Monday, March 31, 2008

Pelatihan Karya Ilmiah Populer
di MA An-Nuqayah Guluk-Guluk Madura

Monday, March 31, 2008
Semua Bermula...

Kali kedua nih buat saya, kembali bertandang ke negeri atas air, alias Madura... Dari halaman LKiS, Mas Hartono dan Joko mengawal keberangkatan saya dan Mahbub. Menuju terminal Solo untuk menjemput Fina dan temannya, Izzah. Sampai Ngawi, kami berhenti untuk makan siang. Dengan menu pecel, soto, dan rawon yang kami tancap habis.

Meskipun sudah lega, toh perjalanan tetap saja tak kunjung sampai. Baru sekitar pukul 12.00an malam kami bersama rombongan Mas Amir tiba di An-Nuqayah. Lalu, Mas Amir mengantar saya, Fina, dan Izzah ke Ndalem Nyi Ulfa. Saat itu, kami hanya punya satu pilihan, segera berebah memejamkan mata. Tidur dengan sukses tanpa iringan cerita dongeng sama sekali.

Semua Berjalan...
Minggu, 30 Maret 2008
Pukul 05.00 aktivitas pagi dimulai. Mandi, ngobrol, makan, ngobrol, dan siap-siap mengikuti acara pembukaan pelatihan. Tidur semalam yang tanpa gangguan, sudah cukup membuat kami tampak segar dan siap berpose di depan kamar. Foto-foto dulu...hihi. *proyek narsis*


Dari Late saya, Fina, dan Izzah menuju tampat pelatihan untuk acara pembukaan. Dimulai pukul 09.00. Dihadiri oleh 30 peserta dari anak-anak MA An-Nuqayah, juga kepala sekolah, guru, dan dari SF, Mar Amir dan Pak Nanang. Usai pembukaan, stadium general yang sedianya akan dihadiri juga oleh seluruh siswi MA, diundur esok siang dan bertempat di aula. Jadi, untuk pagi itu Fina berbagi pengalaman menulisnya hanya dengan peserta pelatihan.

Tapi, sebelum Fina bermain panas-panasan (baca: ngompori) peserta bahwa menulis itu gampang, lebih dulu saya ngobrol soal beberapa kesepakatan dalam pelatihan. Seperti materi, penjadwalan, dan latihan yang harus teman-teman lakukan. Karena mareka sudah lebih dulu membaca jadwal dan usulan materi yang sudah ditempel di pengumuman, so proses kesepakatannya tak perlu waktu lama. ”Jadi, kita penutupan hari Senin sore ya,” saya kembali menegaskan, dan spontan dijawab dengan teriakan kecewa, ”Haaaaa!” Jawaban teriakan juga mereka koorkan, tapi yang ini teriakan berjenis surprise dan merasa tertantang, ketika saya meminta mereka untuk menulis lembar harian selama proses pelatihan. Ini metode untuk membuat mereka selalu menulis, apa pun itu. Tak dibatasi. ”Dan yang tulisannya bagus, akan mendapat satu dari 8 buku yang disediakan Matapena,” lanjutku dan mereka pun kembali berteriak sama-sama, ”Haaaaaa!”

Kesan pertama, sambutan teman-teman sangat antusias. Saya suka itu. Mungkin karena mereka adalah 30 peserta pilihan dari sekian jumlah peserta yang mendaftar. Mereka juga aktif dan penuh semangat. Kondisi ini tentu saja menjadi sumbangan energi buat Fina pada sesi stadium general. Pertanyaan mereka seperti aliran air yang tak usai-usai. Gemlondor...

Demikian juga ketika sebelum istirahat, saya mengajak teman-teman memahami wilayah karya ilmiah populer. Enak sekali proses pemetaannya karena mereka ikut terlibat dengan mereka-reka posisi beberapa jenis tulisan. Suasana jadi lebih hidup dan penuh semangat. File powerpoint saya untuk materi ini, sukses tidak terpakai. Percuma deh lemburku yang semalaman itu.

Mahbub juga sempat mengajak teman-teman bergame ria, sebagai penjajagan awal. Game bermain imajinasi dan menulis terbatas. Hasilnya, penuh variasi dan terbukti mereka memang sudah bisa menulis.

Sebagai contoh, ada yang nulis ini:
Gelap! Baru saja aku melihat kegelapan dan kekosongan. Sesaat pikiranku tenang. Aku bertualang. Pikiranku bertualang tanpa arah berjalan tanpa tahu apa yang akan ia tuju. Disana ada tempat. Luas tak berbatas, tak bertepi. Mungkin hal ini terlalu fiktif untuk sekedar dibayangkan tapi itulah perjalanan yang aku tempuh. Aku tak tahu yang berjalan itu pikiranku, perasaanku, atau entahlah. Tapi akhirnya perjalananku terhenti di terminal tok-tok-tok K’ Mahbub. Kelihatan sekali kalau teman-teman An-Nuqayah memang teope begete.

*****


Usai istirahat zhuhur, saya minta Mahbub untuk memulai lebih dulu dengan sesi Pra Penulisan yaitu tentang ide dan gagasan. Karena saya masih sowan dengan penyair Guluk-Guluk, M. Faizi. Bincang-bincangnya tidak lama, hanya mereview email juga penyerahan katalog penulis dari Guluk-Guluk. Ternyata banyak juga, ada ratusan. Sampai di kelas, Mahbub sudah beraksi dengan keahlian barunya, presentasi dengan laptop dan LCD. Point yang dipowerkan ternyata lumayan banyak. Mulai dari memburu ide yang bagai kilatan cahaya sampai bagaimana ide itu bisa dikembangkan dan dirumuskan. Harusnya sesi metode penelitian sosial (MPS) dibicarakan sebelum istirahat ashar. Tapi, karena Mahbub sepertinya belum selesai memuntahkan semua ilmu idenya, jadi MPS-nya diundur setelah shalat ashar.

Semula saya agak khawatir kalau materi MPS ini hanya akan membuat teman-teman merasa rumit karena terkesan teoretis banget. Apalagi saya juga pakai LCD, jadi terkesan seperti kelas beneran. Bukan model fasilitasi seperti ketika kita bareng-bareng memahami peta karya tulis ilmiah. ”Teman-teman sudah belajar metode penelitian sosial kan?” tanyaku menyelidik. Karena setahuku materi ini menjadi sub pembahasan pelajaran sosiologi. Dan, ternyata benar. So, sesi ini sebenarnya hanya sebatas mengingatkan kembali dengan menekankah bahwa praktik penelitian tidak akan serumit yang dijelaskan oleh teori.


Usai sesi MPS, teman-teman dikelompokkan menjadi 10, dengan 3 orang tiap kelompoknya. Setiap satu kelompok adalah tim kecil yang akan melakukan penelitian sederhana. Cukup dengan menentukan tema/masalah, sumber data, teknik pencarian datanya, dan lalu dituliskan dalam empat jenis penulisan yang ditawarkan: artikel, berita, esai, atau fiksi. Tugas penulisan ini dibebankan pada tiap individu, dan dalam satu kelompok tidak boleh berjenis tulisan sama.

Bakda isya teman-teman kembali berkumpul di kelas, untuk sesi bentuk-bentuk penulisan. Pembagiannya adalah Fina bagian artikel, termasuk jenis penulisan karya ilmiah populer yang biasa dipakai, saya bagian berita, dan Mahbub bagian esai dan fiksi. Tapi, pada praktiknya mengalir saja antara saya, Fina, dan Mahbub. Ditengah-tengahi dengan pertanyaan dan melihat beberapa contoh yang sudah difotokopi. Sebelum forum ditutup, saya ada game olah kata. Jadi teman-teman mendapatkan acakan kertas yang bertuliskan satu kata dengan berbagai kategori. Tugas mereka selanjutnya adalah mengurutkan sesuai dengan kategori. Karena jumlah peserta adalah 30, biar tidak membingungkan satu kategori terdiri atas tiga kata. Hasilnya, tidak ada kesulitan yang berarti. Misalnya, kata ngapain, biarin, bo’ong mereka kelompokkan dalam kategori kata populer dsb.

Selesai game, pertemuan hari pertama pun berakhir, pukul 22.00 malam. Sebelum bubar, kita membagi kelompok untuk out bond esok hari. Sesuai dengan jumlah fasilitator, kelompok pun dibagi menjadi tiga. Setelah itu barulah teman-teman kembali ke kamar, Mahbub ke ruang tamu putera, sementara saya, Fina, dan Izzah ke kompleks Late.

Senin, 31 Maret 2008
Hari kedua, dimulai dengan out bond pukul 05.30. Sempat was-was, teman-teman bisa datang tepat waktu nggak ya? Ternyata, malah Mahbub yang molor. Biarpun sudah saya miscall berkali-kali sesuai dengan permintaannya semalam.

Hampir pukul 06.00 kelompok sudah siap dengan fasilitator masing-masing. Kami berpencar sesuai dengan usulan dan kesepakatan teman-teman peserta. Kelompok Fina menuju perpustakaan, kelompok Mahbub berhenti di halaman gedung STIKA puteri, sementara kelompok saya di emperan gedung sekolah MAK An-Nuqayah.

Pada intinya dalam out bond ini kami ingin mengajak teman-teman membuka mata dan imajinasi bahwa segala sesuatu yang ada di lingkungan itu tidak ada yang biasa-biasa. Semua bisa menjadi luar biasa dengan ditulis dan diteliti. Dari sampah, penjual ketaki, air mati, dan lain-lain.

Pukul 07.30 kita kembali berkumpul di MA An-Nuqayah untuk sedikit mengevaluasi materi secara keseluruhan. Semacam review kecil sebelum teman-teman bekerja di lapangan. Dalam proses selanjutnya, saya, Mahbub, dan Fina tidak berusaha mencampuri pilihan gagasan mereka. Kami membebaskan, termasuk bagaimana mereka bekerja dan berbagi tugas dalam satu tim dan akan dituliskan dalam bentuk apa. Tapi, kami siap berbagi jika memang ada satu dua hal yang ingin disoalkan.

Setelah istirahat makan pagi dan mandi, teman-teman sudah langsung berpencar dengan rencana masing-masing kelompok. Mahbub bersedia menjadi arca yang standby di kelas. Sementara saya, Fina, dan Izzah rencananya mau rental internet di perpus. Tapi, sayang lagi mati lampu. Jadi, selain mencetak beberapa makalah untuk difotokopi, kami jumpa fans kecil-kecilan di perpus. Dan, barulah pada pukul 11.00 ada jumpa fans besar-besaran (baca: stadiun general II bersama Fina) di aula yang diikuti oleh seluruh siswi MA An-Nuqayah.

Acara ini tidak diikuti oleh teman-teman peserta pelatihan, sebagaimana yang diusulkan mereka sebelumnya. Tapi, tiga kelas yang 2 skatnya dibuka itu lumayan sesak juga oleh para siswi yang duduk berjajar saling berhadapan. Seperti layaknya jumpa fans, mereka bertanya-tanya banyak soal proses kreatif kepenulisan Fina, juga model sekolah Qaryah Thayyibah. Di akhir acara saya menggarisbawahi sebuah pertanyaan, ”Gimana mengirimkan novel ke penerbit, susah tidak?” Tentu saja dengan tegas saya jawab, ”Tidak!” Dan, kalau perlu bukti silakan saja dicoba kirim ke Matapena.


Sepanjang pengamatan saya, antusiasme siswi An-Nuqayah ternyata juga muncul dalam sesi dialog dengan Fina. Sampai-sampai siswi kelas II QT ini menoleh ke arah saya dan berbisik pelan, ”Mbak, capek. Mbak Isma aja.” Baru deh, acara siang itu saya akhiri dengan menyisakan tatapan penuh harap, ”Lagi doooong...”

Saya dan Fina kembali ke kelas pelatihan yang sudah kosong. Sebelumnya Mahbub sudah menerima hasil diary dan penugasan kelompok, untuk kemudian supaya kami baca dan evaluasi. Tapi, karena waktunya sudah terpakai untuk stadium general II, sampai hampir setengah satu siang, praktis tidak ada waktu untuk membaca hasil tulisan teman-teman dengan seksama.

Tapi, tetap saya dan teman-teman sedikit memberikan review dan masukan, berangkat dari beberapa tulisan teman-teman yang saya baca. Sebagai sebuah kerja penelitian, paling tidak mereka sudah mengerti tahapan-tahapannya dan penulisannya. Ada yang nyaris sempurna, ada yang masih tertukar antara keinginan menulis soft news menjadi tulisan yang ”kebanyakan” opini. Yang menjadi kejutan adalah beberapa cerpen yang ditulis teman-teman. Bahasa mereka terbaca enak, seperti sudah biasa menulis, dan tentu saja saya tinggal menantang mereka, ”Saya tunggu novel pesantren kalian di meja redaksi.”

Acara selanjutnya adalah bincang follow up, seperti yang biasa kami lakukan dalam beberapa pelatihan. Intinya sih bagaimana teman-teman tidak mandeg sampai pelatihan ini usai. Mandeg menulis dan berproses bersama. Jika ini terjadi, amat sangat disayangkan. Dan, salah satu media pengsolidan adalah lewat komunitas, apa pun bentuk dan kegiatannya.

Semua Berakhir…

Selesai penutupan menjelang Maghrib, saatnya untuk berpamitan. Dua hari ternyata sangat cepat untuk pelatihan yang penuh antusiasme dan kedekatan. Dengan peserta, dengan panitia, dengan pengasuh lewat Mbak ULfa, juga dengan Sampoerna lewat Mas Amir. Sebelum meninggalkan Madura sempat berpamitan dengan M. Faizi kemudian ke rumah Abrori yang menepati janjinya untuk menjamu kami dengan kepiting, udang, dan cumi. Fina yang ngantuk saja tidak mau ketinggalan, apalagi Mahbub yang jarang-jarang makan seafood seperti itu. Nambah booo.

Perjalanan pulang terasa jauh lebih cepat dari perjalanan berangkat. Mungkin karena secara psikologis sudah tak ada tanggungan, seperti kata Mas Amir. Di Pamekasan Mas Hartono sempat mampir ke sebuah toko tempat menjual jajanan khas Madura. Tapi, dengan wajah kalah perang dia balik lagi ke mobil. Kenapa Mas ? tanya Mahbub. Masak jajanan khasnya marning? Kalau itu sih di kampungku ya banyak. Hehe. Ada-ada saja. Tapi, biarpun tanpa oleh-oleh, yang penting kami selamat sampai rumah masing-masing. Mampir ke Qaryah Thayyibah dulu mengantarkan Fina dan Izzah, dan ngobrol banyak soal pendidikan dengan Mas Bahruddin dan Pak Ridhwan. Juga melihat aksi Maia menggarap video klip dangdut pendidikan. Sempat berhenti di Solo dan Salatiga untuk makan, dan beberapa kali berhenti di POM untuk menjaga kesehatan kandung kemih *sok tahu*. Alhamdulillah, puji syukur... semua pun berakhir dengan baik. Semoga.

Yogyakarta, 31 Maret 2008

1 komentar

Monday, March 24, 2008

Matapena Ikutan Kemah Sastra di Solo

Monday, March 24, 2008
Ini kali pertama komunitas Matapena ikutan dalam ajang kemah sastra, 21-23 Maret 2008 di Solo. Sakri, penulis Bola-Bola Santri, Love in Pesantren, dan Santri Tomboy bersama dengan Hilma penulis Jadilah Purnamaku, Ning berbaur untuk berjejaring komunitas dalam acara tersebut.

Lalu, apa oleh-olehnya...
Tentu saja banyak teman, tambah jaringan... pengalaman, pengetahuan, juga foto-foto. Dan, buat teman-teman Jogjakarta... yuuuk ikutan Jambore Literasi Juli besok. Tunggu aja! CU.


0 komentar

Saturday, March 15, 2008

Dari Menyesal, Cilok, Sampai Kearifan
By: Khilma Anis

Saturday, March 15, 2008
Inilah untuk pertama kalinya saya merasa menyesal menulis novel. Sialnya perasaan itu datang di kota kelahiran saya sendiri..hiks.. hiks…

PERJALANAN YANG MEMBUAT SAYA LUNGKRAH
Saya yang kecapekan Road Show di Demak dan semarang bareng Mbak Ismah, menderita demam tinggi malam itu. Di tengah gigil saya, masuk sms Asnawan, presiden mahasiswa STAIN Jember. “Neng Khilma, tanggal 8 besok Stain Jember mau bedah buku ‘Jadilah Purnamaku Ning’ karya njenengan. Bisa kan?” Saya yang sudah lama ngempet pengen pulang karena kangen sama adik saya, Haidar yang sedang lucu-lucunya, langsung menjawab Iya. Tanpa menayakan itu event apa. Bagaimana mekanisme acaranya. Apalagi siapa pesertanya. Inilah kecerobohan yang nantinya membuat saya menyesal.

Jogja–Jember sungguh perjalanan yang melelahkan. Tapi lelah saya langsung hilang karena dini hari itu yang njemput saya di terminal adalah abah saya sendiri. Kala itu beliau gagal sembunyikan rasa bangga pada keberhasilan yang telah diraih puteri pertamanya (makasih Matapena…). Dan, inilah hasil perjalananku 8-10 Maret 2008

WAWANCARA DENGAN RADAR JEMBER
Siangnya, abah mengantar saya ketemu dengan Pak Kun, wartawan Radar Jember yang ternyata telah membuat janji dengan abah saya untuk mewawancarai saya terkait dengan lahirnya novel (di kota saya, memang belum pernah ada penulis muda, apalagi perempuan).

Di dalam mobil abah saya bilang, beliau juga telah dihubungi redaktur Prosalina (radio terbesar kota setempat) untuk forum jumpa penulis pada malam minggunya. Saya sangat berbinar-binar membayangkan on air, terlebih setelah saya mendengar sendiri nama saya disebut-sebut dalam iklan acara radio.

Ternyata abah saya membawa saya ke Cuklu Art Galery. Ketika Pak Kun datang, saya merengek–rengek pada abah saya agar melihat lukisan seharga empat ratus juta. Supaya abah tidak di samping saya ketika saya terlalu bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Kun. Pemilik galeri langsung sigap mendampingi abah saya melihat-lihat. Saya jadi tak malu ketika bilang, “Pak Kun, fotonya yang cakep ya…,” Pak Kun ngakak. Saya takut kalau ribuan eksemplar koran itu mencetak foto saya yang tak cantik (inilah kenapa Mbak Ismah sering bilang pada saya kalau saya ‘banci’ kamera. Saya memang hobi foto, hehe).

NGISI DI PELATIHAN IPNU
Kali ini ibu saya memaksa saya ngisi di IPNU cabang Jember yang sedang adakan Diklatama CPB, semacam pelatihan untuk calon Banser. Saya langsung mengelak. Di samping saya lelah, saya berpikir kalau itu forum pelatihan yang tak ada kaitannya dengan tulis-menulis. Lokasinya saja di gunung. Ibu saya memaksa tapi saya tetap enggan. Saya baru luluh ketika ketua IPPNU, Mbak Nita nelpon, tentu saja setelah dibisiki ibu saya, “Tolong Mbak Khilma ya…kebetulan nanti ada forum peluang bagi pemuda NU, menjadi penulis itu kan juga sebuah peluang….” Saya tak bisa berkata tidak.

Teman-teman IPNU Jember yang jumlahnya hampir 150 itu ternyata antusias. Berkali-kali saya tegaskan pada mereka bahwa Matapena memberi wadah pada para pemula untuk mewujudkan cita-citanya. Saya katakan, saya prihatin dengan minimnya penulis dari kader NU. Kalau semua hanya berjibaku pada tradisionalisme, NU pasti ditinggalkan sejarah.

KOK FOTONYA JELEK BEGINI...
Pagi-pagi adik saya heboh melihat foto saya di halaman depan Radar Jember. Ia baca keras keras judulnya, Khilma Anis, Angkat Poligami Kyai, yang langsung direspon dengan kernyitan dahi abah saya yang sedang browsing internet (novel saya kan memang bukan tentang poligami). Saya langsung jelaskan pada abah saya bahwa mungkin menurut Pak Kun itu judul paling menarik untuk masyarakat Jember yang mayoritas pesantren. Ibu saya sambil memakai mukena untuk shalat dhuha melirik koran itu dan berkata, “Kok fotonya jelek begini.” Saya cuma mesem, kecut, tapi tak berhasil kecewa. Sungguh menyenangkan dibaca banyak orang, kalau biasanya hanya karya saya, ini tentang diri saya. Alhamdulillah.

TRAGEDI DI STAIN JEMBER
Saya menolak diantar abah saya meski panitia berkali-kali minta abah saya datang pada acara itu. Ternyata itu keputusan yang salah. Seharusnya abah saya ada di sana ketika saya di habisi. Dibantai. Di kuliti. Hehe.

Sampai di STAIN Jember, saya kaget karena ternyata bedah buku saya menjadi agenda teratas Pekan Ilmiah yang sedang berlangsung. Sang presiden, Asnawan, ditemeni Pak Dawud redaktur Prosalina langsung menggiring saya ke aula utama yang sudah sesak oleh peserta.

Di forum ternyata saya ditemani Narasumber dan Pembanding. Bu Raudlatul Jannah, Dosen Komunikasi penyiaran yang mantan wartawan harian Nusa, Bali. Pak Abdurrahman, seorang profesor yang juga guru besar bahasa di STAIN. Saya sedikit merinding, bukan karena tak siap, tapi tak habis pikir bahwa novel saya yang pop begitu dibahas oleh orang-orang akademisi. Momennya pekan ilmiah lagi!

Dan benar, setelah sedikit pujian, ada 18 kritik menggigit yang dikatakan Ibu Jannah dan ditampilkan lewat proyektor dengan sangat detil. Lengkap dengan halamannya. Salah satunya bahwa karakter Yasfa pada novel saya terlalu perempuan, hingga kalimat pada subuh yang putih dan anggukan yang cantik yang bagi Bu Jannah rancu. Tuduhan Bu Jannah bahwa saya menganggap pembaca bodoh dengan banyaknya kesamaan diksi, bahwa penggambaran saya kurang perfect padahal saya ini jurnalis kampus. Juga semua kritik yang lain. Ironisnya semua masuk akal.

Saya tak hanya percaya bahwa Bu Jannah membaca novel saya hingga 8 kali, tapi juga sangat yakin! Pak Abdurrahman yang mirip Pramudya Ananta Tour mengkritik novel saya dan perpijak pada karya sastra angkatan 60-an. Beliau menyayangkan ending novel saya yang terlalu tiba-tiba. Menyarankan untuk mengakhiri saja pada doa Nawang. Forum sedikit kacau. Tiba-tiba seorang peserta menegaskan bahwa yang ia butuhkan adalah proses kreatif saya. Bukan kritik atas novel yang belum mereka baca. Bu Jannah meminta klarifikasi saya atas kritik-kritiknya.

Saya seperti diserang sesak napas. Saya pikir saya akan dapat prestise dan pujian seperti di tempat lain, tapi ternyata saya dapat kritik pedas yang belum pernah sekalipun saya terima sebelumnya. Apalagi disampaikan oleh orang yang memang berkompeten pada bidangnya. Saya tahu mereka berdua bermaksud baik untuk laju karier penulisan saya, tapi karena ini yang pertama saya merasa sangat malu dan menyesal terlalu cepat menganggap karya saya maksimal. Padahal kritikus sastra menilainya bukan hanya halaman per halaman, tapi juga kata per kata.

Saya gagal menangis ketika di tengah klarifikasi atas krirtik itu orang terdekat saya mengirimkan sms, “Itu biasa. Nabi Muhammad saja juga dihabisi di daerahnya sendiri. Tetap semangat yaa..”

Ternyata menjadi penulis bukan saja harus lihai berbicara, tapi juga harus punya mental baja. Dan tahan terhadap segala macam rasa sakit.

ON AIR di PROSALINA
“Mbak Khilma kan dari pesantren, menulisnya kan juga tentang Pesantren. Saya minta dalil Qur’an atau hadits yang menyebutkan bahwa menulis novel itu adalah sebuah anjuran.” Saya langsung tergagap. Jika bukan on-air, saya tentu dapat jawaban yang pasti dari abah saya. Dengan pertimbangan singkat yang matang, saya jelaskan bahwa tugas karya sastra bukanlah berdakwah seperti khotbah Jum’at. Tapi menggetarkan jiwa. Saya sebut dalil, “Sanuqri’uka fala tansa illa masya Allah,” sekadar bertanggung jawab bahwa saya ini sepuluh tahun di pesantren (sepertinya Matapena memang harus adakan kursus dalil-dalil terkait dengan penulisan).

Presenter dan pemandu acara saya, Mbak Rini dan Mas dawud, dengan gaya yang ringan namun profesional membuat saya rileks. On air dan tanya jawab berlangsung dua jam tanpa terasa. Selain pertanyaan tadi, semua terjawab dengan enteng..

Di PMII CABANG JEMBER; kata mereka, seperti Mama Mia
Ternyata keluar dari ruang siaran, saya belum bisa istirahat, di samping abah saya, pengurus PMII cabang Jember meminta saya mampir ke kantor cabang. Diskusi di sana berjalan lancar dan dialektis. Saya sendiri tak menyangka peserta sebanyak itu. Banyak di antara mereka yang sungguh ingin jadi penulis. Saya sangat mendukung itu dengan meyakinkan bahwa Matapena pasti membantu siapa pun yang punya kemauan. Biar PMII tak hanya kritis anarkhis. Tapi juga kritis analitis.

Yang membuat saya diintrik seperti mama mia adalah karena saya diantar abah ibu saya, waktu itu sudah jam 12 malem. Jadi Wajar doong.

DI PESANTREN DAN MTS AL-AMIN

Ternyata perjuangan saya belum berahir. Paginya saya harus ngisi di Pesantren Al-Amien Ambulu tempat saya selama tiga tahun menimba ilmu ketika masih MTs. Tak ada yang aneh di sana, sama seperti Road Show di BlokAgung Banyuwangi, di Tambakberas dan di Demak; rasa heran, kekaguman, tanda tangan, dsb. Jika ada yang spesial adalah bahwa guru-guru membelikan saya cilok. Makanan kesukaan saya ketika saya masih santri baru gede dulu. Ini membuat saya tersenyum hingga relung hati.

Seharusnya saya tak menyesal. Toh Jadilah Purnamaku, Ning, dan Matapena sudah membawa saya ke mana-mana. Saya hanya harus menjadi penulis yang tak malas mempelajari semua hal. Karena menjadi penulis adalah titah dari Tuhan.

Kota saya membuat saya sadar, saya harus memberikan pemikiran, gagasan, harapan dan perasaan saya yang terbaik bagi pembaca yang jarang saya temui. Dan buat Bu Jannah, semuanya adalah proses pembelajaran yang berharga. Klarifikasi atas kritik-kritiknya akan ada di novel saya yang kedua. Matur Nuwun.

4 komentar

Thursday, March 13, 2008

DKJ Buka Sayembara Menulis Novel 2008

Thursday, March 13, 2008
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menggelar “Sayembara Menulis Novel” untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia. Lewat sayembara tahunan ini, DKJ berharap akan lahir novel-novel terbaik.

Tahun lalu, sayembara dimenangkan oleh Mashuri (31), alumni Pondok Pesantren Salafiyah Wanar, Lamongan, dengan karya berjudul “Hubbu” yang berkisah tentang perjalanan seorang pemuda desa ke tampat yang sangat jauh di sana, jauh dari tradisi keluarganya, jauh dari pesantren.

Pada sayembara kali ini panitia menetapkan batas akhir pengiriman naskah hingga 31 Agustus 2008 cap pos atau diantar langsung ke sekretariat panitia “Sayembara Menulis Novel DKJ 2008” Jl. Cikini Raya 73, Jakarta 10330.

Dalam rilis yang dikirimkan ke NU Online, panitia menjamin tidak akan memberikan hak istimewa pada pengarang sudah punya nama, namun juga para pengarang pemula yang memperlihatkan kebaruan dalam bentuk dan isi.

Peserta adalah warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti identitas lainnya. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah dengan tema bebas dan ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik.

Nakah dengan panjang minimal 100 halaman A4, 1,5 spasi, Times New Roman 12, dan dikirim rangkap lima, disyaratkan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, dan tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.

Para Pemenang akan diumumkan dalam "Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2008" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada akhir Desember 2008 nanti. Akan ada tiga pemenang yang masing-masing mendapatkan hadiah Rp 20.000.000, Rp 15.000.000, dan Rp 12.500.000. (nam)

Sumber: NU Online

0 komentar

Monday, March 10, 2008

Catatan dari PP. Al-Kamal Kunir Blitar

Monday, March 10, 2008
Prolog

Alhamdu, aku dan Sachree sampai di blitar pukul 06.00 pagi. Semula kami akan langsung ke pondok al-Kamal, namun kenyataan berbicara lain; teman Sachree mengirimkan sms bahwa ia akan menjemput kami. Kami pun menunggunya. Tak lama kemudian, datanglah ia dengan Mio-nya.
“Jare arep nggowo mobil? Lha kancaku ini mau dibonceng di mana?” Sachree menodong janji temannya, yang kemudian kuketahui bernama Dul, alumni Akidah Filsafat Sukijo.
“Lagi diservis! Bisa bertiga, kok! Ayo!”
Kami cenglu hingga sampai di rumahnya, di kecamatan Udanawu yang berjarak 10-an kilometer.
Di Udanawu, kami beristirahat secukupnya. Mandi dan berakrab-akrab ria dengan empunya rumah. Bercerita tentang pembuatan film indie yang sering kali digarapnya. Berbicara tentang ternak lele yang sedang dirintisnya. Dan bernostalgia tentang Kampus Putih Sukijo.
“Aku murtaddin Tafsir Hadits,” kataku ketika ia bertanya di fakultas apa aku dulu. “Juga murtaddin Es-Ka.”
Menjelang zhuhur, kami cabut ke al-Kamal. Dengan mobil pick-up terbuka yang biasa dia gunakan untuk mengangkut genteng, kami meluncur.
“Makasih, Dul!” pekik kami ketika turun di depan ndalem Gus Luthfi, al-Kamal. Dan sekali lirik, kami melihat mobil merah itu duduk tenang di depan ndalem. Tahulah kami bahwa kang Ipenk telah terlebih dahulu sampai.

***

Acara Workshop Hari I, Sabtu 1 Maret 08

Pukul 14.30, barulah santri-santri kumpul di aula.
“Ayo, kang…” Gus Luthfi memberi aba-aba.
“Maklum, Mas. Mereka baru pulang tadi pukul 13.30. Lalu istirahat dan makan. Jadi, baru siap sekarang…” tekan kang Shofaul-Muttaqin, pengurus Markaz yang nantinya senantiasa mendampingi kami.

14.50, acara dimulai. Peserta ternyata tidak hanya dari PP al-Kamal saja, tetapi juga dari PP Darul Huda yang berada di dekatnya. Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci, lalu disusul dengan sambutan oleh Gus Luthfi, sambutan dari rombongan matapena—diwakili Sachree, dan ditutup dengan doa oleh Gus Luthfi.
Yang membuat kami lumayan terkesan, MC-nya pakai bahasa arab terus. Untung kami pernah mondok—meski nggak bisa ngomong arab, tapi paham kalau ada yang ngomong arab, meski sedikit-sedikit.

Sesudah seremonial selesai, kami tawarkan jadwal yang ada kepada forum. Tapi, sebagaimana di PP yang lain, di al-Kamal ini para santri juga ‘pasrah bongkoán’dan manut dengan jadwal. Hampir tidak ada reaksi—kecuali bengong—ketika kami menawarkan apakah jadwal perlu diubah atau tetap.
“Biar nanti penyesuaian-penyesuaian menyusul aja…” bisik Sachree di telingaku. Karena waktu semakin sore, kami langsung masuk ke forum I, tentang hal-hal sekitar tulisan. Aku kebagian nerangin masalah cerpen dan novel dan karakteristiknya. Kemudian Sachree menambahkan hal-hal yang belum aku singgung, khususnya tentang gambaran besar peradaban menulis yang kemudian dikerucutkan kepada novel, cerpen, resensi, dan artikel.

Beberapa menit sebelum forum ditutup, kami memberikan tugas untuk menulis diari. Dengan maksud demi kontinuitas tradisi menulis diary, kami semula mengharuskan agar mereka menulis dalam satu buku khusus untuk diary, namun Kang Shofa mengatakan bahwa buku diary dilarang keberadaannya di PP al-Kamal. Jadi, kami harus sedikit bernegosiasi:
“Bagaimana kalau diary di lembaran aja. Nanti langsung kami bawa ke Jogja.”
“Oh, kalau itu boleh.”
Pada pukul 16.30, acara diakhiri untuk istirahat, makan, mandi, dan shalat.

***

Setelah isya, tepatnya pada pukul 20.00, acara dilanjutkan pada sessi II, tentang ide, sumber-sumber ide, sense of idea, penulisan ide, dan pengembangan ide. Selain disuguhi materi, peserta juga diberi tugas untuk mencari ide. Lalu kertas mereka dikumpulkan, dan dibagikan lagi secara acak. Pihak yang menerima ‘ide’ orang lain itu bertugas mengembangkannya menjadi karangan (cerpen).

Pukul 22.45, acara sessi II ini selesai. Sebelum kami tutup, kami memberi kesempatan kepada forum tentang outbond besok pagi. Mereka sepakat dilaksanakan bakda shubuh. Lalu kami memberi penugasan (PR) agar peserta membuat cerpen.
“Cerpen kalian akan kami bawa ke Jogja…. minimal 3 halaman.”
“Ha? Banyak banget??!!”
Ternyata, mereka hanya salah persepsi. 3 halaman dikiranya tiga lembar kertas (atau 6 halaman bolak balik).
“Tiga muka… masak banyak?”
“Oo...”

***

Acara Workshop Hari II, Minggu 2 Maret 08

Pukul 05.00 atau 05.20 pagi, kami bangun. Itu pun digugah kang Ipenk (makasih kang). Tanpa perlu mandi dahulu, kami segera ke aula di mana anak-anak sudah menunggu. Kang Shofa menyambut,
“Mungkin di Mts saja, Kang. Kalau out-bond ke sawah kayaknya terlalu jauh.”
“Ya gak apa-apa. Yang penting waktunya cukup.”

Dan kami berangkat ke komplek sekolahan al-Kamal, yang letaknya hanya bersebelahan dengan komplek pesantren. Konon, sekolahan yang terdiri dari MTs, MAN ini dulunya milik al-Kamal. Tapi sesudah dinegerikan, Depag-lah yang menguasai. Entahlah.
Acara outbond ini, meski hanya sekitar setengah jam atau paling lama 45 menit, namun hamdulillah dapat dimanfaatkan secara optimal. Acara pertama, adalah observasi ide. Peserta dibebaskan bertebaran ke segala penjuru arah untuk mengamati apapun yang ada dan menari mereka. Lalu mereka dipersilakan menuliskannya. Acara kedua adalah game sinonim. Acara ini cukup ramai karena peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang saling ‘bermusuhan’, dan berlomba-lomba untuk mematikan ‘lawan’ dengan menuliskan kata yang sinonimnya sulit.
Sesudah itu (sekitar pukul 06.30), kami kembali ke pondok. Untuk istirahat dan ngaji minggu pagi.

***

Pukul 08.30 acara baru dapat dilanjutkan. Yakni sessie III, Mengenal Struktur Cerita. Setelah mengenalkan struktur cerita dengan metode ceramah-dialog, sessie ini diisi juga dengan game sebagai pendalaman materi sekaligus praktek dari teori yang ada. Masing-masing peserta diberi satu lembar kertas lalu disuruh menuliskan nama tokoh. Lalu kertas digeser, peserta menuliskan karakter tokoh. Kertas digeser, peserta menuliskan setting tempat. Kertas digeser, peserta menuliskan gambaran detail tentang setting tempat tersebut. Kertas digeser, peserta menuliskan setting waktu. Kertas digeser, dan peserta menuliskan gambaran detail tentang setting waktu tersebut. Kemudian peserta disuruh memadukan unsur-unsur yang ada dalam kertas (tokoh, karakter, setting tempat dan waktu), menjalinnya sehingga menjadi sebuah cerpen.

Pada sela-sela membikin cerpen itu, ada kabar dari pengurus Markaz Pesantren bahwa acara workhop akan dihentikan pukul 17.00 mengingat malam harinya bakda maghrib pengajian tidak libur. Kami tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya mengangguk saja.

Pukul 12.00, forum ditutup. Kami tugaskan mereka untuk meneruskan PR cerpen-nya dan menyelesaikannya sebelum pukul 5 sore.
“Untuk buku diary, nggak usah terlalu dikejar. Yang penting selesaikan cerpennya yang akan kami bawa ke Jogja. Dan lagi, cerpen anda itu berfungsi sebagai ‘biaya’ untuk mendapatkan pin cantik matapena.”
“Horeee!!!”

***

Bakda dhuhur, sekitar pukul 13.30, acara baru dapat dilanjutkan. Kami melakukan evaluasi terhadap 2 cerpen dadakan mereka. Kami membacanya di depan mereka, lalu merangsang mereka agar mengkritik cerpen teman mereka sendiri. Mulanya mereka takut-takut-malu, namun kemudian pada berani juga. Nah, gitu… baru namanya santri…

Sesudah evaluasi cerpen, mengingat waktu yang sudah mepet, kami langsung masuk ke problem solving. Kami membagi kelompok menjadi tiga. Putri yang jumlahnya terlalu besar kami bagi jadi dua—masing-masing sekitar 15 anak—sedangkan putera yang cuman beberapa anak tidak kami bagi.
“Kami tidak bisa mendampingi kalian seterusnya. Karena itu, silakan bermusyawarah dan berdiskusi tentang kesulitan-kesulitan dalam menulis. Nanti seterusnya, sesudah workshop ini, kalianlah yang akan memecahkan masalah kalian sendiri; maka dari itu, manfaatkan komunitas kalian….untuk maju bersama.”
Mulanya, mereka canggung juga. Tapi diskusi berjalan juga kemudian. Kami sebagai fasilitator hanya menarik permasalahan-permasalahan yang terkumpul dan sudah diperbincangkan, lalu menggarisbawahinya dengan sedikit komentar dan bercerita tentang pengalaman kami; atau membahas panjang lebar permasalahan yang belum terselesaiakan.
Sebelum acara penutupan diupacarakan, para peserta dipanggil satu persatu. Mereka harus menyerahkan cerpennya dan menukarnya dengan pin matapena. Yah, seperti wisuda itu lah…
Pukul 16.45 acara seremonial penutupan dimulai. Gus Lutfi memberikan sambutan. Matapena diwakili Mahbub memberikan sambutan. Dan terakhir, acara ditutup dengan doa bersama oleh Gus Lutfi.

Wednesday, March 05, 2008
Fasilitator Workshop,


Mahbub Dje
Sachree

2 komentar

Wednesday, March 05, 2008

Catatan dari Bilik Santri

Wednesday, March 05, 2008

Judul: Menjadi Bidadari
Penulis: FKJS Pesantren Langitan
Tebal: vi + 192 halaman
Cetakan 1: Maret 2008


Aku dan ayah bangga dengan Lia. Ia tak hanya cantik dan cerdas, tapi juga rajin beribadah. Setiap sepertiga malam, ia membangunkan aku dan ayah untuk tahajud, sementara ia sendiri telah usai menunaikannya. Lia juga sosok yang bertekad baja. Bila punya keinginan, apa pun akan ia lakukan. Tak bisa dicegah. Seperti roket, sekali menyala ia akan terus terbang hingga satelit sukses mengorbit. She must go on! Tapi, suatu ketika aku dan ayah dibuatnya berselimut misteri. Lia menyampaikan sesuatu yang fantastik dan khayali bagi kami. “Ayah, Lia pingin jadi bidadari …,” ucapnya lembut tapi serius.

Ayah tak langsung menjawab. Sepertiku, ayah pasti sedang coba mencerna ucapannya. Aku dan ayah memang tak perlu memaksa Lia untuk mengungkap segala sirri yang ia cipta. Tanpa diminta, satu waktu ia pasti menyingkap tirai, bercerita panjang, mengungkap sejarah perjalanan sebuah asa. Menjadi bidadari.

Seperti Menjadi Bidadari, ke-13 cerita pendek dalam buku ini juga siap menuturkan misteri lain dari bilik-bilik santri.

3 komentar

Ada Cinta dalam Hadrah

Judul: Hadrah Cinta
Penulis: Pijer Sri Laswiji
Tebal: viii + 218 halaman
Cetakan I: Januari 2008


Fika, Dian, Nita, dan Dila adalah empat sekawan pentolan An-Nadwa; kelompok kasidah cewek-cewek WISDOM atau Wisma Dua Al-Ma’arif yang memainkan alat musik ‘hadrah’. Mereka selalu kompak, bahkan dengan dua ibu-ibu tukang masak di pesantren tempat mereka tinggal.

Tapi, tidak dengan Ustadz Zarkasi. Kepala sekolah yang justru menentang An-Nadwa. Jangankan memberi peluang untuk rekaman seperti yang dijanjikan oleh Ustadz Zada, memberi izin untuk pentas saja tidak. Malah melabeli An-Nadwa dengan sebutan: grup musik ecek-ecek.

Satu hal yang harus dilakukan Fika mungkin menunjukkan pada ustadznya itu kalau dalam hadrah ada kekuatan. Ada sapaan yang bukan sebatas ucapan. Ada sikap yang bukan cuma perbuatan. Satu kekuatan yang ternyata bisa membuat WISDOM menjadi harum di tengah lingkungan kampung yang selama ini belum bersahabat. Dan, itu adalah kekuatan hadrah cinta.

0 komentar