Film ini secara khusus menginspirasi saya untuk membentuk sebuah
kelompok sastra di kampus IAIN Sunan Kalijaga (sebelum berubah menjadi
UIN) bernama Komunitas Anak Merdeka (KAM). Di waktu-waktu senggang kami
berkumpul melingkar dan setiap individu membacakan puisi-puisinya.
Ketika komunitas Matapena (berdiri 2005), kumpulan para penulis muda
berlatar pesantren ini sedang giat-giatnya menyelenggarakan road show
dan temu penulis sambil mengembangkan workshop creative writing untuk
para santri, saya seperti diingatkan kembali oleh film ini.
Google searching cukup berjasa mempertemukan saya dengan blog Ibu muda
ini. Saat itu, saya sedang mencari tulisan-tulisan orang seputar film
DPS untuk menjadi bagian dari metode refleksi dalam kegiatan Liburan
Sastra di Pesantren (LSDP) komunitas Matapena. Blog Ibu muda ini
menulis apresiasi yang cukup bagus tentang film tersebut. Berikut
adalah ringkasan yang saya ambil dari blog-nya, dengan beberapa
potongan konteks yang saya anggap tidak perlu.
“Film ini bercerita tentang Mr Keating (Robin Williams) yang
menjadi guru di Welton, sekolah berasrama khusus putra. Di
tengah-tengah suasana asrama yang kaku, peraturan yang ketat dan cara
mengajar yang kuno (orang dulu bilang DDCCH: Duduk, dengar, catat,
hapal) keberadaan Keating memberikan suasana baru. Cara Keating
mengajar bukan saja menarik tapi juga membuka pandangan baru bagi siswa
Welton. Beberapa siswa Welton (Neil, Todd, Cammeron, dll) yang
menjadikan Keating sebagai guru favorit mencoba mengikuti masa lalu
Keating ketika menjadi siswa di Welton dengan membentuk Dead Poets
Society (DPS). DPS adalah kelompok yang selalu mengadakan pertemuan
rahasia di sebuah gua dekat sungai tak jauh dari asrama. Dalam
pertemuan itu setiap anggota membacakan puisi. Baik puisi karya
pengarang terkenal maupun puisi karangan sendiri, selain itu mereka
juga berdiskusi tentang berbagai hal. Pendeknya, pemikiran murid-murid
Keating mengalami keterbukaan dan kebebasan. Mereka kemudian menjadi
berani mengambil keputusan yang diyakini oleh hati mereka. Salah
satunya Neil, siswa yang sangat cerdas dan sangat tertarik pada teater.
Namun keinginannya ditentang oleh ayahnya. Neil bersikukuh, sehingga
akhirnya ayahnya memutuskan untuk memindahkan Neil dari Welton dan
memasukkannya ke sekolah militer. Neil yang tidak mau menerima akhirnya
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol ke
kepalanya. Kejadian ini menghebohkan dan membuat gusar seluruh orangtua
murid. Para orang tua murid mendesak sekolah untuk bertanggung jawab.
Karena didesak, akhirnya sekolah mencari kambing hitam. Kambing
hitamnya adalah Keating. Guru yang dianggap nyeleneh ini didakwa
mempengaruhi para siswa untuk melakukan pemberontakan. Penghianat
selalu ada dalam kasus seperti ini. Cammeron menjadi penghianat yang
membocorkan mengenai Dead Poets Society demi menyelamatkan diri. Para
anggota Dead Poets Society didesak untuk menandatangani pernyataan yang
menyalahkan Keating. Keating berhasil dikeluarkan dari welton, namun
Keating juga berhasil menjadikan murid-muridnya menjadi orang-orang
yang berpikiran merdeka dan berani menentukan mana yang benar dan mana
yang salah. Keating berhasil memberikan 'pendidikan' dalam arti yang
sesungguhnya. Di akhir cerita, ketika Keating hendak meninggalkan
kelas, para muridnya berani berdiri di atas meja beramai-ramai di depan
mata kepala sekolahnya.”
Sekolah berasrama Welton (Welton College) mungkin tak ubahnya
Pesantren. Lembaga pendidikan yang telah lama ada di bumi nusantara
sejak beberapa abad yang lampau, khususnya di pulau Jawa. Gambaran umum
tentang Pesantren dapat dibaca dalam tulisan Abdurrahman Wahid,
“Pesantren Sebagai Subkultur”, “Tradisi Pesantren,”-nya Dzamahsyari
Dhofier dan KH. Saefuddin Dzuhri dalam “Guruku Orang-orang Pesantren”.
Secara ringkas, Pesantren merupakan tempat para santri tinggal
(mondok), untuk menimba ilmu dari sang guru (Kiai). Orang-orang
pesantren sudah teramat biasa hidup dalam aturan-aturan yang ketat,
batasan-batasan pergaulan yang dilandaskan pada keyakinan agama. Itulah
mengapa para santri sering menyebut Pesantren sebagai ‘penjara suci’.
Film DPS menjadi cermin yang cukup muqtadhal hal (kontekstual) untuk
melihat bagaimana jalan pembebasan –sebagaimana ditunjukkan film ini--
sastra itu berlangsung. Dinamisme, kegairahan, kegembiraan anak-anak
muda, pencarian dan usaha keras –seperti ditunjukkan oleh komunitas
Matapena—dalam merumuskan eksistensi mereka tampak begitu meyakinkan.
DPS harus saya anggap sebagai film terbaik untuk melihat bagaimana
sastra menemukan rumahnya. Sebuah tontonan bernilai sastra dan
inspiring dalam menatap dunia Pesantren kita dewasa ini.
Pesantren Dan Metode Sastrawi (Al-Manhaj Al-Adaby)
Tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangatlah berbeda dengan
dunia luar. Cara mereka mengatur waktu menjadi tidak biasa jika
diterapkan dalam kehidupan umum. Para santri pun tidak diperbolehkan
keluar-masuk sembarangan dari lingkungan Pesantren tanpa ijin dari
pengasuh atau pengurus. Biasanya, pengurus adalah santri senior yang
ditugaskan Kiai untuk mengawasi para santri. Gambaran kehidupan di
lingkungan Pesantren yang cukup ketat ini dimaksudkan sebagai
pengejawantahan nilai-nilai keagamaan seperti; menjaga amanah. Sebab,
para santri ini tidak hanya berasal dari lingkungan Pesantren itu
sendiri, tetapi juga mereka datang dari berbagai pelosok daerah. Para
orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk dididik agama. Kepercayaan
(amanah) itulah yang dijaga Pesantren agar para santri belajar
sungguh-sungguh dan tidak mengecewakan orang tua dan masyarakat yang
menunggu peran mereka.
Di lingkungan Pesantren, sekalipun mata pelajaran sastra tidak
diajarkan secara khusus, instrumen-instrumen pemahaman sastra dan
pendekatan sastrawi dalam praktek pendidikan ala Pesantren sesungguhnya
menjadi metode yang sangat kuat berakar. Secara teoritik mungkin hal
ini tidak disadari sebagai bagian dari metode. Pada kenyataannya, gaya
dan suasana, tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangat
mengedepankan pendekatan-pendekatan sastrawi.
Tradisi melantunkan dan menghafal bait-bait nadhom sebagai penghantar
mata pelajaran ilmu alat seperti; nahwu dan shorof memudahkan mereka
mencerna pemahaman atas ilmu itu sendiri. Kajian-kajian atas kitab
kuning karya ulama dan shalaf al-shalih lainnya, untuk sebagian di
antara kitab-kitab tersebut ditulis dengan tekstur sastrawi dan
berunsur puitik, seperti kitab Zubad, misalnya, cara mengkajinya pun
dimulai dari melantunkan dan menghafal bait demi bait isi dari kitab
tersebut, betapapun materi dari kitab-kitab itu berisi ajaran-ajaran
tasawuf, teologi maupun kaidah-kaidah fiqhiyah dan ilmu-ilmu alat
(pengetahuan gramatika bahasa Arab). Kebiasaan sedemikian, secara
tradisional membuat lingkungan Pesantren dan para santri khususnya
begitu akrab dengan syair-syair, nyanyian-nyanyian, puji-pujian yang
menjadi penghantar mereka dalam menghafal pelajaran dari mana pemahaman
dan pengetahuan agama mereka ditransferensikan.
Metode sastrawi pada akhirnya menjadi jiwa dari tradisi dan pola
belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu sendiri. Sekalipun para
santri tidak secara teoritik belajar sastra, dunia sastra itu sendiri
bukan sesuatu yang asing di lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan haflah
(pertemuan para santri) yang secara periodik dilakukan biasa
ditampilkan pula pementasan-pementasan kesenian khas Pesantren seperti;
kasidah, terbangan, pentas rebana dan lain-lain. Bahkan di waktu-waktu
tertentu pula selalu ada kegiatan lomba seperti; membaca kitab
al-Barzanji dan hapalan bait-bait alfiyah Ibnu Malik dan sebagainya.
Tradisi dan kultur Pesantren yang akrab dengan dunia sastra itu dari
tahun ke tahun, seperti tak habis-habisnya melahirkan para pegiat
sastra baik yang berkecimpung di tingkat lokal maupun nasional seperti;
Faizi El sael, Ahmad Syubanudin Alwi, Haqqi al-Anshory, Arief Fauzi
Marzuki, Acep Zamzam Nur, D. Zawawi Imran, Ahmad Tohari, Ragil Suwarna
Pragolapati (Alm.), Zaenal Arifin Thoha (Alm.), KH. Maman Imanul Haq,
Ahmad Zaky (Zaky Zarung), Mahbub Jamaluddin, Sachree M. Daroini, Kaje
Habib, Nor Ismah (Ismah Kajee), Ma’rifatun Baroroh, Pijer Sri Laswiji,
Ully, dan tentunya masih banyak lainnya yang tidak sempat disebut di
sini.
Pengalaman dan keakraban bersastra yang melekat dalam tradisi dan pola
belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu menjadikan sastra tak
ubahnya jiwa dari kehidupan Pesantren itu sendiri. Sastra seperti
menemukan rumahnya yang nyaman. Kegiatan sastra begitu nyata
dihidupkan, tapi juga barangkali masih malu-malu untuk diakui sebagai
bagian dari tradisi Pesantren itu sendiri. Karenanya, proses
mengembangkan sastra di lingkungan Pesantren pada akhirnya harus terus
menerus dilakukan, bukan semata-mata karena sastra menjadi jembatan
penghubung pembelajaran ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, usaha ini
dilakukan sebagai bentuk pertanggung jawaban religi atas nilai-nilai
agama itu sendiri. “Innallaha jamilun yuhibbu al-jamal.” Allah lah yang
terindah. Dia yang menyintai keindahan. Dan, puncak dari segala yang
bernama keindahan adalah kembali ke asal mula keindahan dengan
cara-cara yang sarat keindahan pula (husnul khotimah).
Sastra Sebagai Jalan Pembebasan
Sastra merupakan jalan pembebasan. Ia hadir di tengah carut marut
kehidupan dan sistim sosial yang mampat. Sastra juga menjadi kunci
pembuka kebuntuan akibat ketatnya aturan-aturan yang memancung
kreativitas dan kebebasan individu. Sastra di lingkungan Pesantren
menjadi jalam pembebasan dari kebuntuan memahami pelajaran dan
pendalaman ilmu-ilmu agama. Sastra diakui atau tidaki telah menjadi
wasilah (penghubung) internalisasi pendalaman pengetahuan di bidang
agama.
Perlu dikemukakan pula di sini, lingkungan Pesantren pada umumnya
miskin pengakuan dan cenderung ‘alergi’ terhadap sastra. Bahkan, sastra
dianggap sebagai bidang keilmuan yang tidak penting diajarkan.
Kecenderungan ini berawal dari munculnya anggapan bahwa sastra akan
mendekatkan seseorang pada aspek-aspek ‘ma’ashiy’ (sesuatu yang
bersifat maksiat) dan karena itu bersastra (baca: berkesenian) sebagai
sesuatu yang tabu bagi para santri yang sedang menempuh pendidikan
agama. Walaupun sebetulnya bukan sastra itu sendiri tetapi lebih pada
persoalan sosiologis. Bahwa sastra, dalam pengertian dunia seni
misalnya, cenderung berdampak pada kegiatan-kegiatan yang secara
normatif melanggar kaidah-kaidah ajaran agama.
Namun demikian, lingkungan Pesantren tidaklah memungkiri peranan metode
sastrawi dalam transferensi ilmu-ilmu keagamaan. Pada kasus ini tampak
adanya pola hubungan, sebagaimana telah dikemukakan, masih malu-malu.
Di satu pihak sastra tidak dianggap sebagai unsur penting dalam
pengajaran, sementara di pihak lain sastra digunakan sebagai instrumen
pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren.
Secara teoritik mereka tidak perlu mengerti apa itu sastra. Hidup dan
aktivitas sehari-hari mereka di lingkungan Pesantren selama
bertahun-tahun pada akhirnya justru menjadi jalan sastra itu sendiri.
Mereka adalah lakon dalam pentas laku sastra di lingkungan Pesantren.
Jadi, sastra di lingkungan Pesantren bukanlah sesuatu yang menempel dan
atau ditempelkan begitu saja. Jalan sastra yang lahir dari tradisi
panjang itu merupakan sesuatu yang sudah ratusan tahun melekat.
Sejarahnya begitu panjang sebagaimana Pesantren itu sendiri. Sastra,
dan dengan demikian metode sastrawi di lingkungan Pesantren diakui atau
tidak hakikatnya adalah ‘nalar religi’ lain yang dikembangkan Pesantren
secara ‘given’ atau dalam bahasa Pesantrennya sesuatu yang bersifat
‘laduniyah’.
Seiring dengan perkembangan jaman, sastra telah menjadi ‘living
tradition’ di lingkungan Pesantren yang tidak lekang di makan waktu.
Bilamana mereka telah menjadi bagian dari kehidupan yang lebih umum
metode sastrawi ini menjelma dalam habit kerja-kerja kultural mereka di
masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sisi keluwesan dan
kelenturan orang-orang Pesantren menerima hal-hal baru tanpa merasa
perlu menjadi bagian dari kebaruan itu sendiri. Dalam arti, semodern
apapun orang Pesantren bukan hal mudah bagi mereka untuk mengubah
kultur kepesantrenan mereka. Menjadi modern bukan berarti menjadi orang
lain yang sama sekali baru. Sebuah eksperimentasi yang miskin apresiasi
bahkan dari negara sekalipun. Wallahu’alam.
---------------------------------
Akhmad Fikri AF. adalah direktur penerbit LKiS Jogjakarta dan pembina
komunitas Matapena. Menulis puisi sejak 18 tahun yang lalu. Sebagian
puisi-puisinya dipublikasikan di NEW KIDS ON THE BLOG-nya sendiri.