muqtadhal hal (kontekstual) untuk melihat bagaimana jalan pembebasan –sebagaimana ditunjukkan film ini-- sastra itu berlangsung. Dinamisme, kegairahan, kegembiraan anak-anak muda, pencarian dan usaha keras –seperti ditunjukkan oleh komunitas Matapena—dalam merumuskan eksistensi mereka tampak begitu meyakinkan. DPS harus saya anggap sebagai film terbaik untuk melihat bagaimana sastra menemukan rumahnya. Sebuah tontonan bernilai sastra dan inspiring dalam menatap dunia Pesantren kita dewasa ini.

Pesantren Dan Metode Sastrawi (Al-Manhaj Al-Adaby)
Tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangatlah berbeda dengan dunia luar. Cara mereka mengatur waktu menjadi tidak biasa jika diterapkan dalam kehidupan umum. Para santri pun tidak diperbolehkan keluar-masuk sembarangan dari lingkungan Pesantren tanpa ijin dari pengasuh atau pengurus. Biasanya, pengurus adalah santri senior yang ditugaskan Kiai untuk mengawasi para santri. Gambaran kehidupan di lingkungan Pesantren yang cukup ketat ini dimaksudkan sebagai pengejawantahan nilai-nilai keagamaan seperti; menjaga amanah. Sebab, para santri ini tidak hanya berasal dari lingkungan Pesantren itu sendiri, tetapi juga mereka datang dari berbagai pelosok daerah. Para orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk dididik agama. Kepercayaan (amanah) itulah yang dijaga Pesantren agar para santri belajar sungguh-sungguh dan tidak mengecewakan orang tua dan masyarakat yang menunggu peran mereka.

Di lingkungan Pesantren, sekalipun mata pelajaran sastra tidak diajarkan secara khusus, instrumen-instrumen pemahaman sastra dan pendekatan sastrawi dalam praktek pendidikan ala Pesantren sesungguhnya menjadi metode yang sangat kuat berakar. Secara teoritik mungkin hal ini tidak disadari sebagai bagian dari metode. Pada kenyataannya, gaya dan suasana, tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangat mengedepankan pendekatan-pendekatan sastrawi.

Tradisi melantunkan dan menghafal bait-bait nadhom sebagai penghantar mata pelajaran ilmu alat seperti; nahwu dan shorof memudahkan mereka mencerna pemahaman atas ilmu itu sendiri. Kajian-kajian atas kitab kuning karya ulama dan shalaf al-shalih lainnya, untuk sebagian di antara kitab-kitab tersebut ditulis dengan tekstur sastrawi dan berunsur puitik, seperti kitab Zubad, misalnya, cara mengkajinya pun dimulai dari melantunkan dan menghafal bait demi bait isi dari kitab tersebut, betapapun materi dari kitab-kitab itu berisi ajaran-ajaran tasawuf, teologi maupun kaidah-kaidah fiqhiyah dan ilmu-ilmu alat (pengetahuan gramatika bahasa Arab). Kebiasaan sedemikian, secara tradisional membuat lingkungan Pesantren dan para santri khususnya begitu akrab dengan syair-syair, nyanyian-nyanyian, puji-pujian yang menjadi penghantar mereka dalam menghafal pelajaran dari mana pemahaman dan pengetahuan agama mereka ditransferensikan.

Metode sastrawi pada akhirnya menjadi jiwa dari tradisi dan pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu sendiri. Sekalipun para santri tidak secara teoritik belajar sastra, dunia sastra itu sendiri bukan sesuatu yang asing di lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan haflah (pertemuan para santri) yang secara periodik dilakukan biasa ditampilkan pula pementasan-pementasan kesenian khas Pesantren seperti; kasidah, terbangan, pentas rebana dan lain-lain. Bahkan di waktu-waktu tertentu pula selalu ada kegiatan lomba seperti; membaca kitab al-Barzanji dan hapalan bait-bait alfiyah Ibnu Malik dan sebagainya.

Tradisi dan kultur Pesantren yang akrab dengan dunia sastra itu dari tahun ke tahun, seperti tak habis-habisnya melahirkan para pegiat sastra baik yang berkecimpung di tingkat lokal maupun nasional seperti; Faizi El sael, Ahmad Syubanudin Alwi, Haqqi al-Anshory, Arief Fauzi Marzuki, Acep Zamzam Nur, D. Zawawi Imran, Ahmad Tohari, Ragil Suwarna Pragolapati (Alm.), Zaenal Arifin Thoha (Alm.), KH. Maman Imanul Haq, Ahmad Zaky (Zaky Zarung), Mahbub Jamaluddin, Sachree M. Daroini, Kaje Habib, Nor Ismah (Ismah Kajee), Ma’rifatun Baroroh, Pijer Sri Laswiji, Ully, dan tentunya masih banyak lainnya yang tidak sempat disebut di sini.

Pengalaman dan keakraban bersastra yang melekat dalam tradisi dan pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu menjadikan sastra tak ubahnya jiwa dari kehidupan Pesantren itu sendiri. Sastra seperti menemukan rumahnya yang nyaman. Kegiatan sastra begitu nyata dihidupkan, tapi juga barangkali masih malu-malu untuk diakui sebagai bagian dari tradisi Pesantren itu sendiri. Karenanya, proses mengembangkan sastra di lingkungan Pesantren pada akhirnya harus terus menerus dilakukan, bukan semata-mata karena sastra menjadi jembatan penghubung pembelajaran ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, usaha ini dilakukan sebagai bentuk pertanggung jawaban religi atas nilai-nilai agama itu sendiri. “Innallaha jamilun yuhibbu al-jamal.” Allah lah yang terindah. Dia yang menyintai keindahan. Dan, puncak dari segala yang bernama keindahan adalah kembali ke asal mula keindahan dengan cara-cara yang sarat keindahan pula (husnul khotimah).

Sastra Sebagai Jalan Pembebasan
Sastra merupakan jalan pembebasan. Ia hadir di tengah carut marut kehidupan dan sistim sosial yang mampat. Sastra juga menjadi kunci pembuka kebuntuan akibat ketatnya aturan-aturan yang memancung kreativitas dan kebebasan individu. Sastra di lingkungan Pesantren menjadi jalam pembebasan dari kebuntuan memahami pelajaran dan pendalaman ilmu-ilmu agama. Sastra diakui atau tidaki telah menjadi wasilah (penghubung) internalisasi pendalaman pengetahuan di bidang agama.

Perlu dikemukakan pula di sini, lingkungan Pesantren pada umumnya miskin pengakuan dan cenderung ‘alergi’ terhadap sastra. Bahkan, sastra dianggap sebagai bidang keilmuan yang tidak penting diajarkan. Kecenderungan ini berawal dari munculnya anggapan bahwa sastra akan mendekatkan seseorang pada aspek-aspek ‘ma’ashiy’ (sesuatu yang bersifat maksiat) dan karena itu bersastra (baca: berkesenian) sebagai sesuatu yang tabu bagi para santri yang sedang menempuh pendidikan agama. Walaupun sebetulnya bukan sastra itu sendiri tetapi lebih pada persoalan sosiologis. Bahwa sastra, dalam pengertian dunia seni misalnya, cenderung berdampak pada kegiatan-kegiatan yang secara normatif melanggar kaidah-kaidah ajaran agama.
Namun demikian, lingkungan Pesantren tidaklah memungkiri peranan metode sastrawi dalam transferensi ilmu-ilmu keagamaan. Pada kasus ini tampak adanya pola hubungan, sebagaimana telah dikemukakan, masih malu-malu. Di satu pihak sastra tidak dianggap sebagai unsur penting dalam pengajaran, sementara di pihak lain sastra digunakan sebagai instrumen pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren.

Secara teoritik mereka tidak perlu mengerti apa itu sastra. Hidup dan aktivitas sehari-hari mereka di lingkungan Pesantren selama bertahun-tahun pada akhirnya justru menjadi jalan sastra itu sendiri. Mereka adalah lakon dalam pentas laku sastra di lingkungan Pesantren. Jadi, sastra di lingkungan Pesantren bukanlah sesuatu yang menempel dan atau ditempelkan begitu saja. Jalan sastra yang lahir dari tradisi panjang itu merupakan sesuatu yang sudah ratusan tahun melekat. Sejarahnya begitu panjang sebagaimana Pesantren itu sendiri. Sastra, dan dengan demikian metode sastrawi di lingkungan Pesantren diakui atau tidak hakikatnya adalah ‘nalar religi’ lain yang dikembangkan Pesantren secara ‘given’ atau dalam bahasa Pesantrennya sesuatu yang bersifat ‘laduniyah’.

Seiring dengan perkembangan jaman, sastra telah menjadi ‘living tradition’ di lingkungan Pesantren yang tidak lekang di makan waktu. Bilamana mereka telah menjadi bagian dari kehidupan yang lebih umum metode sastrawi ini menjelma dalam habit kerja-kerja kultural mereka di masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sisi keluwesan dan kelenturan orang-orang Pesantren menerima hal-hal baru tanpa merasa perlu menjadi bagian dari kebaruan itu sendiri. Dalam arti, semodern apapun orang Pesantren bukan hal mudah bagi mereka untuk mengubah kultur kepesantrenan mereka. Menjadi modern bukan berarti menjadi orang lain yang sama sekali baru. Sebuah eksperimentasi yang miskin apresiasi bahkan dari negara sekalipun. Wallahu’alam.
---------------------------------
Akhmad Fikri AF. adalah direktur penerbit LKiS Jogjakarta dan pembina komunitas Matapena. Menulis puisi sejak 18 tahun yang lalu. Sebagian puisi-puisinya dipublikasikan di NEW KIDS ON THE BLOG-nya sendiri.

4 komentar

Thursday, July 03, 2008

Undangan Reuni Penulis Matapena....

Thursday, July 03, 2008
Bebarengan dengan acara Liburan Sastra di Pesantren
by Komunitas Matapena, buat teman-teman penulis Matapena,
jangan lupa untuk ikut hadir juga ya.
Tepatnya pada malam penutupan liburan, Sabtu, 12 Juli 2008
di Pesantren Kaliopak LKiS Jl Wonosari km. 11
Klenggotan Piyungan Bantul Yogyakarta.

0 komentar

Saaaap Berlibur, Bersastra, dan Berkarya...

Liburan Sastra di Pesantren by Komunitas Matapena akan dilangsungkan dari Kamis-Sabtu, 10-12 Juli 2008, bertempat di Pesantren Kaliopak LKiS Jl. Wonosari km.11 Klenggotan, Srimulyo, Piyungan Bantul Yogyakarta.
Denah lokasi sebagai berikut:

Bisa ditempuh dari arah mana saja yang menuju jalan Wonosari, di kilometer 11, setelah jembatan dan pasar wage, masuk gang bergapura. Untuk para peserta, silakan langsung menuju Pesantren Kaliopak. Dari terminal bisa meneruskan dengan bis jurusan wonosari, berhenti di depan gapura Klenggotan.

Berikut ini adalah rencana kegiatan yang akan teman-teman ikuti dalam Liburan Sastra di Pesantren by Komunitas Matapena

Kamis, 10 Juli 2008
Pukul 15.00-16.00 Check-in peserta di basecamp Matapena
Pukul 16.00-19.00 Istirahat, shalat, makan
Pukul 19.00-19.30 Presensi dan pengondisian suasana
Pukul 19.30-20.00 Pembukaan
Pukul 20.00-21.30 Ngobrol tentang “Sastra, Pluralitas, dan Peradaban Bangsa” bersama Ahmad Tohari dan Jadul Maula
Pukul 21.30-22.00 Perkenalan dan Need Assesment
Pukul 22.00-23.00 Pentas Teater Sangkal
Pukul 23.00-the end Istirahat


Jum’at, 11 Juli 2008
Pukul 06.00-08.00 Memberi motivasi penulisan cerpen dan berbagi pengalaman bersama Joni Ariadinata
Pukul 08.00-09.00 Istirahat, makan, mandi
Pukul 09.00-11.00 Jalan-Jalan ke Kaliopak
Pukul 11.00-13.00 Istirahat, shalat, makan
Pukul 13.00-15.00 Presensi, game kepenulisan bersama fasilitator
Pukul 15.00-17.00 Memberikan motivasi penulisan puisi dan berbagi pengalaman bersama Evi Idawati
Pukul 17.00-18.30 Istirahat, shalat asar dan maghrib, mandi
Pukul 18.30-19.30 Ngobrol kepenulisan, unsur2 cerpen dan puisi
Pukul 19.30-23.00 Nonton film bareng-bareng, dan apresiasi film
Pukul 23.00-the end Istirahat


Sabtu, 12 Juli 2008
Pukul 05.00-07.00 Jalan-jalan ke Bukit Bangkel bersama fasilitator
Pukul 07.00-08.00 Istirahat, mandi, makan
Pukul 08.00-11.00 Menulis cerpen jadi di Bukit Bangkel
Pukul 11.00-13.00 Istirahat, shalat, makan
Pukul 13.00-13.30 Presensi dan game
Pukul 13.30-14.30 Melakonkan naskah dalam bentuk pertunjukan bersama Shachree, Hugeng, Zaki
Pukul 14.30-16.30 Persiapan pentas
Pukul 16.30- 17.00 Gladi resik
Pukul 17.00-18.30 Istirahat, shalat, makan
Pukul 19.00-the end
- Pentas Peserta
- Baca puisi D. Zawawi Imron 'celurit emas'
- Tausiyah Budaya oleh Gus Im
- Orasi Budaya oleh Kang Acep Zam Zam Noor
- Pentas wayang multimedia Kajay Habib


Untuk para peserta sudah disediakan makan-minum, kemah untuk istirahat, co card, block note, pulpen, map/tas, novel Matapena, pin, makalah, dan sertifikat. Selebihnya, silakan para peserta membawa perlengkapan pribadi yang diperlukan selama berkegiatan. Juga, kaos dan celana olahraga, dan botol minum. Jika ada yang belum jelas, bisa kontak ke nomor panitia: 08562893044 atau 08157970372.

0 komentar

Thursday, June 19, 2008

Liburan Sastra di Pesantren....
Presented by Komunitas Matapena

Thursday, June 19, 2008
Dalam rangka mengasah skill writing dan apresiasi sastra di kalangan remaja, Komunitas matapena bakal   menggelar kegiatan “Liburan Sastra di Pesantren” pada Kamis-Sabtu, 10-12 Juli 2008. Ini adalah pelatihan sastra yang dikemas dengan nuansa liburan, meliputi teknik penulisan dan apresiasi puisi, cerpen, novel, dan drama. Dengan metode fasilitasi dan memanfaatkan potensi alam dan lokal.
Eh, tapi apa asyiknya sih berlibur di Pesantren?









Jangan salah sangka dulu, kawan. Pesantren yang ini dijamin tak kalah asyik dibanding tempat-tempat lain sejenis bumi perkemahan. Namanya Pesantren Kali Opak LKiS Yoyakarta. Lokasinya persis di pinggiran Kali Opak yang memanjang di kawasan timur Jogja. Berdampingan dengan bukit Bangkel yang pas banget buat para pencari ide dan gagasan. Apalagi di saat pagi dan sore. Dalam kegiatan ini kamu akan diajak menelusuri keindahan alam khas Kali Opak dan Bukit Bakel.














Nggak cuma itu, liburan kali ini dijamin unik karena ada proses bersastra. Belajar dari pengalaman para penyair, cerpenis, novelis, penulis naskah drama, juga aktor teater nasional. Ada Gus Mus*, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Jadul Maula, Evi dawati, Jony Aryadinata, dan Kajay Habib. Ditemani oleh para penulis novel Matapena, ada Isma Kazee, Mahbub Djamaluddin, Shachree M Daroini, Zaki Zarung, Pijer Sri Laswiji, Ruslan Ghofur, Ully Maftuhah, S. Tiny, Hilma Anis, dan Camilla Hisni.

Dan yang nggak kalah penting adalah berkarya. Siapa bilang yang bisa berkarya hanya para sastrawan atau penyair ternama. Setiap isi kepala dan hati adalah sumber karya, dan nggak ada alasan untuk membiarkannya beku lalu mati tanpa diwujudkan dalam karya. Kamu bisa pilih, antara apresiasi puisi, cerpen atau novel, naskah drama atau melakonkannya. Muntahkan semua kreativitas teman-teman dalam malam puncak, festival sastra dan teater. Yang juga akan dimeriahkan oleh pentas wayang multimedia Kajay Habib, pentas teater oleh Komunitas Sangkal, dan orasi budaya dan pembacaan puisi oleh Gus Mus * dan D. Zawawi Imron.

Jadi, tunggu apa lagi…

Catat ya syarat pendaftarannya
Peserta adalah pelajar, mahasiswa, dan umum, usia 15-23 tahun
Mengisi formulir pendaftaran
Membayar kontribusi peserta
Bersedia tinggal di lokasi selama kegiatan
Pendaftaran bisa dilakukan di sekretariat panitia, Komunitas Matapena Jl Parangtritis Km, 4,4 Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul Jogjakarta. Atau melalui rekening Bank BCA Katamso A/C: 445.049.8691 a/n: PT LKiS Pelangi Aksara
Segera konfirmasikan keikutsertaan kamu via email: matapena_jogja@yahoo.com atau Hp: 08562893044 / 08157970372.

Download Formulir Pendaftaran klik di sini 

Sampai jumpa ya….

0 komentar

Friday, June 13, 2008

NAPAK TILAS: MALANG PENUH KENANGAN...

Friday, June 13, 2008
Senin, 26 Mei 2007...Masih terlintas di pikiranku, satu wajah yang akan kutemui nanti selepas maghrib. Wajah yang teduh, lembut dan... Aaah, kugelengkan kepala dan mencoba memfokuskan pandangan pada betapa berantakannya tempat ini. Spanduk-spanduk yang siap dibentangkan, karton, megaphone dan kertas-kertas bertuliskan tuntutan aksi bertebaran di ruang diskusi kantor PMII Cabang Kota Malang, tempat ampiranku sebelum ber cuap-cuap di Hall Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB). Di organisasi ini aku digembleng hingga mendapat banyak pengalaman dan aku sangat berterimakasih untuk itu.

Trrit trritt...sebuah sms melesak ke HP ku: ”Mbak, sudah siap atau belum? Kami akan jemput ke sana.” dan setelah kupastikan semuanya sudah ready kubalas sms dari Samsud, punggawa acara di FIA. Tak lama kemudian, sebuah mobil yang menurunkan tiga cowok mendekati kantor dan tanpa basa-basi yang berlebihan, kami segera meluncur menuju kantor BEM FIA. Sesampainya di sana, barulah aku tahu bahwa pembanding kali ini adalah ukhti dari KAMMI. Akhirnya, setelah menunggu sambil ber haha-hihi dengan beberapa ukhti, aku, Samsud dan ukhti Yani siap beraksi. Samsud selaku moderator memberikan waktu kepada Yani terlebih dulu karena ia punya appoinment dengan koleganya. Yani tak memberikan kritik apapun bahkan membantu promosi novel dengan banyak mengungkap nilai plus dari Trilogi Ning Aisya. Yang sempat membuatku tersenyum, ia mengatakan ”Membaca karakter Ning Aisya, saya seperti melihat refleksi diri saya sendiri.” Lah, kenapa begitu saja aku tersenyum? Ya, karena dia hanya membaca sekuel 1 dan 2 (sekuel ke 3 kebetulan lagi kosong), wah....coba dia baca sekuel 3. Aisya kan sudah nakal-nakalnya!

Pada season tanya jawab, peserta banyak bertanya mengenai teknis penulisan, dan di akhir acara mereka menjawab tantanganku dengan mendeklamasikan puisi tanpa membawa secarik kertas. Mereka berhasil!! Ah...senangnya melihat mereka antusias! Pukul 13.30, mataku tiba-tiba terasa berat. Setelah undur diri dan berbincang dengan panitia usai bedah novel, Samsud mengantarkanku kembali ke Kantor PMII yang memang hanya berjarak 2 Km dari FIA. Begitu sampai kantor, aku menyegel sebuah kamar dan mem privatisasi nya untuk 2 jam ke depan.
Sore hari kulalui dengan diskusi mengenai rencana aksi Menolak Kenaikan BBM yang digelar besok siang. Pukul 17.30, adzan maghrib berkumandang dan kami segera menunaikan sholat maghrib berjama’ah. Setelah menyantap rawon favoritku, aku diantar teman menuju UKM UAPM (Unit Aktivitas Pers Mahasiswa) yang pernah menjadi sekolah kedua ku. Melewati gedung UIN yang menjulang, aku benar-benar ulap (terkesima). Keren banget! Asli! Coba gedung kuliahku dulu sebagus ini! Aku belum tanek menikmati indahnya UIN Malang, kawanku sudah menyeret ke UAPM. Sudah ditunggu kawan-kawan katanya. Di UAPM...tempat yang memiliki akar sejarah kuat di hidupku, aku merasa begitu haru, malu, senang, tumplek bleg jadi satu. Mulai dari tatapan kagum kawan-kawan, kernyitan penuh heran, hingga gojlokan yang tak kunjung usai mewarnai 2 jam pertemuan kami.
Dan, aku tak tau pada detik keberapa persisnya, wajah teduh itu datang dengan senyum yang amat kukenal. Seketika, UAPM mengganggu tetangga UKM dengan riuh tepukan, siul dan entah apalagi. Aku yakin wajahku memerah, tapi aku mencoba mengembalikan fokus kawan-kawan pada diskusi sastra yang sedang kami lakukan. Yang paling kusyukuri dari pertemuanku dengan kawan-kawan UAPM adalah, aku bisa membuktikan diri bahwa meski aku hanya sebentar di UAPM, aku bisa menjadi seseorang yang berbeda (thanks a lot MATAPENA). Pukul 20.00 kami harus mengakhiri diskusi karena (aku baru tahu tentang ini) ada jam malam di kampus. Yah, meski sebenarnya kami masih betah, akhirnya kami hengkang juga.

Adalah Ani Rufaidah, orator ulung, penulis handal (ia juara LKTI tingkat Nasional) sekaligus kawanku di PMII dan UAPM yang mengajakku ke Averrous, sebuah NGO yang dimotori oleh kaum aktivis yang mengedepankan demokrasi dan progresifitas berfikir. Sesampainya di Averrous, yang buku-bukunya tadi pagi kutemukan di kantor PMII, aku menjadi mustami’ yang nggak nyambung dikarenakan keterlambatan hadir dan mata yang tidak bisa diajak kompromi. Pukul 22.30, aku menyerah. Diskusi ini bisa berlangsung sampai dini hari, sedangkan besok masih banyak yang harus kulakukan. Kami pamit dan Ani mengajakku ke kantornya, KOMDEK (Komunitas Malang untuk Demokrasi) yang dihuni oleh dua orang cewek. Masih belum subuh saat aku terbangun dan melihat Ani dan temannya masih berkutat dengan kesibukan. ”Belum pada tidur dari semalem?!” Mereka menggeleng sambil senyum-senyum penuh arti. Wah, kalau jadi aktivis ya gini deh, nglowo!

Sudah masuk 27 Mei 2008 ketika mantan sekertaris umum PMII Malang menjemputku di KOMDEK. Usai sarapan dan berkeliling di areal kampus, akhirnya aku bertemu dengan Azizah Hefni alias Zizi, cerpenis jebolan Bahrul Ulum yang sudah mengantongi predikat juara 2 lomba tulis cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan Menpora. Kami berdua meluncur ke rumah sastrawan Malang kaliber nasional, Ratna Indraswari Ibrahim. Ia banyak bertanya mengenai tulisanku. Melihat Mbak Ratna yang sangat produktif di usia senja, hatiku begitu trenyuh. Mengapa aku tidak pernah semangat menulis, padahal Allah sudah memberiku tubuh yang sehat dan usiaku masih muda.
Pukul 13.30 siang, aku dan Zizi pamit. Tak berapa lama usai kami merebahkan badan, pukul 16.00 aku dibawanya menuju UKM LKP2M (Lembaga Kajian Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa) untuk mengisi diskusi sastra. Sejatinya, LKP2M banyak menelurkan orang-orang berbakat. Sebut saja, Fauzi Muda, penulis buku Perempuan Hitam Putih; Pertarungan Kodrat Hidup vis a vis Tafsir Kebahagiaan dan Sufi Juga Manusia, juga Ahmad Makki Hasan yang sangat produktif menulis di situs Penulis Lepas dan di banyak media. Tepat saat adzan magrib berkumandang, kami bubar barisan dan aku mengisi waktu dengan mencari makan. Pukul 20.00, aku didaulat untuk sharing pengkaderan di PMII Rayon Chondrodimuko UIN Malang. Energiku sudah menurun dan saat jarum jam menunjuk ke angka 22.00 aku minta undur diri. Maksud hati ingin segera tidur, tapi sahabat-sahabat Chondro dan BEM Tarbiyah menghendaki perbincangan intens mengenai bedah novel Ning Aisya yang akan diselenggarakan 7 Juni nanti. Aku menurut dan bilang pada mereka, ”Langsung pada persoalan ya, aku capek.”
Ha..ha...siapa nyana, di cafe lesehan N-PYE yang semarak, aku berjumpa dengan banyak sahabat PMII termasuk Fauzi Muda dan Liga Alam (teman di Forum Penulis Kota Malang yang merupakan penulis beberapa novel dan buku yang aku lupa judulnya). Ah, kalau bukan karena diingatkan kawanku, mungkin aku akan terus nyerocos padahal kala itu jarum jam sudah menujukkan pukul 1 dini hari. Aku pun bergegas pergi dan semuanya kembali ke base camp masing-masing. Pagi harinya (28 Mei), aku mengisi waktu dengan silaturrahmi ke Pak Marno, dosen favoritku dan ke beberapa teman lama. Merapat di pukul 8 malam, aku didaulat untuk mengisi di HIMMABA (Himpunan Mahasiswa Malang Alumni Bahrul Ulum) hingga pukul 11. Bergerak menjauh dari kantor Himmaba, aku merasa plong, esok hari aku sudah bisa kembali ke rumah. Tapi, ternyata masih ada satu hal yang menyesakkan dadaku.

Wajah teduh itu masih saja pucat. Di selaput tenggorokannya ada darah yang hanya tampak ketika ia batuk dan mulai meludah. Dan semua orang meyakini itu terjadi karena aku pergi darinya 3 tahun silam..

2 komentar

Friday, May 16, 2008

Mawar Surga

Friday, May 16, 2008
Judul: Mawar Surga Penulis: Dzakeeya Nist Tebal: viii + 264 hlm Ukuran: 11 x 17 cm Cetakan 1: Mei 2008 Bagi Rufaidah, sosok Habib adalah misteri. Guru baru yang tiba-tiba datang menggantikan Pak Hisbullah yang meninggal karena kecelakaan. Ia berbeda dari guru yang sudah-sudah. Tapi, tidak bagi Habib. Rufaidah. Nama itu begitu dekat dengan dirinya. Sedekat mawar-mawar kecil itu di hatinya. Kalau orang selalu bilang, mawar itu berduri, walaupun indah. Namun Habib menyalahkannya. Ia bilang, mawar itu indah, walau berduri. Wardah atau mawar adalah kebanggaan dari pesona kecantikan. Rufaidah dan mawar, ada kaitan cerita apakah dengan sosok Habib? Novel ini ditulis oleh Dzakeeya Nist, siswi kelas I MAN 3 Malang, merupakan novel pertama yang dia publikasikan. Ia menuliskan kehidupan pesantren dengan alur cerita yang unik. Ada novel di dalam novel. Ada El-Wardah di dalam Mawar Surga.

2 komentar

Wednesday, April 30, 2008

Dari World Book Day 2008

Wednesday, April 30, 2008
Dibanding tahun lalu, untuk tahun ini jumlah pengunjung memang tidak begitu banyak. Seperti dikatakan oleh Bu Soimah dari Komunitas Taman Baca Mutiara Ilmu. “Tempatnya jauh. Kalau yang dulu kan di dekat perkantoran,” jelasnya agak kecewa. Sementara menurut analisa teman yang lain karena lokasi acara berada di pusat niaga. “Ini kan kawasan buat cari mur sama baut,” kritiknya.
Tapi, apa pun itu bisa jadi panitia bermaksud untuk mendekatkan masyarakat dengan Museum Bank Mandiri dan area wisata kota tua yang sangat bersejarah. Bangunan yang menyimpan banyak peninggalan berharga aset perbankan Indonesia itu tampak terawat dan terpelihara dengan baik. Kalau saja tidak karena perhelatan komunitas untuk World Book Day ini, bisa jadi Komunitas Matapena juga butuh mempersiapkan niat yang benar-benar untuk sampai di Museum Bank Mandiri ini.
Beberapa lokasi yang dipakai untuk pemeran adalah lorong depan loket bank mandiri, taman dalam museum, ruang audiovisual untuk pemutaran film, ruang pertemuan di lantai satu, dan ruangan memanjang bersekat yang dijadikan sebagai tempat komunitas dan beranda komunitas. Dalam kesempatan ini Matapena menampilkan Dramatic Reading “Laskar Hizib”, oleh Shachree, Ruslan, dan Isma. Pada Jumat, 25 April 2008 pukul 10.00—12.00, bertempat di beranda komunitas. Isma bertindak sebagai narator, Shachree memerankan tokoh Kiai Hamzah Qotho’, sementara Ruslan sebagai Gus Kapsul yang nakal. Usai dramatic reading, mereka berbagi pengalaman tentang proses kreatif kepenulisan dan Komunitas Matapena.
Selain Komunitas Matapena, WBD 2008 ini juga diramaikan oleh FLP, Hogwarts, Perahu Baca, Komunitas Wayang, Komunitas Layang-Layang, dan komunitas-komunitas yang lain. Meskipun ada satu dua kekurangan, sebenarnya even ini sangat positif untuk membangun jejaring antarkomunitas literasi, juga memberikan “kejutan” gemar membaca dan menulis oleh komunitas-komunitas yang diakui atau tidak sebenarnya berjumlah ribuan di Indonesia ini.

3 komentar

Tuesday, April 29, 2008

Workshop Jurnalistik dan Pentas Teater di Pekalongan

Tuesday, April 29, 2008
Rayon komunitas Matapena baru yang langsung unjuk gigi barangkali hanya Juspek Community yang berbasis di Pekalongan. Juspek Community, begitu teman-teman menyebutnya, kepanjangan dari Jurnalistik Pekalongan Community, adalah follow up dari pelatihan Jurnalistik oleh Komunitas Matapena.

Pelatihan Jurnalistik ini digelar tanggal 28-30 Maret 2008 bekerja sama dengan PMII STAIN Pekalongan dan IPPNU Pekalongan. Diikuti oleh perwakilan SMA dan Madrasah Aliyah di Pekalongan yang berjumlah 30 anak, bertempat di Gedung sekolah YMI Wonopringgo. Dengan fasilitator Zaki Zarung dan Restu RA.

Satu minggu kemudian, bersamaan dengan digelarnya Pemeran Buku Nasional di GOR Pekalongan tanggal 5-10 April 2008, Juspek Community mementaskan naskah teater “Girl Makes Trouble” karya Zaki Zarung gubahan dari novel yang ditulis oleh Restu RA. Meskipun tanpa workshop teater, berkat semangat dan keseriusan mereka untuk berlatih, juga arahan dari Mbah Marijan dan Laila, mereka berhasil membuktikan bahwa remaja memang menyimpan banyak talenta dan potensi. Dengan iringan tabuhan rebana dan zimbe, setiap aktor tampak berusaha untuk total berperan di atas panggung.

Adalah Nida yang berperan sebagai Fina. Dalam sesi berbagi pengalaman usai pentas, ia menuturkan kebanggaan hatinya bisa tampil di atas panggung memerankan tokoh utama dalam novel GMT itu. “Fina itu girl makes trouble. Tapi itu hanya cap, karena sebenarnya dia punya potensi di bidang mading,” jelasnya.

Sementara Laila, mengungkapkan rasa bangganya atas semangat teman-teman Juspek Community. “Lokasi yang jauh tak menyurutkan langkah mereka untuk terus latihan, hingga terpentaskannya teater sederhana ini,” akunya dengan mata berbinar.

0 komentar

Thursday, April 24, 2008

Keriangan dalam Bedah Novel Ning Aisya
dan Jadilah Purnamaku, Ning

Thursday, April 24, 2008
13 April 2008, gegap gempita sastra pesantren bergema di bumi Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Lautan ilmu yang berisikan tinta-tinta mulia sesuai dengan titah KH. Wahab Hasbullah pendiri Bahrul Ulum yang tertuang dalam surat al-Kahfi ayat 109 mulai terbaca. Minggu yang tercatat dalam benak-benak santri jadi saksi tersendiri, kalau sastra pesantren mulai meretas dalam dada mereka. Bedah novel dengan tema “Menguak Keajaiban Pesantren Melalui Pena” agaknya menjadi testimoni dalam perjalanan sastra Indonesia. Trilogi Ning Aisya yang ditulis oleh Camilla Chisni dan Jadilah Purnamaku Ning oleh Khilma Anis, menjadi bukti, pesantren tak hanya berkutat dengan tradisionalisme, lebih dari itu ternyata santri bisa meramaikan kancah dunia modern.


Kedua penulis muda berbakat tersebut merupakan kakak kelas saya di PP. Bahrul Ulum dan menempuh lintas pendidikan di MAN Tambakberas Jombang. Usai acara dibuka oleh sambutan panitia dan pengasuh, bedah novel yang merupakan rangkaian dari acara Mentoring yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul Ulum (Himabu) ini, segera diambil alih oleh saya selaku moderator.

Bedah novel Trilogi Ning Aisya (TNA) dan Jadilah Purnamaku, Ning (JPN) dimulai dengan paparan dari Pembanding, yakni Dra.Nur Faizah, guru bahasa Indonesia di MAN Tambakberas Jombang. Bu Nunung, begitu ia akrab disapa, pertama kali mengupas mengenai JPN. Bu Nunung mengatakan bahwa Khilma dalam kapasitasnya sebagai alumni kelas Bahasa, banyak menggunakan diksi yang sarat metafor. Kedekatan Khilma dengan dunia pewayangan, mengantarkan JPN sebagai novel yang penuh dengan deskripsi pewayangan yang terkadang membuat orang harus mengerutkan dahi. Kritik yang kemudian dilontarkan Bu Nunung pada Khilma adalah mengenai banyaknya kata-kata berbahasa Jawa yang sulit dimengerti karena berhubungan dengan dunia pewayangan. Dan meskipun sudah ada terjemahannya, peletakan terjemahan pada end note, membuat pembaca harus membolak-balik JPN agar mengerti kata-kata tersebut. Selain itu, Bu Nunung juga sedikit dibingungkan oleh penggunaan sudut pandang, ada kalanya menggunakan sudut pandang orang pertama, ada kalanya menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Usai memberikan komentar pada JPN, Bu Nunung mulai membincang TNA. Dalam TNA, Bu Nunung menyatakan kemafhumannya pada bahasa lugas dan kritis yang diusung oleh penulisnya. “Tulisan Ning Mila ini khas anak IPA; lugas,” demikian komentar Bu Nunung. Yang membuat Bu Nunung salut adalah keberanian penulis untuk melakukan kritik dari dalam (internal critic) karena Camilla sendiri merupakan bagian dari pemegang estafet kepesantrenan. Berbeda dengan JPN yang menggunakan alur maju, TNA menggunakan flash back sebagai alurnya. Adapun kritik yang dilontarkan terkait dengan TNA adalah munculnya kesulitan dalam membedakan mana kisah yang terbaca dalam agenda dan mana kisah yang terjadi pada saat pembacaan terhadap agenda terjadi, dan ini adalah hal yang mengganggu keasyikan membaca TNA.

Setelah pembedah memberikan komentar, giliran Khilma menyampaikan sedikit cerita mengenai JPN yang mengetengahkan konflik percintaan yang terbelenggu dalam trah pesantren dan trah kejawen dengan Nawang Wulan sebagai tokoh utamanya. Dengan kalimat-kalimat yang lincah, Khilma banyak mengupas mengenai penulisan dan visi Matapena. Khilma menekankan tentang mudahnya menulis dan asyiknya menjadi penulis.

Tak berselang lama, giliran Mila menyampaikan sekelemit kisah terkait TNA. Mila mulai berbicara dengan berdiri di depan forum dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan atraktif sehingga forum menjadi lebih hidup. Dalam pemaparan singkatnya, ia menekankan bahwa menulis merupakan sebuah proses. Kadang mudah, kadang susah. “AA. Navis mengirimkan 99 cerpen dan kesemuanya ditolak. Sampai akhirnya, Robohnya Surau Kami, menjadi cerpen pertamanya yang diterima publik,” tandasnya. Terkait dengan TNA, penulis yang kini sedang menyelesaikan studi S2 di UIN Jogja ini mengungkapkan bahwa TNA dibangun berdasarkan pembacaan Aisya atas masa lalunya. TNA merupakan suatu karya yang mengajak pembacanya untuk berpetualang menelusuri sudut-sudut pesantren dengan melakukan pembacaan terhadap realitas di dalamnya dengan kritis namun tetap santun.

Usai pemaparan tersebut, giliran peserta melakukan tanya jawab. Pukul 13.00, usai pembagian doorprize, 70 peserta bedah buku memberikan applaus untuk ketiga narasumber. Saya pun tersenyum lega, “Alhamdulillah acara berlangsung sukses.” Tak lama, tiba-tiba pundak saya ditepuk seseorang. Sosok yang sudah saya anggap kakak sendiri itu tersenyum cengengesan, “Tar malem anak-anak Himabu kuajak ke rumah. Ya..tahlil ama dinner gitu. Nah, habis ini Iluk bantu-bantu aku ya?” Kutatap Ning Mila dengan cengiran juga, “Ok, Boss!”

Ditulis oleh Asiyah Lu’lu’ul Husna
Mahasiswi Jurusan BI UNY
Penulis puisi “Keraguanku” yang dimuat di Horison, April 2006

5 komentar

Tuesday, April 22, 2008

Diklat Jurnalistik dan Bedah Novel Ning Aisya
Di PP Al-ISLAM Joresan Mlarak Ponorogo

Tuesday, April 22, 2008
Jum’at, 11 April 2008, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan Mlarak Ponorogo dibuat geerr oleh kedatangan penulis muda yang selalu tampak ceria, Camilla Chisni. Gadis bernama asli Nisa’ul Kamilah Chisni ini sengaja menginjakkan kaki di bumi Ponorogo untuk memenuhi undangan OPMI (istilah lain untuk OSIS) dalam rangka Diklat Pers dan Jurnalistik & Bedah Novel Trilogi “NING AISYA”.

Di hari sebelumnya, Muhammad Adib Rifa’i, jurnalis sekaligus konsultan teknologi informasi di Ponorogo menularkan keahlian jurnalistiknya pada 150-an peserta. Dan Bedah novel ini merupakan penghujung dari rangkaian acara tersebut. Meski sebagai acara penghujung, para peserta justru makin antusias dan semangat hingga acara ini selesai. Dan yang menjadi motivasi terbesar dari peserta adalah adanya bedah novel yang langsung dikupas oleh penulisnya dari Yogyakarta, begitulah tutur Usman Wahyudi selaku panitia.

Tepat pukul 09.00, acara bedah novel dibuka oleh sang moderator Nurdiana santri kelas II Aliyah. Tak lama kemudian, Camilla menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola dan menggairahkan forum dengan berdiri di depan peserta dan berinteraksi langsung dengan mereka. Ia mengawali penuturannya dengan bertanya, “Ayo, yang suka nulis di agenda angkat tangan...” Dan para peserta pun mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Dalam penuturannya, Camilla banyak melempar joke, pertanyaan bahkan bisa tertawa lepas di depan forum. Para peserta pun tampak antusias ketika Mila meminta mereka untuk tunjuk tangan dan mengungkapkan realitas negatif yang terdapat di pesantren. Mila pun menghubungkannya dengan petualangan Ning Aisya yang mencoba untuk mencari paradigma alternatif dalam memaknai sebuah problem di tubuh pesantren.

“Misalnya ada santri yang pacaran trus langsung dikeluarkan dari pondok, apa dia akan menjadi lebih baik?” demikian salah satu pertanyaan yang langsung direspon dengan beragam jawaban. “Dunia kita tidak hanya memiliki dua warna, hitam dan putih. Di sana ada abu-abu, kuning, coklat, dan sebagainya. Maka kenapa kita selalu memandang setiap masalah secara hitam putih?” Mungkin itulah yang menjadi misi Mila. Ia adalah orang yakin bahwa tidak ada kesempurnaan yang instan, semua butuh proses dan perjuangan.

Setelah berhasil membuat peserta Bedah Buku melempar applause berkali-kali, giliran Bu Tutik, guru Bahasa Indonesia yang mendapat jatah untuk menelaah Ning Aisya. Dalam pemaparannya, Bu Tutik memberikan ulasan mengenai urgensi sastra dan pengharapannya terhadap anak didiknya ke depan agar bisa seperti Aisya.

“Ning Aisya memang sedikit nakal, tapi nakalnya adalah nakal dalam rangka pencarian jati diri dan dia bertanggung jawab atas pencariaannya tersebut. Ning Aisya adalah prototipe anak yang selain cerdas, penuh prestasi dan penuh rasa ingin tahu, dia juga orang yang tidak mengandalkan trah kepesantrenan dan bisa maju tanpa embel-embel bapaknya yang seorang kiai.”

Sebelum season tanya jawab dibuka, Camilla memberikan intruksi agar peserta membuat puisi dan berani membacakannya di depan forum. Keantusiasan peserta terlihat pada sesi tanya jawab, mereka saling berebut untuk menyampaikan berbagai pertanyaan dan pendapat mereka, ada yang bertanya mengenai proses kreatif, penggalian ide, penokohan, hingga pada pertanyaan mengenai nilai-nilai apa yang ingin diungkap oleh penulis melalui novel Ning Aisya. Dengan senyum yang khas, Mila menjawab pertanyaan demi pertanyaan sembari menegaskan kembali mengenai pentingnya mencari jati diri dengan mengungkapkan maqolah, “seorang pemuda bukanlah orang yang bangga mengatakan inilah bapakku, tapi yang dengan tegas mengatakan inilah aku!”
Di akhir acara, Mila mempersilakan para santri utuk unjuk kebolehan dalam berpuisi. Para santri yang berebut tersebut tidak dapat tampil semuanya karena yang ditunjuk hanya empat orang dan mereka pun mendapatkan reward berupa novel. “Waw, bagus-bagus ya puisinya!” puji Mila pada peserta yang kontan membuat mereka tersipu.

Dan sebelum rangkaian acara ini ditutup oleh pimpinan pondok Drs. Ali Fikri, M.Pd.I, Camilla memberikan reward kepada Sriyanto sebagai penanya terbaik. Pada dentang ke-11, setelah acara usai para peserta langsung menyerbu penulis guna mendapatkan tanda tangan. Akhirnya, dikarenakan ada jum’atan, panitia mempersilahkan santri putra untuk meminta tanda tangan terlebih dahulu. Lucunya, di tengah-tengah kerubutan santri yang antre tanda tangan. Gadis alumni UIN Malang ini berbisik padaku, “La’, perutku mules. Mo ke kamar mandi. Takut gak keburu.”
“Walah Neng...Aneh-aneh wae!” timpalku sembari mengkode santri putri agar tanda tangannya di asrama saja.

Ah, jum’at yang indah...
Azan pun mulai bertalu menggetarkan naluri ubuddiyah...

Ditulis oleh Lailatu Rohmah, S.Pd.I
Mahasiswi S2 MKPI, pembimbing bagian Bahasa OPMI dan Forum Ilmiah Santri PP.Al Islam Joresan Mlarak Ponorogo.

4 komentar