Wednesday, April 30, 2008

Dari World Book Day 2008

Wednesday, April 30, 2008
Dibanding tahun lalu, untuk tahun ini jumlah pengunjung memang tidak begitu banyak. Seperti dikatakan oleh Bu Soimah dari Komunitas Taman Baca Mutiara Ilmu. “Tempatnya jauh. Kalau yang dulu kan di dekat perkantoran,” jelasnya agak kecewa. Sementara menurut analisa teman yang lain karena lokasi acara berada di pusat niaga. “Ini kan kawasan buat cari mur sama baut,” kritiknya.
Tapi, apa pun itu bisa jadi panitia bermaksud untuk mendekatkan masyarakat dengan Museum Bank Mandiri dan area wisata kota tua yang sangat bersejarah. Bangunan yang menyimpan banyak peninggalan berharga aset perbankan Indonesia itu tampak terawat dan terpelihara dengan baik. Kalau saja tidak karena perhelatan komunitas untuk World Book Day ini, bisa jadi Komunitas Matapena juga butuh mempersiapkan niat yang benar-benar untuk sampai di Museum Bank Mandiri ini.
Beberapa lokasi yang dipakai untuk pemeran adalah lorong depan loket bank mandiri, taman dalam museum, ruang audiovisual untuk pemutaran film, ruang pertemuan di lantai satu, dan ruangan memanjang bersekat yang dijadikan sebagai tempat komunitas dan beranda komunitas. Dalam kesempatan ini Matapena menampilkan Dramatic Reading “Laskar Hizib”, oleh Shachree, Ruslan, dan Isma. Pada Jumat, 25 April 2008 pukul 10.00—12.00, bertempat di beranda komunitas. Isma bertindak sebagai narator, Shachree memerankan tokoh Kiai Hamzah Qotho’, sementara Ruslan sebagai Gus Kapsul yang nakal. Usai dramatic reading, mereka berbagi pengalaman tentang proses kreatif kepenulisan dan Komunitas Matapena.
Selain Komunitas Matapena, WBD 2008 ini juga diramaikan oleh FLP, Hogwarts, Perahu Baca, Komunitas Wayang, Komunitas Layang-Layang, dan komunitas-komunitas yang lain. Meskipun ada satu dua kekurangan, sebenarnya even ini sangat positif untuk membangun jejaring antarkomunitas literasi, juga memberikan “kejutan” gemar membaca dan menulis oleh komunitas-komunitas yang diakui atau tidak sebenarnya berjumlah ribuan di Indonesia ini.

3 komentar

Tuesday, April 29, 2008

Workshop Jurnalistik dan Pentas Teater di Pekalongan

Tuesday, April 29, 2008
Rayon komunitas Matapena baru yang langsung unjuk gigi barangkali hanya Juspek Community yang berbasis di Pekalongan. Juspek Community, begitu teman-teman menyebutnya, kepanjangan dari Jurnalistik Pekalongan Community, adalah follow up dari pelatihan Jurnalistik oleh Komunitas Matapena.

Pelatihan Jurnalistik ini digelar tanggal 28-30 Maret 2008 bekerja sama dengan PMII STAIN Pekalongan dan IPPNU Pekalongan. Diikuti oleh perwakilan SMA dan Madrasah Aliyah di Pekalongan yang berjumlah 30 anak, bertempat di Gedung sekolah YMI Wonopringgo. Dengan fasilitator Zaki Zarung dan Restu RA.

Satu minggu kemudian, bersamaan dengan digelarnya Pemeran Buku Nasional di GOR Pekalongan tanggal 5-10 April 2008, Juspek Community mementaskan naskah teater “Girl Makes Trouble” karya Zaki Zarung gubahan dari novel yang ditulis oleh Restu RA. Meskipun tanpa workshop teater, berkat semangat dan keseriusan mereka untuk berlatih, juga arahan dari Mbah Marijan dan Laila, mereka berhasil membuktikan bahwa remaja memang menyimpan banyak talenta dan potensi. Dengan iringan tabuhan rebana dan zimbe, setiap aktor tampak berusaha untuk total berperan di atas panggung.

Adalah Nida yang berperan sebagai Fina. Dalam sesi berbagi pengalaman usai pentas, ia menuturkan kebanggaan hatinya bisa tampil di atas panggung memerankan tokoh utama dalam novel GMT itu. “Fina itu girl makes trouble. Tapi itu hanya cap, karena sebenarnya dia punya potensi di bidang mading,” jelasnya.

Sementara Laila, mengungkapkan rasa bangganya atas semangat teman-teman Juspek Community. “Lokasi yang jauh tak menyurutkan langkah mereka untuk terus latihan, hingga terpentaskannya teater sederhana ini,” akunya dengan mata berbinar.

0 komentar

Thursday, April 24, 2008

Keriangan dalam Bedah Novel Ning Aisya
dan Jadilah Purnamaku, Ning

Thursday, April 24, 2008
13 April 2008, gegap gempita sastra pesantren bergema di bumi Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Lautan ilmu yang berisikan tinta-tinta mulia sesuai dengan titah KH. Wahab Hasbullah pendiri Bahrul Ulum yang tertuang dalam surat al-Kahfi ayat 109 mulai terbaca. Minggu yang tercatat dalam benak-benak santri jadi saksi tersendiri, kalau sastra pesantren mulai meretas dalam dada mereka. Bedah novel dengan tema “Menguak Keajaiban Pesantren Melalui Pena” agaknya menjadi testimoni dalam perjalanan sastra Indonesia. Trilogi Ning Aisya yang ditulis oleh Camilla Chisni dan Jadilah Purnamaku Ning oleh Khilma Anis, menjadi bukti, pesantren tak hanya berkutat dengan tradisionalisme, lebih dari itu ternyata santri bisa meramaikan kancah dunia modern.


Kedua penulis muda berbakat tersebut merupakan kakak kelas saya di PP. Bahrul Ulum dan menempuh lintas pendidikan di MAN Tambakberas Jombang. Usai acara dibuka oleh sambutan panitia dan pengasuh, bedah novel yang merupakan rangkaian dari acara Mentoring yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul Ulum (Himabu) ini, segera diambil alih oleh saya selaku moderator.

Bedah novel Trilogi Ning Aisya (TNA) dan Jadilah Purnamaku, Ning (JPN) dimulai dengan paparan dari Pembanding, yakni Dra.Nur Faizah, guru bahasa Indonesia di MAN Tambakberas Jombang. Bu Nunung, begitu ia akrab disapa, pertama kali mengupas mengenai JPN. Bu Nunung mengatakan bahwa Khilma dalam kapasitasnya sebagai alumni kelas Bahasa, banyak menggunakan diksi yang sarat metafor. Kedekatan Khilma dengan dunia pewayangan, mengantarkan JPN sebagai novel yang penuh dengan deskripsi pewayangan yang terkadang membuat orang harus mengerutkan dahi. Kritik yang kemudian dilontarkan Bu Nunung pada Khilma adalah mengenai banyaknya kata-kata berbahasa Jawa yang sulit dimengerti karena berhubungan dengan dunia pewayangan. Dan meskipun sudah ada terjemahannya, peletakan terjemahan pada end note, membuat pembaca harus membolak-balik JPN agar mengerti kata-kata tersebut. Selain itu, Bu Nunung juga sedikit dibingungkan oleh penggunaan sudut pandang, ada kalanya menggunakan sudut pandang orang pertama, ada kalanya menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Usai memberikan komentar pada JPN, Bu Nunung mulai membincang TNA. Dalam TNA, Bu Nunung menyatakan kemafhumannya pada bahasa lugas dan kritis yang diusung oleh penulisnya. “Tulisan Ning Mila ini khas anak IPA; lugas,” demikian komentar Bu Nunung. Yang membuat Bu Nunung salut adalah keberanian penulis untuk melakukan kritik dari dalam (internal critic) karena Camilla sendiri merupakan bagian dari pemegang estafet kepesantrenan. Berbeda dengan JPN yang menggunakan alur maju, TNA menggunakan flash back sebagai alurnya. Adapun kritik yang dilontarkan terkait dengan TNA adalah munculnya kesulitan dalam membedakan mana kisah yang terbaca dalam agenda dan mana kisah yang terjadi pada saat pembacaan terhadap agenda terjadi, dan ini adalah hal yang mengganggu keasyikan membaca TNA.

Setelah pembedah memberikan komentar, giliran Khilma menyampaikan sedikit cerita mengenai JPN yang mengetengahkan konflik percintaan yang terbelenggu dalam trah pesantren dan trah kejawen dengan Nawang Wulan sebagai tokoh utamanya. Dengan kalimat-kalimat yang lincah, Khilma banyak mengupas mengenai penulisan dan visi Matapena. Khilma menekankan tentang mudahnya menulis dan asyiknya menjadi penulis.

Tak berselang lama, giliran Mila menyampaikan sekelemit kisah terkait TNA. Mila mulai berbicara dengan berdiri di depan forum dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan atraktif sehingga forum menjadi lebih hidup. Dalam pemaparan singkatnya, ia menekankan bahwa menulis merupakan sebuah proses. Kadang mudah, kadang susah. “AA. Navis mengirimkan 99 cerpen dan kesemuanya ditolak. Sampai akhirnya, Robohnya Surau Kami, menjadi cerpen pertamanya yang diterima publik,” tandasnya. Terkait dengan TNA, penulis yang kini sedang menyelesaikan studi S2 di UIN Jogja ini mengungkapkan bahwa TNA dibangun berdasarkan pembacaan Aisya atas masa lalunya. TNA merupakan suatu karya yang mengajak pembacanya untuk berpetualang menelusuri sudut-sudut pesantren dengan melakukan pembacaan terhadap realitas di dalamnya dengan kritis namun tetap santun.

Usai pemaparan tersebut, giliran peserta melakukan tanya jawab. Pukul 13.00, usai pembagian doorprize, 70 peserta bedah buku memberikan applaus untuk ketiga narasumber. Saya pun tersenyum lega, “Alhamdulillah acara berlangsung sukses.” Tak lama, tiba-tiba pundak saya ditepuk seseorang. Sosok yang sudah saya anggap kakak sendiri itu tersenyum cengengesan, “Tar malem anak-anak Himabu kuajak ke rumah. Ya..tahlil ama dinner gitu. Nah, habis ini Iluk bantu-bantu aku ya?” Kutatap Ning Mila dengan cengiran juga, “Ok, Boss!”

Ditulis oleh Asiyah Lu’lu’ul Husna
Mahasiswi Jurusan BI UNY
Penulis puisi “Keraguanku” yang dimuat di Horison, April 2006

5 komentar

Tuesday, April 22, 2008

Diklat Jurnalistik dan Bedah Novel Ning Aisya
Di PP Al-ISLAM Joresan Mlarak Ponorogo

Tuesday, April 22, 2008
Jum’at, 11 April 2008, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan Mlarak Ponorogo dibuat geerr oleh kedatangan penulis muda yang selalu tampak ceria, Camilla Chisni. Gadis bernama asli Nisa’ul Kamilah Chisni ini sengaja menginjakkan kaki di bumi Ponorogo untuk memenuhi undangan OPMI (istilah lain untuk OSIS) dalam rangka Diklat Pers dan Jurnalistik & Bedah Novel Trilogi “NING AISYA”.

Di hari sebelumnya, Muhammad Adib Rifa’i, jurnalis sekaligus konsultan teknologi informasi di Ponorogo menularkan keahlian jurnalistiknya pada 150-an peserta. Dan Bedah novel ini merupakan penghujung dari rangkaian acara tersebut. Meski sebagai acara penghujung, para peserta justru makin antusias dan semangat hingga acara ini selesai. Dan yang menjadi motivasi terbesar dari peserta adalah adanya bedah novel yang langsung dikupas oleh penulisnya dari Yogyakarta, begitulah tutur Usman Wahyudi selaku panitia.

Tepat pukul 09.00, acara bedah novel dibuka oleh sang moderator Nurdiana santri kelas II Aliyah. Tak lama kemudian, Camilla menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola dan menggairahkan forum dengan berdiri di depan peserta dan berinteraksi langsung dengan mereka. Ia mengawali penuturannya dengan bertanya, “Ayo, yang suka nulis di agenda angkat tangan...” Dan para peserta pun mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Dalam penuturannya, Camilla banyak melempar joke, pertanyaan bahkan bisa tertawa lepas di depan forum. Para peserta pun tampak antusias ketika Mila meminta mereka untuk tunjuk tangan dan mengungkapkan realitas negatif yang terdapat di pesantren. Mila pun menghubungkannya dengan petualangan Ning Aisya yang mencoba untuk mencari paradigma alternatif dalam memaknai sebuah problem di tubuh pesantren.

“Misalnya ada santri yang pacaran trus langsung dikeluarkan dari pondok, apa dia akan menjadi lebih baik?” demikian salah satu pertanyaan yang langsung direspon dengan beragam jawaban. “Dunia kita tidak hanya memiliki dua warna, hitam dan putih. Di sana ada abu-abu, kuning, coklat, dan sebagainya. Maka kenapa kita selalu memandang setiap masalah secara hitam putih?” Mungkin itulah yang menjadi misi Mila. Ia adalah orang yakin bahwa tidak ada kesempurnaan yang instan, semua butuh proses dan perjuangan.

Setelah berhasil membuat peserta Bedah Buku melempar applause berkali-kali, giliran Bu Tutik, guru Bahasa Indonesia yang mendapat jatah untuk menelaah Ning Aisya. Dalam pemaparannya, Bu Tutik memberikan ulasan mengenai urgensi sastra dan pengharapannya terhadap anak didiknya ke depan agar bisa seperti Aisya.

“Ning Aisya memang sedikit nakal, tapi nakalnya adalah nakal dalam rangka pencarian jati diri dan dia bertanggung jawab atas pencariaannya tersebut. Ning Aisya adalah prototipe anak yang selain cerdas, penuh prestasi dan penuh rasa ingin tahu, dia juga orang yang tidak mengandalkan trah kepesantrenan dan bisa maju tanpa embel-embel bapaknya yang seorang kiai.”

Sebelum season tanya jawab dibuka, Camilla memberikan intruksi agar peserta membuat puisi dan berani membacakannya di depan forum. Keantusiasan peserta terlihat pada sesi tanya jawab, mereka saling berebut untuk menyampaikan berbagai pertanyaan dan pendapat mereka, ada yang bertanya mengenai proses kreatif, penggalian ide, penokohan, hingga pada pertanyaan mengenai nilai-nilai apa yang ingin diungkap oleh penulis melalui novel Ning Aisya. Dengan senyum yang khas, Mila menjawab pertanyaan demi pertanyaan sembari menegaskan kembali mengenai pentingnya mencari jati diri dengan mengungkapkan maqolah, “seorang pemuda bukanlah orang yang bangga mengatakan inilah bapakku, tapi yang dengan tegas mengatakan inilah aku!”
Di akhir acara, Mila mempersilakan para santri utuk unjuk kebolehan dalam berpuisi. Para santri yang berebut tersebut tidak dapat tampil semuanya karena yang ditunjuk hanya empat orang dan mereka pun mendapatkan reward berupa novel. “Waw, bagus-bagus ya puisinya!” puji Mila pada peserta yang kontan membuat mereka tersipu.

Dan sebelum rangkaian acara ini ditutup oleh pimpinan pondok Drs. Ali Fikri, M.Pd.I, Camilla memberikan reward kepada Sriyanto sebagai penanya terbaik. Pada dentang ke-11, setelah acara usai para peserta langsung menyerbu penulis guna mendapatkan tanda tangan. Akhirnya, dikarenakan ada jum’atan, panitia mempersilahkan santri putra untuk meminta tanda tangan terlebih dahulu. Lucunya, di tengah-tengah kerubutan santri yang antre tanda tangan. Gadis alumni UIN Malang ini berbisik padaku, “La’, perutku mules. Mo ke kamar mandi. Takut gak keburu.”
“Walah Neng...Aneh-aneh wae!” timpalku sembari mengkode santri putri agar tanda tangannya di asrama saja.

Ah, jum’at yang indah...
Azan pun mulai bertalu menggetarkan naluri ubuddiyah...

Ditulis oleh Lailatu Rohmah, S.Pd.I
Mahasiswi S2 MKPI, pembimbing bagian Bahasa OPMI dan Forum Ilmiah Santri PP.Al Islam Joresan Mlarak Ponorogo.

4 komentar

Monday, April 21, 2008

World Book Day 2008

Monday, April 21, 2008
Undangan buat teman-teman Matapena...
Silakan datang dan kunjungi Pameran Komunitas dalam rangka World Book Day 2008 yang bertempat di Museum Bank Mandiri Jl. Lapangan Stasiun Kota No.1 Jakarta Barat dari tanggal 23--27 April 2008.

Jangan sungkan untuk mampir ke stand Komunitas Matapena no: 36. Dalam perayaan hari buku dunia 2008 ini, Komunitas Matapena juga akan mempersembahkan:

Pentas "Opera Pesantren: Laskar Hizib"
Naskah by Shacree M. Daroini
Aktor: Shacree, Ruslan Abdul Ghofur, dan Isma Kazee
Bertempat di Beranda Komunitas World Book Day 2008
Hari Jum'at, 25 April 2008
Pukul: 10.00--11.00


Selain itu, berikut adalah beberapa acara yang akan digelar...

23 April 2008
10.00-11.00 PEMBUKAAN
11.01-12.30 Lomba Berburu Buku dan Talkshow Kecil-Kecil Punya Karya
12.31-13.00 Putar Film
13.01-15.00 Story Telling dan Lomba Menggambar di Dinding
16.01-17.30 Launching Buku Pena Pundi
17.01-17.30 Putar Film

24 April 2008
10.00-11.00 Naskah-Naskah Kuno Batak: Dorothea Sinaga (Majalah Tapian)
12.01-12.30 Putar Film
13.01-15.00 Bahasa Anak, Bahasa Ibu
16.01-17.00 Acara Komunitas Bambu: Book Launching
17.01-17.30 Putar Film
18.01-19.00 New World After World War II sekaligus Bookshining

25 April 2008
10.00-11.00 Pentas Opera Pesantren: Laskar Hizib oleh Komunitas Matapena
12.01-13.30 Putar Film
14.01-15.30 Penulisan kreatif gagas media dan Bukune
15.01-15.30 Talkshow bersama Happy Salma: "Sastra untuk Anak Muda"
17.01-18.30 Talkshow: Literasi di Kampung Badui
18.31-19.00 Nonton Film Jadul: Batavia 1941
26 April 2008

08.00-10.00 Jakarta Trail bersama Komunitas Historia Indonesia
10.00-12.00 Melihat Lebih Dekat Konsep Room to Read CCFI
12.01-13.00 Workshop Pelajaran Bahasa Sindarin oleh Eorlingas
13.01-14.00 Talkshow Membuat Skenario Film sekaligus bookshining
14.01-15.00 Workshop Komik MKI
15.01-17.00 Talkshow: "Harry Potter dan Relikui Kematian"
17.01-19.00 Talkshow: Nikmatnya dunia RPG, dari pembaca menjadi penulis!"
19.01-20.30 Panggung Literasi: Brass Band Museum Bank Mandiri

27 April 2008
10.00-11.00 Ketoprak Sahabat Wacana Keluarga Peka Lingkungan
11.01-12.00 Workshop Membuat Layang-Layang gelombang 1
12.01-13.00 Lakon Anak Permainan Tradisional Simulasi "Hogwarts Class"
13.01-15.00 Talkshow: "Science Fiction Becoming Science Fact"
15.01-16.00 Simulasi Pertandingan Quidditch Match dari Indo Harry Potter
16.01-16.30 PENUTUPAN dan PENGUMUMAN LOMBA TEBAK BUKU

Jangan sampai dilewatkan....

0 komentar

Tuesday, April 08, 2008

Ngobrol dengan Novelis Malaysia, Ummu Hani

Tuesday, April 08, 2008

Hallo, aku Camilla Chisni. Aku ada sedikit cerita mengenai kedatangan Ummu Hani pada hari senin, 7 April 2008 kemarin....!

Jam di kos-ku sudah menunjukkan pukul 08.45 saat aku tergopoh-gopoh ke Fakultas Adab. Uff, untungnya Ummu Hani Abu Hasan, penulis novel Ladang Hati Mustika dan Mangku Tempurung Nenek berkebangsaan Malaysia ini belum menapakkan kaki di Fakutas Adab. Sembari menunggu, aku berbincang ria dengan beberapa teman dari Sanggar Nun.

Tepat pukul 09.30, Ummu Hani beserta rombongan mulai menapaki lantai Adab. Dekan fakultas Adab; Pak Syihab, yang pagi itu didampingi oleh kritikus sastra, Pak Bahrum, menyampaikan luapan kegembiraannya atas kedatangan Ummu dan rombongan serta pada pihak LKiS yang turut hadir. Tak selang berapa lama, Ummu pun dipersilakan untuk bercerita mengenai novel sekaligus perkembangan dunia penulisan Malaysia.

Penulis berusia 25 tahun ini menjelaskan bahwa di Malaysia, para penulis amatlah dihargai, kesejahteraan mereka pun tercukupi. Bahkan bagi mereka yang masuk dalam penulis Perpustakaan Negara, mendapat kehormatan selayaknya Gubernur. Perhatian Pemerintah Malaysia dalam hal penulisan, baik karya sastra maupun akademik, dibuktikan dengan digulirkannya beberapa kebijakan, semisal: Sejak masih belia, anak-anak yang tampak berbakat di dunia tulis menulis diberi pelatihan gratis oleh pemerintah. Mereka di-drill untuk mampu memperbaiki kualitas tulisan mereka di sebuah Sanggar Penulisan. Selain itu, pemerintah Malaysia juga menetapkan beberapa buku yang wajib dibaca oleh semua lapisan murid, dari SD hingga SMA. Beberapa karya yang pernah diwajibkan oleh pemerintah Malaysia adalah karya-karya Pramudya Ananta Toer.

Pada diskusi yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia oleh Saifullah Kamalie, kandidat doktor dari Universitas Malaya, para peserta diskusi tampak antusias. Diantara jajaran peserta diskusi, ada Abidah El Khaliqy dan Hamdi Salad, dua orang sastrawan terkemuka di Indonesia. Diskusi ini pun semakin lengkap dengan kehadiran Isnainiah, dosen jurusan Dakwah STAIN Surakarta yang merangkap sebagai pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Solo dan kawan-kawan dari Sanggar Nun. Pada diskusi tersebut, muncul beragam pertanyaan maupun statement. Misalnya yang diungkap oleh Abidah, dia mengatakan bahwa sastra di Malaysia cenderung mengapresiasi Islam dalam tataran normatif, belum pada tataran penafsiran holistik. Hal ini mengakibatkan munculnya proteksi-proteksi yang berlebihan terhadap karya sastra. Kondisi yang terjadi di Indonesia amat berbeda dengan hal tersebut. Sastra Indonesia melaju pesat dalam berbagai genre, ideologi maupun segmentasi.

Aku sendiri berusaha menegaskan urgensi sebuah karya sastra lintas negara. Hal ini bisa direalisasikan dalam sebuah antologi cerpen yang menghimpun karya-karya terbaik dari tiga negara berbasis Melayu, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Harapanku, hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia yang meruncing dalam tataran politik praktis bisa diminimalisir melalui forum-forum sastra yang mewadahi dan merespon problematika negeri dalam bentuk karya-karya bermutu.

yang baju biru itu aku lho... lagi nandatangani novelku hehe.


Tak terasa, matahari sudah mencapai takhtanya saat diskusi berakhir. Pada dentang 12.30, dengan dua mobil yang disediakan Fakultas Adab, Ummu beserta rombongan, aku, serta dua kawan dari Sanggar Nun, Yudin dan Hadi, berangkat menuju basecamp Matapena. Sesampainya di sana, kami semua disambut oleh para punggawa Matapena dan LKiS, juga teman-teman Penulis Matapena seperti Mahbub, Sachree M Daroini, Zaki Zarung dan Pijer. Beberapa pertanyaan pun muncul, seperti yang ditanyakan Zaki mengenai proses kreatif novel dan bagaimana proses pembinaan tulis menulis di Malaysia. Mbak Retno mempertanyakan mengenai bagaimana bentuk apresiasi pemerintah terhadap penulis dan karya sastra. Pertanyaan tidak melulu dari kawan-kawan LKiS ke Ummu. Ummu pun banyak bertanya mengenai penerbitan di Indonesia, terutama yang sedang dilakoni kelompok penerbit LKiS.

bareng penulis Matapena, ada aku, Sakri, Pijer, Zaki,
Mahbub juga temen2 LKiS, dan dari Sanggar Nun.


Yup, guyuran hujan dan lecutan petir merendengi keasyikan diskusi yang diakhiri pada pukul 13.40 ini. Usai diskusi, rombongan tidak langsung pulang karena hujan deras. Setelah ditunggu sekian lama dan hujan tak kunjung reda, kami nekat pamitan dan sedikit demi sedikit laju mobil mulai menjauh dari base camp Matapena.

Tak berselang lama, demi meredam nyanyian perut yang sedari pagi belum disuplai, kami mampir ke Ayam Bakar Wong Solo. Uhh, nikmatnya nasi gratisan... ^_^

Jarum jam tepat di angka 4 saat rombongan Malaysia mulai berhenti melempar joke dan menyalami kami satu per satu. Ah, tinggal aku, Yudin, Hadi dan Pak Sopir sekarang...
”Eh, tadi buku yang dikasih Matapena nggak kubawa ya?” Aku baru ingat!
Yudin meringis, ”Kayaknya ketinggalan di LKiS, Mbak!”
Sudah begitu, belum sempat tarik nafas dua kali...
”Hey, ini jalan menuju rel Timoho kan?” Wajahku mendadak pucat.
Temen-teman Sanggar Nun mengiyakan dengan nada khawatir. ”Mang kenapa lagi Mbak?”
Sembari menjinjing tas, aku berkata terburu ke Pak Sopir, ”Turun di depan aja, Pak. Mila harus les Bahasa Inggris nih. Kelupaan! Telat lagi!”
”Hahahahaa....” Kawan-kawan Sanggar Nun malah menertawakan muka pucat dan sifat pelupaku. Uuuh! BY: CAMILLA CHISNI

5 komentar

Sunday, April 06, 2008

“No, I’m not the girl who always makes trouble.”

Sunday, April 06, 2008
Judul: Girl Makes Trouble
Penulis: Restu RA
Tebal: x + 183 hlm
Cetakan I: April 2008


Di mata teman-teman, para guru, juga ibu nyai, Fina adalah “GMT”. Alias Girl Makes Trouble. Gara-gara kebiasaannya nongkrong di kantin saat jam pelajaran berlangsung. Suka ribut sendiri dengan Ucha saat bu nyai tengah mengajar kitab. Kabur tanpa ketahuan pengawas sudah bukan hal baru lagi buatnya. Terakhir, ia ketahuan membawa Hp yang biasa ia pakai untuk curhat dengan Noval, santri putera.

Tapi, tetap saja Fina tak pernah bisa terima dengan label “GMT” itu. “No, I’m not the girl who always makes trouble,” sanggahnya. Dan, itu coba dibuktikannya dengan sebuah kerja keras demi mengharumkan nama besar pesantren dalam ajang lomba Mading di Surabaya. Meskipun palu “dikeluarkan” sudah siap diketok untuknya.

So, apakah Fina berhasil menghapus label “GMT” itu?


0 komentar