Wednesday, August 20, 2008

Rekam Proses Pelatihan

Wednesday, August 20, 2008
Rekam Proses Pelatihan Jurnalistik | PP Roudhotut Tholibin Rembang

Part I
Ini pelatihan kedua setelah pelatihan penulisan karya ilmiah populer di MA An-Nuqayah yang penyelenggaranya adalah PSF. Formasi dari Matapena juga tetap, aku, Mahbub, dan Fina. Cuma kali ini ketambahan Mas Joni Ariadinata dari Horizon, selain penambahan waktu pelatihan menjadi tiga hari, dua malam, yaitu Selasa-Kamis, 24-26 Juni 2008.

Pukul 11.30 mobil jemputan sudah tiba di LKiS, tapi aku menawar untuk mundur tiga puluh menit lagi karena harus menyelesaikan kerjaan yang lain. Bersyukur Mas Yanto dan Mas Joni adalah orang-orang yang diberi kesabaran dan rasa pengertian yang lebih dari Tuhan. Mau menunggu sampai jam 12.00 teng, untuk kemudian cabut ke bandara menjemput Mas Amir.


Waktu pertama kali melihat Mas Joni, aku pikir dia orang yang serius dan cool. Ternyata, justru karena cerpenis ini perjalanan Jogja-Rembang jadi tak sepi oleh gelak tawa. Apalagi bersama Mas Amir, yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Mas Joni. Klop sudah. Walaaah, aku sampai tertangis-tangis saking kemekelennya mendengar kisah heroik masa susah mereka. Memang sih, kisah-kisah itu juga pernah aku alami, atau juga Mahbub. Tapi sayang, aku dan Mahbub tidak punya kelebihan yang mereka miliki, bercerita dengan lucu. Jadi, sepanjang perjalanan itu aku dan teman-teman cuma jadi pendengar yang tertawa termehek-mehek. Mungkin suatu saat ada baiknya aku kulakan kisah-kisah itu untuk bahan novelku kali ya. Hehe.

Sekitar pukul delapan malam, sampailah perjalanan di pusat kota Rembang, menyisakan penat dan pening kepala. Apalagi harus melewati jalan aspal sisa banjir yang mengeronjal. Membuat aku hanya bisa mengangguk ketika mendapat tawaran untuk didadah sama Bu Dukun. Lumayan.

Part 2
 
Selasa pagi, pukul 08.30, kegiatan dimulai. Usai opening ceremony dan sedikit pengantar dari Gus Adib dan Mas Amir, Fina membagi pengalamannya dalam menulis. Ternyata peserta cukup apreasiatif. Sesi ini pun berubah menjadi sesi curhat kepenulisan, sahut-menyahut antara peserta putera dan puteri yang berjumlah 37 anak. Memang agak teoretis, dibandingkan dengan sesi Mas Joni yang langsung pada praktik.

Sebelumnya aku mengajak teman-teman untuk melihat lagi jadwal yang ditawarkan. Perubahannya tidak prinsip, hanya penambahan waktu untuk shalat. Sementara untuk materi, sebatas pembahasan itu sepertinya tidak ada masalah. Meskipun ada banyak teori tawaran dari pesantren yang tidak dimasukkan. Terlalu teoretis. Teman-teman juga aku minta untuk menulis tentang bagaimana bayangan mereka tentang pelatihan ini.

Soal mendatangkan semangat Mas Joni memang ahlinya. Malah dia tak mengenal teori dan tetek bengek aturan menulis. Usai bercerita tentang pengalaman dan proses kreatifnya, ia mengajak teman-teman bermain teka-teki. Menemukan pernyataan yang tidak tepat dalam sebuah tulisan. Untuk menunjukkan bahwa dalam menulis cerpen pun logika dan kebenaran umum harus tetap dipegang. Teman-teman tampak asntusias mengikuti model belajar ala Mas Joni. Selain karena Mas Joni itu lucu jadi suasana belajar jadi asyik dan seru.


Setelah itu Mas Joni langsung pada praktik menulis. Ia coba mebangkitkan kreativitas peserta untuk menuliskan realitas yang nyata, khayalan, pengandaian, atau alur cerita yang dibuat secara bersama-sama. Tulisan yang bersumber dari realitas dengan menuliskan kembali tentang sosok Gus Adib, imajinasi bahkan khayalan yang tidak masuk akal, semua dituliskan dalam bentuk cerpen. Untuk praktik membikin alur, Mas Joni bermain reportase tentang teka-teki menghilangnya Evita dari kelas.

Praktis Mas Joni memang hanya mengupas dan praktik menulis cerpen. Tidak juga sampai pada pengembangan materi tentang penulisan novel. Sebelum istirahat maghrib, Mas Joni meminta teman-teman untuk menulis / menyerahkan cerpen sungguhan, puisi, atau karya tulis yang lain. Dan, malam harinya, Mas Joni mengajak peserta untuk mereview hasil tulisan. Sampai hampir pukul 10.00 malam.

Part 3

Hari kedua, pukul 06.00, dimulai dengan out bond ke pendopo terdekat. Tanpa Mas Joni yang rencananya memang akan bertolak ke Jogja pukul 10.00 bersama Mas Yanto. Mahbub memimpin meditasi di dalam ruangan bulu tangkis. Sementara aku coba mengajak peserta untuk bermain diksi dan perasaan. Tujuan kegiatan ini sebenarnya untuk pembebasan pikir dan rasa, selain membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan, kekhawatiran, ketidakpercayaan diri ketika akan menulis. Maka kita bermain tiup balon sampai meletus. Bagi siapa pun ketika meniup balon pasti akan merasa takut dan khawatir jika letusannya akan membuat sakit dan lain sebagainya. Tapi, peserta justru ditantang untuk meniup sampai meletus.

“Bagaimana rasanya setelah meletus?” Mahbub bertanya. “Puas,” jawab salah seorang peserta. “Biasa saja,” jawab yang lain. “Ternyata tidak apa-apa,” sambung yang sebelahnya. Dan, ini membuktikan bahwa ketakutan dan kekhawatiran itu lebih sering hanya bikinan perasaan yang dibuat-buat.

Selesai permainan, teman-teman kembali ke pesantren untuk mandi dan makan. Pukul 08.30 kembali berkumpul di aula untuk sesi Non-Fiksi dan Berita. Berbeda dengan Mas Joni, sesi hari kedua ini lebih banyak memakai metode ceramah dan tanya jawab. Selain memahami bentuk tulisan lewat contoh-contoh berita, esay, dan resensi yang difotokopi. Sebelum berbagi pengalaman tentang pengelolaan mading dan majalah, aku mengajak teman-teman untuk menulis berita tentang sebuah peristiwa pemilihan Miss Ma’had yang wawancaranya kita lakukan bersama-sama.

Menarik. Karena ternyata banyak angle yang muncul dalam berita yang teman-teman tulis sesuai dengan sumber berita yang diwawancara. Dari panitia Miss Ma’had, pengurus, pemenang Miss Ma’had, sampai kecurigaan ada persengkokolan antara panitia dan si pemenang. Jika dibandingkan dengan tulisan fiksi bersama Joni, tulisan berita teman-teman lebih bagus. Bisa jadi karena mereka cenderung dengan bahasa baku, yang juga diamini oleh Mas Joni seperti yang ditemukannya dalam cerpen teman-teman.

Pada sesi lembaga pers dan menejemen redaksi, aku lebih banyak mengajak teman-teman untuk berbagi pengalaman bekerja di majalah dinding. Karena pada dasarnya mereka sudah terbiasa dengan kerja keredaksian, hanya objek dan wilayahnya sedikit berbeda. Metode ini cukup efektif, pertama, melatih keberanian berbicara, kedua, tidak membosakan karena lebih dinamis dibanding ceramah oleh pemateri. Demikian juga tentang struktur keredaksian dan layout majalah. Sampai sore sebelum istirahat maghrib, teman-teman kita minta untuk menuliskan apa yang belum dipahami selama proses dua hari pelatihan.

Ada beberapa hal yang kemudian kembali dijelaskan oleh Mahbub, dan tentang berita dan perbuletinan aku coba bertanya dan menjelaskan langsung ke masing-masing kelompok. Selain mempersiapkan makalah untuk difotokopi dan dibagikan ke peserta.

Kelompok kerja bulletin dibagi empat, sesuai dengan sekolah masing-masing. Yaitu, Madin putera, M3R, MAN, dan Madin puteri. Lebih dulu mereka menentukan nama bulletin, staf redaksi, rubrikasi, juga tema yang akan diangkat. Dari hasil keliling, aku menemukan tema-tema yang menarik. Seperti tentang bahwa santri tidak hanya bisa menulis pegon, yang lalu dikaitkan dengan kegiatan training writing skills ini. Aku juga sempat ikut menajamkan tema, beberapa aspek yang bisa diangkat, juga proses penulisan berita. Saat itu aku yakin betul kalau anggukan paham mereka akan muncul dalam sebuah tulisan dan bulletin yang menarik. Dan, itu akan bisa aku lihat esok hari.

Part 4
 
Pagi, pukul 06.00 kembali teman-teman mengikuti out bond. Menuju ke pantai kartini, gratis dengan bekal surat sakti. Di taman pantai teman-teman kita ajak bermain yang tujuannya adalah membentuk team work yang kompak. Pertama, permainan kait siku. Kedua, permainan bentuk bisu. Ketiga, rangkai cerita. Dan, permainan berjalan seru.


Usai istirahat mandi dan makan, pukul 09.00 teman-teman melanjutkan kerja pembuatan bulletin. Beberapa anak melakukan wawancara, menulis, mencetak tulisan lewat print out, atau melayout. Pukul 12.00 belum juga selesai, dan mendapat tambahan waktu hingga pukul 02.00. Penambahan waktu ini membuat fasilitator tidak bisa membaca dengan intensif hasil pekerjaan teman-teman. Hanya sepintas, dan masukan juga hasil evaluasi disampaikan sebelum acara penutupan. Aku juga sempat membaca tulisan pada majalah yang mengangkat tema tentang santri yang tidak cuma bisa nulis pegon. Dan hasilnya, memang butuh proses untuk menjadi lebih baik. Sementara Fina bertugas membaca diary dan menentukan teman-teman yang mendapatkan novel Matapena. Penutupan pukul 15.30, dihadiri juga oleh Gus Mus.

Dalam sambutannya Gus Mus juga menegaskan bahwa menulis adalah sebuah proses yang tidak bisa dilakukan secara instan. Senada dengan kisah perjalanan hidup Mas Jony yang berdarah-darah dalam proses kepenulisannya. Makanya ia pun berkali-kali mengatakan, jika tidak mau gigih dan rajin membaca, silakan mundur dari menjadi penulis. Ini sekaligus menjadi rekomendasi pelatihan ini. Bahwa ini adalah awal untuk teman-teman Rembang bisa terus intens menulis juga membaca. Bahwa pembagian kelompok kerja bulletin juga awal teman-teman untuk membuat karya baru dalam bentuk majalah. Kelompok itu apakah akan bisa berfungsi atau tidak, proses menjadinya juga ada pada keseriusan teman-teman untuk bekerja. Dan, dalam waktu dekat PR fasilitator adalah membuat review majalah, dan rekap buku harian teman-teman peserta selama pelatihan. Selain tetap membuka sambungan komunikasi lebih jauh secara profesional. Biar kesuksesan jadi milik kita semua! Setelah acara foto-foto, yang mana katanya kamera yang aku pinjam batereinya habis tapi ternyata tidak dan aku pun nggak dapat foto-foto itu (hiks..hiks..), aku dan teman-teman dari Jogja juga Mas Amir mohon pamit.

Yogya, 08 Agustus 2008

Isma kazee

2 komentar

Wednesday, August 06, 2008

Unforgetable...

Wednesday, August 06, 2008
Yang tak terlupa dari Liburan Sastra di Pesantren...

para sastrawan yang berbaik hati meluangkan waktu

teman-teman peserta dari USP dan MQIP Putera Sampoerna Foundation, juga pesantren-pesantren, SMA, PT dan perseorangan dari Jogja, Cirebon, Wonosobo, Banyuwangi, Tuban, Malang, Pati, Kendal, Pekalongan...

teman-teman panitia dan fasilitator


para guru pembimbing, Bu Indri, Pak Marno, Pak Tauhid, Pak Zubaidi, dan Mas Amir dari MQIP Putera Sampoerna.


alam Kaliopak...


ketinggian Bukit Bangkel, tenda yang panas...


nulis-nulis, api unggun, mushala atap langit, pentas budaya...


Terima kasih...

5 komentar

Monday, August 04, 2008

Asyiknya Liburan Sastra di Pesantren

Monday, August 04, 2008
Tak berlebihan jika berliburan sastra di pesantren dibilang asyik dan seru. Karena kegiatan yang sudah terlaksana 10-12 Juli 2008 yang lalu ini berusaha memadukan tiga bentuk kegiatan:

- Berlibur

Titik tekan dalam kegiatan ini adalah fun dan refreshing. Beberapa kegiatan yang menekankan poin berlibur di antaranya adalah jalan-jalan ke Kaliopak dan Bukit Bangkel. Dalam dua kali jalan-jalan itu, peserta didekatkan dengan keindahan alam, nuansa lokalitas, serta beberapa permainan untuk membebaskan ekspresi. Misalnya, permainan bercerita pada air, berbagi dengan batu, dan meniup balon.

Pada sesi penutupan, usai Pentas Budaya, ada acara bernyanyi bersama mengelilingi api unggun. Layaknya acara perkemahan, api ungun adalah puncak segala acara yang menyatukan kebersamaan dalam kedekatan rasa penuh keakraban.

Meskipun menghabiskan banyak tenaga, komentar memuaskan banyak dituliskan oleh teman-teman tentang liburan mereka, misalnya:

Khatim Maulina, Annuqayah Madura:
“Yang tak bisa dilupakan dari Liburan Sastra adalah out bond ke Kaliopak dan Bukit Bangkel. Tahu alam sekitar gitu.”

Tiara Pratidhina, SMAN 13 Surabaya:
“Liburan di desa yang masih asri. Asyik dan seru banget bisa ke Kaliopak.”

Izzatin Nisa’, Madrasah Muallimat Rembang:
“Aku mendapat suasana baru yang lain daripada yang lain/refreshing.”

Rizqi Wijanarko, PP Darul Amanah Kendal:
“Pengalaman out bond, tak terlupakan.”

Wahidah Nur K, MAN Wonokromo Yogyakarta:
“Pas mendaki ke Bukit Bangkel juga pas malam perpisahan, tak terlupakan.”

Dwina Azizah SN, SMAN 13 Surabaya:
“Pemandangan yang indah, yang tidak didapatkan di kota.”

Sa’duman Djaya, Annuqayah Madura:
“Tentunya ketika api unggun itu menyenandungkan bahwa kita sebentar lagi akan berpisah. Ini tak bisa terlupakan.”

Selain jalan-jalan, kegiatan fun yang lain adalah nonton film bersama di aula. Memutar film Died Poet Society. Meskipun tidak sekelas dengan bioskop 21, para peserta dan guru pembimbing tampak menikmati hingga pemutaran selesai. “Filmnya bagus,” lagi-lagi Pak Tauhid berkomentar penuh kekaguman.

- Bersastra

Kegiatan ini menitikberatkan pada apresiasi sastra, baik terhadap karya sendiri maupun orang lain. Beberapa kali yang berhasil dilakukan, pertama, memberikan komentar atas karya teman dalam kelompok-kelompok kecil. Baik ketika di Kaliopak maupun di mushala Atap Langit. Thayyibah Ali Sumarto dari MA Puteri An-Nuqayah sempat berbagi kesan, “Senang sekali saya di kelompok tadi. Kakak-kakak yang mahasiswa itu memberikan komentar untuk tulisan saya.”

Kedua, Pentas Puisi di mushala Atap Langit. Para peserta adalah para sastrawan, terbukti secara spontan mereka bisa tampil bergantian penuh percaya diri membacakan puisi dengan sangat baik.

Ketiga, apresiasi teater, wayang, dan film. Para peserta disuguhi pentas teater oleh Komunitas Sangkal, pentas wayang oleh Kajey Habib, dan pemutaran film Died Poet Society. Ketertarikan dan keseriusan mereka menikmati suguhan itu adalah sebuah apresiasi atas karya sastra yang divisualkan.

Di samping itu, termasuk dalam konsep ini adalah belajar tentang sastra dari banyak pengalaman, baik kepada para sastrawan senior, seperti Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Acep Zam Zam Noor, Joni Ariadinata, Evi Idawati, kepada fasilitator yang merupakan para penulis novel Matapena, maupun kepada sesama teman peserta. Juga belajar tentang seluk beluk pentas karya yang divisualkan, seperti drama atau teater.

Tentang kebebasan berekspresi tanpa kungkungan teori ini, Atho’illah dari PP Langitan Tuban menuliskan, “Saya mendapatkan sebuah pengertian bahwa sastrawan harusnya bisa membaca kehidupan dan peka terhadap gejala sosial yang terjadi. Bahwa ternyata sastra itu membebaskan. Bukan kungkungan teori yang membuat jadi mengkerut,” tulisnya dalam lembar evaluasi hari pertama.

Pada dasarnya dalam diri setiap peseta sudah terdapat bara sastra. Oleh karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah contoh dan motivasi. Sehingga, dihadirkanlah motivasi dari para sastrawan senior, para penulis novel Matapena. Juga, lewat media film yang bercerita tentang kebebasan berekspresi dan menjadi diri sendiri, Died Poet Society. Bara sastra dan motivasi adalah awal proses untuk kemudian para peserta menjadi bersemangat untuk berkarya.

- Berkarya

Salah satu respon positif untuk semangat dalam berkarya dituliskan oleh seorang peserta dalam catatan kecilnya, “Ini akan jadi terakhir yang penuh tanda tanya. Aku bertekad, menulis sendiri di rumah dan tak akan pernah peduli siapa pun.” Juga dituliskan oleh Suyud dari Banyuwangi, “Aq akan jadi penulis!”

Beberapa sesi dalam Liburan Sastra memang diformat untuk membiasakan peserta berkarya, baik dalam bentuk tulisan seperti ketika jalan-jalan ke Kaliopak dan di sela-sela petualangan di Bukit Bangkel. Selain menulis puisi dan cerpen, ada juga permainan copy to under di mana peserta diminta meneruskan potongan cerpen menurut gagasan dan imajinasi mereka masing-masing. Permainan ini merangsang lahirnya cerita baru yang variatif dari sumber cerita yang sama, yaitu cerpen “Lukisan Kaligrafi” karya Gus Mus.

Termasuk dalam konsep berkarya adalah merancang pementasan untuk Pentas Budaya pada malam penutupan acara Liburan Sastra yang ternyata berhasil dengan baik. Solechah Delasari, dari SMAN 4 Yogyakarta menuturkan dalam catatan kecilnya bahwa malam penutupan di panggung menjadi momen yang tak terlupakan dari Liburan Sastra di Pesantren. Dia berkesempatan memandu pementasan dari kelompok puteri dengan gaya seperti membaca puisi. Sangat menarik.

Secara terpisah kelompok putera dan puteri bisa mempersembahkan satu bentuk pementasan yang menarik. Masing-masing kelompok menggarap sendiri mulai dari pilihan naskah cerita, tokoh, watak, karakter, musik, juga kostum. Dalam persiapan pementasan ini fasilitator tidak ikut terlibat sama sekali. Karena berangkat dari asumsi bahwa mereka memang sudah menyimpan bara sastra yang tak terbantahkan.

Memang, tiada gading yang tak retak, demikian juga dengan persiapan, perjalanan, dan ending dari kegiatan Liburan Sastra di Pesantren. Apalagi mengingat kegiatan ini adalah kegiatan pertama bagi Komunitas Matapena yang bersifat lebih luas daripada workshop-workshop kepenulisan yang selama ini dilakukan di beberapa rayon pesantren.

Tapi, datangnya banyak apreasiasi atas kegiatan ini, baik dari pendaftaran peserta, donasi, dan pesan kesan dari berbagai pihak bisa dijadikan sebagai ujung rekomendasi bahwa Liburan Sastra di Pesantren cukup menarik dan berjalan dengan baik. “Saya sangat respek dengan kegiatan ini. Panitia dan fasilitatornya gaul sesuai dengan selera kaum muda. Materi bagus, penyampaian materi sangat menyenangkan. Salut untuk anak-anak pesantren yang hebat, kreatif, dan inovatif. Menumbuhkan rasa ingin bersastra yang mendalam dan menambah persaudaraan,” demikian dituliskan Bu Indri, guru pembimbing SMAN 13 Surabaya. Salah satu sekolah dampingan USP Putera Sampoerna Foundation.

Senada dengan Bu Indri, Kang Acep juga menuturkan dalam orasi budayanya, “Acara semacam ini bukan hanya penting, tapi juga harus dilestarikan sebagai bagian dari pesantren. Karena kita tahu banyak sekali sastrawan-sastrawan kita yang dari pesantren. Ada beberapa kawan pengarang, di antaranya Muhammad Amri dan Rahmatullah Ali, mereka menjadikan pesantren sebagai setting yang kental.”

Sementara Evi Idawati secara terpisah mengungkapkan keterkejutannya atas acara ini. “Ini lebih bagus lho daripada acara yang kemarin. Coba aku tahu sebelumnya, anakku taksuruh ikut,” ucapnya penuh kekagumam.

Respon serupa juga banyak dilontarkan oleh teman-teman peserta:

Ahmad Syatori, PP Miftahul Muta’allimin Cirebon:
Jangan sampai di sini kegiatan LSDP, semoga tahun berikutnya bisa ditingkatkan.

Ainun Nahdhiyatin, PP Roudhotut Tholibin Rembang:
Sering-sering aja ngadain pelatihan kayak gini, soalnya banyak banget manfaatnya. Buat suasana yang berbeda agar tambah semangat.

Miftachul Alam, SMAN 19 Surabaya:
“Amazing, bagi pemula seperti saya yang mendapatkan pengalaman berharga tentang sastra.”

Rochmad Hartadi, PP As-Salafiyah Mlangi:
Ada follow upnya kayaknya oke tuh.

Hanik Amaria, SMAN 13 Surabaya:
“Ya, maju terus, dan diadakan lagi yang lebih seru dari ini.”

Ahmad Zainuddin, PP Roudhotut Tholibin:
“Untuk panitia, semoga pelatihan ini bukan yang pertama dan yang terakhir.”

Wachidah Nur K., MAN Wonokromo Yogyakarta:
“Besok adain lagi Mas/Mbak acara kayak gini.”

Khatim Maulina, MA An-Nuqayah Madura:
“Jangan jadikan kegiatan ini sebagai kegiatan yang terakhir kali.”

Atho’illah, PP Langitan Tuban:
“Jangan sampai gak diadain lagi.”

Ragil F.A, Komunitas Matapena rayon Wonosobo:
“Kegiatan ajaib.”

Susi Susanti, MA An-Nuqayah Madura:
“Adain tiap tahun, tambah dikembangkan lebih baik yah! Hanya orang yang separo hati yang mampu mendefinisikan kegiatan ini.”

Sholechah Delasari, SMAN 4 Yogyakarta:
“Subhanallah, ada banyak sekali pengalaman yang luar biasa dahsyat. Thanks panitia. Tahun depan ada lagi gak?”

Dan, Mas Amir Maaruf, Program Officer Madrasah Quality Improvement Program Putera Sampoerna Foundation yang mengikutsertakan teman-teman dari PP Roudhotut Tholibin Rembang dan MA An-Nuqayah Madura, menggarisbawahi dengan, "Well planed and well done," tentang kegiatan Liburan Sastra di Pesantren. Selain bisa menjadi inspirasi mengisi liburan yang asyik dan kreatif.

Beberapa masukan, evaluasi, dan koreksi atas banyak hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Liburan Sastra di Pesantren tahun ini akan menjadi bara untuk pelaksanaan Liburan Sastra di Pesantren pada kesempatan liburan sekolah berikutnya dengan lebih baik dan sempurna lagi.

Terima kasih... Terima kasih...

2 komentar