Tuesday, June 26, 2007

ROADSHOW MATAPENA
KE PESANTREN WONOSOBO
Selasa-Rabu, 19-20 Juni 2007

Tuesday, June 26, 2007


Oleh Pijer Sri Laswiji

Selasa pagi tanggal 19 Juni 2007, tepatnya jam 05.30, setelah shalat shubuh sebelum matahari terbit, sebuah mobil box yang dikemudikan Pak Affandi berhenti di depan masjid Al-Faruq PP Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.

"Itu apa ya mobilnya?" gumamku sembari berjalan mendekati mobil. "Pak Pandi ya?" tanyanya kemudian, karena masih agak gelap sehingga mata tidak bisa melihat dengan jelas.
"Sudah siap, Mbak Pijer?" sahut yang ditanya.
"O iya, Pak. Bentar, aku ta'ijin dan pamitan dulu sama teman-teman."

Begitulah, perjalanan roadshow ke Wonosobo dimulai. Aku, ditemani Pak Affandi, bagian pemasaran LKiS berangkat dari Yogyakarta jam 05.30 dengan mobil box yang dipenuhi kardus buku-buku LKiS. Perjalanan pagi yang sejuk menyusuri jalanan pegunungan yang berkelok-kelok dan naik turun namun penuh pemandangan hijau. Dua setengah jam kemudian tibalah di desa Munggang, kecamatan Mojotengah Wonosobo.

"Uli, kita sudah sampai nih, sekarang di depan Masjid Munggang. Kamu sini dong, aku nggak tahu rumahmu!" seruku via handphone.
Beberapa detik kemudian, muncullah Uli Maftukhah, pengarang novel Blok I dengan wajah hingar bingar menyambut. Ia segera mengajak aku dan Pak Pandi singgah di rumahnya.

Aku dan Pak Pandi bisa beristirahat agak lama di rumah Uli, karena ternyata acara bedah novel Blok I dimulai jam 10.00 WIB. Bahkan, kami sempat kenalan dan ngobrol dulu dengan beberapa panitia acara Bedah Novel tersebut yang ternyata teman-teman "gengnya" Uli. Kalau tidak salah namanya "Laskar Oneng"! Ada Fariq, Mudrikah, Jo, dan Erna. Mereka adalah para supporter Uli sehingga sukses menyelesaikan novel Blok I.


BEDAH NOVEL "BLOK I" DI SMU TAKHASUS PP AL-ASY'ARIYAH, KALIBEBER, MOJOTENGAH WONOSOBO
Selasa, 19 Juni 2007


Matahari belum juga menampakkan wajah kuningnya karena mendung begitu rata meliputi langit Wonosobo. Bahkan diiringi rintik gerimis, mobil box yang ditumpangi aku, Uli dan Pak Pandi memasuki kawasan PP Al-Asy'ariyah. Sepertinya, acaranya lumayan besar, karena dari luar tampak ramai para siswa berseragam SMU dan terdengar lantunan lagu-lagu hadrah menyambut kedatangan.

Dan benar, acara yang dilaksanakan di aula yang luas itu terkesan resmi dan penuh persiapan. Tampak Background di tengah-tengah aula bertuliskan, "BEDAH NOVEL BLOK I, REVITALISASI RELIGIUSITAS DALAM REKONSTRUKSI MORAL DAN NALAR REMAJA. PENYELENGGARA: PMII KOMISARIAT AHIMSA UNSIQ & IPNU-IPPNU KOMISARIAT HASYIM ASY'ARI"

"Wuih, serius nih, temanya aja ada 'sasi-sasi'nya!" batinku sambil berpikir memaknai arti tema yang tertulis di background tersebut. Apalagi ketika Bapak Kepala Sekolah dan beberapa Dewan Guru rawuh dan duduk di kursi paling depan. Sepertinya Novel "Blok I"nya Uli memang mendapat respon yang bagus dari almamater SMU-nya.

"Novel Blok I ini meskipun seperti catatan harian biasa tetapi kita bisa membaca dan belajar dari kisah-kisahnya. Bagaimana cara mencari ilmu seorang santri dan sebagainya," kata pak Kepala Sekolah dalam sambutannya. Dia juga berharap kelak dari santri-santri PP Al-Asy'ariyah juga ada penulis baru lagi menyusul Uli.

Setelah seremonial, Bedah Novel yang dipandu oleh seorang moderator itu dimulai. Uli Maftukhah sebagai penulis didampingi Mas Fasikhul Ihsan sebagai pembahas. Uli menyampaikan sekilas tentang novel Blok I, tentang tokoh, setting, tema dan pesan yang ingin disampaikan dalam tulisannya.

"Orang mengira Renata dalam novel Blok I ini adalah penjelmaan dari saya," ucapnya di tengah-tengah presentasinya. Tapi menurutnya, meskipun dia memang pernah mondok dan nyantri di Blok I Pondok Pesantren Al-Asy'ariyah, dia bukan Renata. Uli hanya menuliskan beberapa pengalamannya tinggal di pesantren yang diramu dengan khayalannya tentang kehidupan Renata.

"Banyak yang bisa digali dari Pesantren dan diceritakan lewat novel sehingga hampir seperti realita," kata Mas Ihsan saat menyampaikan komentarnya terhadap novel Blok I. Sebagai pembahas, ia juga memberikan wawasan-wawasan tentang pesantren dan sastra santri.

Acara semakin semarak ketika dibuka forum dialog dengan dua termin pertanyaan. Pada termin pertama dan kedua, sebenarnya banyak peserta yang ingin menyampaikan pertanyaan. Tetapi karena hanya ada 5 novel Matapena sebagai doorprize, yaitu 3 novel Blok I karya Uli dan 2 novel Kidung Cinta Puisi Pegon karyaku, akhirnya moderator harus membatasi dan hanya memilih 5 orang penanya.

Mereka cukup antusias menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada Uli dan Mas Ihsan. Pertanyaan seputar novel Blok I, pengalaman Uli yang menarik dalam novel, bagaimana meramu budaya pesantren dengan budaya populer sehingga menjadi sebuah novel dan bagaimana sistem di pesantren ketika menyikapi perkembangan teknologi.

Bedah Novel selesai jam 13.00 WIB. Sebelum acara ditutup, aku maju ke mimbar untuk menyosialisasikan Matapena dan Komunitas Matapena. Dan ternyata, responnya cukup bagus. Beberapa peserta sudah ada yang mendaftar saat prosesi 'fans minta tanda tangan penulis'. Untuk selanjutnya, aku mengalihkan tugas pengumpulan data pendaftar anggota Komunitas Matapena itu kepada Uli.


MUHIBAH KE PP AL-MUBAROK,
MANGGISAN, MOJOTENGAH WONOSOBO.


Dari SMU Takhasus, rombongan kembali ke rumah Uli untuk beristirahat dan makan siang sambil menunggu jeda waktu untuk menuju PP Al-Mubarok Manggisan. Saat jam menunjukkan pukul 15.00, aku dan Uli yang baru bangun dari qoilulah (tidur siang) segera bersiap-siap karena pukul 16.00 harus sudah sampai di PP Al-Mubarok.

Aduh, hari memang lagi sejuk dan dingin, apalagi diiringi rintik hujan. Mobil box yang dikemudikan Pak Affandi sempat bolak-balik di jalan karena lupa pertigaan mana yang dilewati untuk menuju ke PP Al-Mubarok. Namun setelah akhirnya Uli memutuskan untuk turun dari mobil sejenak dan bertanya, terbukalah petunjuk jalan menuju tempat tujuan.

Nah, akhirnya rombongan sampai juga ke PP Al-Mubarok dengan masjid, asrama pesantren, dan menaranya yang tinggi. Suara riuh gaduh, sedikit cuap-cuap dan 'suit-suit' terdengar dari asrama santri putera yang berada di bagian samping depan ndalem Pak Kiai ketika Pak Pandi yang diiringi Uli dan aku menuju ndalem untuk 'kulonuwun'. Rombongan disambut oleh Bapak K.H. Nur Hidayat dan Ibu Nyai di ruang tamu ndalem. Pak Affandi segera 'matur' tentang maksud kedatangan rombongan Matapena, meskipun sebelumnya, pihak Matapena sudah menghubungi dan konfirmasi tentang kunjungan dan muhibbah tersebut.

Awalnya, mental Uli dan aku hampir surut ketika melihat roman muka dan tanggapan pak kiai. Ada semacam 'tawar-menawar' sejenak tentang acara tersebut. Bapak K.H. Nur Hidayat mengatakan bahwa dia dan santri-santrinya lebih suka buku-buku ilmiah keislaman, bukan 'novel'. Karena menurutnya 'novel' itu hanya seperti 'catatan harian'. Dia juga memberikan gambaran tentang santri-santrinya sehingga merasa kurang yakin jika sore itu acaranya bisa diikuti sebagian besar santrinya, terutama putra.

"Pembicaranya dua gadis yang masih 'kinyis-kinyis' ini?" ucap Pak Kiyai sambil tertawa. "Wah, kalau misalnya lebih tua sedikit begitu saya berani membawa mereka ke hadapan santri-santri saya," lanjutnya.

Begitulah pak kiai memberikan alasan. Karena di pesantren tersebut, intensitas bertemunya santri putra dan santri putri memang sangat terbatas. Sehingga dikhawatirkan dalam acara nanti justru tidak serius, tapi malah jadi 'gojlogan'. Wah, sebenarnya aku tidak gentar dengan penggambaran tersebut, tapi menurut Pak Affandi mereka harus menghormati 'tradisi lokal' pesantren. Akhirnya, acara dilaksanakan di pondok putri dan hanya diikuti para santri putri yang berjumlah kurang lebih 50 orang.

Di ruangan yang kira-kira berukuran 5x6 meter itu, para santri putri sudah duduk bersimpuh. Mereka begitu 'anteng' dan khusyuk saat Pak K.H Nur Hidayat memberikan pengantar sejenak. Wajah-wajah mereka tertunduk, tidak ada yang berani mengangkat wajah. Setelah pak kiai "miyos" dari ruangan, aku dan Uli dipersilahkan untuk maju dan memulai acara.

Aku yang mendapat kesempatan pertama untuk berbicara, menyampaikan salam kenal dari Matapena. Memperkenalkan novel-novel pop pesantren sebagai genre baru dan bacaan santri serta memprovokasi mereka untuk mengembangkan sastra pesantren. Selanjutnya, giliran Uli yang berbicara, ia beruasaha membangkitkan semangat santri dalam dunia tulis-menulis. Uli juga sedikit membagi pengalaman menulisnya pada Novel Blok I.

Suasana agak sedikit kaku. "Diniyah banget!" batinku ketika menyaksikan para santri yang semuanya membawa buku tulis dan bolpen, mencatat materi yang diberikan pembicara seperti mencatat pelajaran. "spaneng". Bahkan ketika aku menjawab pertanyaan Opi, salah satu santri yang menanyakan bagaimana cara memulai dan menyelesaikan novel, mereka minta didekte ulang tentang '5 W 1 H".

Maklum, mungkin acara seperti itu masih jarang dilakukan di pesantren. Santri kelihatan masih pasif. Saat dibuka termin dialog, mereka masih malu-malu untuk bertanya. Tapi sebenarnya, bakat menulis mereka justru bisa dikembangkan dari hal tersebut. Mencatat pelajaran. Selain Opi, Arini juga bertanya tentang bagaimana novel yang baik, dan dijawab aku, "Novel yang baik adalah novel yang selesai dan bermanfaat".

Acara dialog dan temu penulis Matapena tersebut hanya berlangsung sebentar karena azan maghrib sudah berkumandang. Aku dan Uli segera menutup acara. Setelah itu mereka keluar dan langsung memburu bazar buku. Beruntunglah punya teman seperti teman-temannya Uli yang senantiasa membantu dan mendukung. Karena Pak Affandi tidak diperkenankan masuk ke kawasan pondok puteri, akhirnya staf 'badal' anggota "laskar"nya Uli, yaitu Mudrikah, Erna dan Jo yang menggantikan Pak Affandi mengurus Bazar Buku.

Sambil menunggu prosesi jual beli buku, aku, Uli, Mudrikah, Erna dan Jo bergantian shalat magrib. Setelah itu kami dipersilahkan untuk menikmati hidangan di ruang makan ndalem dulu. “Terima kasih, Pak Kiai. Suguhannya enak!” Jam 06.15 WIB, kami pamitan kepada Bapak Kiai dan Ibu Nyai.


MUHIBBAH KE PP ROUDLOTUT THULAB

Rabu, 20 Juni 2007. Pagi kembali hadir mengawali hari dengan wajah cerahnya. Sepertinya cuaca sedikit hangat dibanding hari sebelumnya. Mobil box yang ditumpangi rombongan Matapena berangkat dari rumah Uli menuju PP Roudlotut Tholibin. Jam 09.00, rombongan tiba. Uli dan aku turun lebih dulu lalu segera menuju ruang tamu pondok puteri Roudlotut Thulab. Sementara Pak Affandi memarkir mobil dahulu baru menyusul.

Di ruang tamu, rombongan disambut hangat oleh Bapak Selamet Zakariya dan Mbak Jamilatun Nafiroh selaku pengurus PP Roudlotut Thulab. Kami berbincang-bincang sebentar, membicarakan model acara yang akan dilaksanakan. Pak Selamet mohon maaf karena hari itu bertepatan dengan acara "Manasik" jadi perhatian di pondok terbagi. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa untuk menjaga tradisi di pesantren, karena pembicaranya putri semua, acara diselenggarakan di pondok putri dan hanya diikuti santri putri. Saat Pak affandi menyinggung tentang buku-buku bacaan santri, Pak Selamet mengatakan bahwa bacaan santri di PP Roudlotut Thulab sangat dibatasi. Hanya sebatas buku-buku pelajaran dan kitab untuk mengaji.

Jam 09.30 WIB, acara dimulai. Uli dan aku dipersilakan menuju aula kegiatan yang berada dilantai 2. Saat memasuki aula yang luas dan memanjang itu penuh dengan para santri, aku dan Uli merasa optimis. Apalagi ketika Pak Selamet Zakariya membuka acara, memperkenalkan para penulis. Dan ketika aku bertanya "Siapa di antara teman-teman santri ini yang ingin menjadi penulis?" hampir semua peserta yang berjumlah kurang lebih 100 orang itu mengacungkan jari.

Aku memulai pembicaraan dengan bercerita panjang lebar tentang Novel-Novel Pop Pesantren dan Matapena. Tentang latar belakang dan masa depan novel-novel pop pesantren Matapena sebagai genre baru sastra pesantren yang menjadi bacaan alternatif santri dan remaja nonsantri pada umumnya. Dan seperti sebelumnya, karena memang sudah berbagi tugas, giliran Uli yang harus bisa memprovokasi santri untuk mengembangkan budaya tulis-menulis.

Tiba saatnya dibuka termin dialog, Mazidah mengawali dengan bertanya, "bagaimana cara membuat novel dan apa novel itu? Bedanya dengan buku dan majalah?" Wah, disinilah kepekaan aku dan Uli harus terangsang. Ternyata istilah "novel, majalah, dan buku" saja masih ambigu, belum paham betul, jadi harus berusaha mendekati mereka dengan bahasa yang sederhana.

Aku menjelaskan tentang macam-macam bentuk karya tulis, dari yang berupa fiksi maupun nonfiksi. Yang berjenis buku, novel, majalah. Sementara Uli menambahkan tentang majalah diding yang kemudian direspon oleh Mbak Uun sang ketua Pondok. Bahwasanya di pesantren tersebut belum memiliki media kreatifitas santri untuk menulis sejenis majalah dinding. Mereka minta diberi sedikit materi tentang bagaimana membuat majalah dinding.

Para santri cukup antusias mengikuti kegiatan tersebut. Terbukti banyak santri yang merespon dengan berbagai macam pertanyaan. Ada yang bertanya tentang teknik-teknik membuat novel dari membuat judul sampai ending, bagaimana proses kreatif penulis dalam menyelesaikan novel dan bagaimana cara mengirim novel. Selain itu, ada beberapa santri yang sudah terbiasa membaca novel, menanyakan perbedaan antara novel pop pesantren dengan novelnya Mira W, Ayat-ayat Cinta-nya Mas Habiburrohman, dan novel popnya T. Andar. Aku pun menjelaskan bahwa bedanya adalah novel-novel pop pesantren berkisah tentang cerita-cerita dari pesantren, berusaha menggali khazanah pesantren dan mengemban misi dan amanat pendidikan pesantren.

Aku juga menyampaikan bahwa mendidik dengan cerita itu lebih bisa menyentuh nurani pembaca ketika ada seorang santri yang bertanya "apakah novel tidak termasuk cerita bohongan, dan cerita bohong adalah dosa". Katanya, dulu dia pernah ditakut-takuti temannya dengan sebuah hadits "wa la tujalisu ma'al qashisin", tapi toh hadits tesebut bukan termasuk hadits shahih. Apalagi, bukankah Al-Qur'an juga mengajarkan bagaimana mendidik lewat kisah-kisah para nabi dalam ayat-ayatnya?

Di akhir acara, aku membacakan sedikit cuplikan novel "Coz Loving U, Gus" yang mendapat sambutan meriah dari para santri, karena kebetulan ada beberapa nama yang sama dengan santri dan ustadz di pondok pesantren tersebut. Juga, mengumumkan tentang "woro-woro" pembukaan pendaftaran anggota Matapena dulu beserta syarat-sayaratnya. Jam 12.30 WIB acara ditutup.


MUHIBBAH KE PP AL-MANSUR

Siang itu, rombongan tidak mampir dulu ke rumah Uli, tetapi langsung menuju ke PP Al-Mansur di kawasan Kauman Wonosobo. Karena waktu sudah menunjukkan jam 13.05 dan Pak Affandi sudah dikontak Mas Haqi Anshori bahwa para santri di PP Al-Mansur sudah siap, meskipun cuma sedikit. Karena para santri kalau siang hari banyak kegiatan di luar.

Jam setengah dua siang, rombongan Matapena tiba di PP Al-Mansur. Uli dan aku segera memasuki aula yang sudah siap dipandu oleh Mas Haqi. Tampak para santri putera di sebelah kiri dan santri puteri di sebelah kanan. Acara langsung dimulai. Mas Haqi memberikan pengantar sejenak dan memperkenalkan kedua penulis beserta novel-novelnya. Setelah itu aku mengawali sosialisai novel-novel pop pesantren dan Matapena. Lalu Uli tentang provokasi terhadap budaya tulis-menulis.

Mas Haqi sebagai moderator cukup mampu membangkitkan semangat para santri untuk bertanya kepada para penulis. Ada Nadzir yang bertanya tentang bagaimana pertama kali memulai proses menulis. Sofa yang bertanya tentang bagaimana menuliskan ide yang ada di otak. Lalu bagaimana cara membangkitkan semangat untuk menulis, memilih kata, dan hal-hal tentang proses kreatif. Uli dan aku bergantian membagi pengalaman kepada mereka.

Ternyata pertanyaan mereka tidak hanya seputar proses kreatif tetapi juga wacana bacaan. "Kenapa kok novel-novel Matapena itu rata-rata bercerita tentang kisah cinta di pesantren. Menurut saya itu temanya hampir seragam. Lalu, kalau novel pop Matapena juga novel islami, apa bedanya dengan novel-novel yang diterbitkan Forum Lingkar Pena," komentar Untung, salah seorang santri.

Aku mengungkapkan bahwa novel-novel Pop Matapena berbeda dengan novel-novel FLP yang cenderung mengarah pada Islam “normative”, sementara novel-novel pop Matapena adalah khas pesantren dengan budaya lokalnya yang membumi.

Selain santri putera, beberapa santri puteri juga mendapat kesempatan bertanya. Aku memperkenalkan tentang Komunitas Matapena dan adanya Bulletin Bianglala ketika Ari bertanya apakah Matapena bisa memfasilitasi mereka untuk berproses kreatif.

Jam 14.30 WIB, menjelang ashar, Mas Haqi mengakhiri acara. Sebelum penutup, sempat dibagikan doorprize dua buku. Rencananya dua buku untuk penanya terbaik itu adalah Blok I karya Uli dan salah satu novel karyaku. Tapi karena persediaan novel-novelku sudah habis ditinggal di kopontren PP Roudlotut Tholibin, akhirnya aku memungut satu novel Santri Baru Gede karya Zaki Zarung.


MUHIBBAH KE PP MUKHTARUL MUKHTAJ, KONGSI

Inilah perjalanan terakhir.
Sungguh tidak terbayangkan di benak kami tentang keunikan-keunikan pesantren yang ada di daerah Kongsi itu. Memang sebelumnya ada yang bercerita, kalau pesantren tersebut adalah pesantren santri kalong. Santri-santrinya tidak diasramakan, tetapi hanya datang ketika jadwal pengajian lalu pulang dan tidur di rumah masing-masing yang tak jauh dari pesantren tersebut.

Jam 18.30 WIB. Rombongan berangkat dari rumah Uli menuju PP Mukhtarul Mukhtaj. Meskipun jalanan malam berkabut, akhirnya rombongan tiba juga di komplek Pesantren Mukhtarul Mukhtaj. Seorang tinggi besar bernama Pak Yono menyambut rombongan dan menunjukkan tempat acara. Di antar Mas Jabir, koordinator acara, Uli, aku dan Pak Affandi menuju aula kegiatan di lantai dua.

Oh, sebuah pemandangan yang unik bagiku dan Uli, meskipun mereka sama-sama santri. Di ruangan yang kira-kira berukuran 4x 6 meter itu, tampak beberapa santri puteri yang masih memakai mukena duduk bersimpuh. Ada juga beberapa santri putera.

Awalnya aku agak ragu untuk memulai acara. Agak canggung mau memulai dari mana karena menurutku suasana malam itu mirip pengajian PKR (Pesantren Kilat Romadhon)nya di Gunung Kidul. Unik banget. Tapi akhirnya, aku pun memulai acara. Memperkenalkan diri, memperkenalkan Uli, Matapena dan Novel Pesantren. Begitu juga Uli, ia memperkenalkan tentang dunia tulis menulis. Mulai dari yang sederhana, yaitu SMS lalu majalah dinding.

Sebuah wacana baru bagi Uli dan aku tentang Pesantren Santri Kalong. Berbagai jenis santri dari berbagai macam latar belakang pendidikan. Wah, Uli hampir terpingkal-pingkal ketika seorang santri bertanya tentang "penulisan", tetapi yang dimaksud adalah bentuk tulisan tangan, 'gedrek' dan 'latin' supaya bagus. Atau istilah kerennya adalah "font". Selain itu aku dan Uli juga harus bersusah payah dulu menjelaskan tentang yang dimaksud dengan "tulis-menulis" dan novel. Meskipun agak kocak dengan pertanyaan beberapa santri putera yang konyol-konyol melebar tentang seni tulis dekorasi dan kaligrafi, tapi ada beberapa santri putri yang cukup antuisias bertanya tentang proses kreatif membuat cerpen lalu mengembangkannya menjadi sebuah novel.

Bincang-bincang antara santri PP Mukhtarul Mukhtaj berlangsung cukup lama. Sehingga akhirnya Uli memberikan saran kepada mereka untuk mulai belajar membuat mading. Belajar mengenal tulisan dan budaya tulis menulis dari yang sesuatu yang sederhana yaitu majalah dinding.

Perjalanan Roadshow di beberapa Pesantren Wonosobo berakhir jam 20.00 WIB di PP Mukhtarul Mukhtaj. Setelah itu kembali ke rumah Uli, shalat isya dan kembali ke Yogyakarta.

2 komentar

Monday, June 25, 2007

Membincang MATABACA Edisi Juni 2007

Monday, June 25, 2007



MATABACA Juni mengupas soal “Sastra Islami, Oh Indahnya”. Katanya karena boming Ayat-Ayat Cinta… Bagi yang suka novel bernuansa Islam, judul itu tidak asing lagi, saking bomingnya mungkin lalu kemudian ini dipandang sebagai fenomena untuk “sastra islami”.

Sebenarnya saya kurang begitu sreg dengan istilah sastra islami. Karena, termaknakan sebatas label, kemasan, dan berbau-bau Islam. Lebih bagus Sastra Islam pemaknaannya daripada Sastra Islami. Cuma, lagi-lagi, perdebatan selanjutnya adalah soal pemaknaan istilah dan definisi. Dan saya, temasuk orang yang paling tidak mau terjebak soal perdebatan itu.

Kalaupun kemudian Matapena yang menerbitkan novel pop pesantren didaulat untuk jadi salah satu responden, mungkin karena pesantren identik dengan Islam. Sudah pasti. Lalu, novel pop pesantren dikelompokkan dalam “sastra islami”. Ini menurut kacamata MATABACA.

Cuma, pada prinsipnya, kata si redaktur Matapena, “Kami tidak familiar dengan label sastra islami. Kami lebih memilih untuk menyebut karya kami dengan novel pop pesantren. Novel karena berbentuk novel, pop karena dikemas dengan kemasan dan bahasa yang populer/dikenal, pesantren karena memang bercerita tentang kehidupan pesantren.” Jadi, masih menurutnya, tanpa label “islami”-pun, novel pop pesantren sudah jelas Islam.

Ohya, saya tertarik sama pernyataan Dian Guci, seorang penulis yang kebetulan juga berkomentar tentang “sastra islami” dalam MATABACA. Katanya:
“Sastra Islami itu sebetulnya nggak perlu mengusung ayat-ayat segala macam. Tidak perlu menyebutkan identitas Islam sebetulnya. Tidak perlu menerjemahkan suatu ayat Al-Qur’an, tapi merupakan nilai universal yang dikandung dalam agama Islam. Sebenarnya saya capek dengan label sastra islami ini. Kalau kita lihat karya Steinback yang berjudul The Grapes of Wrath, bercerita mengenai kemiskinan yang bisa mengkafirkan orang. Belum lagi karya Hamka dan Harimau-Harimau Mochtar Lubis. Menurut saya, karya-karya mereka merupakan sastra yang mengandung nilai Islam. Kebanyakan karya islami yang ada sekarang hanya mengobarkan cuap-cuap doang alias hanya bisa menyebut bahwa saya orang Islam dan harus berdakwah.”

Nah, ini kan pendapat. Dan, setiap orang berhak punya pendapat. Bukankah perbedaan adalah rahmat?

0 komentar

Thursday, June 21, 2007

Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir:
Cinta, Kritisisme, dan Industri
Sabtu, 3 Maret 2007

Thursday, June 21, 2007


Esai: Ridwan Munawwar

Sejak sekitar awal millennium ke-3, sastra pesantren di Indonesia menunjukkan geliat yang tidak main-main. Kreatifitas dan produktivitas sastra pesantren meningkat drastis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Tentunya ini suatu hal yang signifikan dan positif, meski menyimpan komplikasi keunikan tersendiri di belakangnya. Di satu sisi, fenomena ledakan sastra pesantren menunjukkan sekaligus mengukuhkan eksistensi pesantren sebagai salah satu unit peradaban yang tak pernah kering dari penciptaan-penciptaan baru, khususnya dalam dunia kesusasteraan.

Padahal kita tahu, bahwa terma kesenian sampai saat sekarang masih menjadi suatu hal yang problematik dalam paradigma dan mainstream keagamaan kalangan pesantren. Seni (fan) dan kesenian (al-fannan) dianggap urusan yang tidak esensial, bahkan dicurigai sebagai sesuatu yang bisa melenakan orang, membuat penikmatnya berleha-leha, melalaikan orang dari urusan syari'at (Zainal Arifin Toha, 2002).

Klaim ini diperkuat oleh adanya suatu histeria historis; dimana banyak sekali literatur keilmuan klasik (fiqh) yang dipergunakan pesantren yang menghukumi seni itu syubhat, makruh bahkan haram. Celakanya, hukum-hukum fiqih ini kemudian difahami dengan sempit, rigid dan membuta, tidak disertai dengan penggalian dengan wawasan hermeneutik. Interpretasi terhadap teks-teks fiqih terhadap kesenian seharusnya kritis dan kompherensif dalam mempertimbangkan berbagai konteks (asbabul wurudl) dimana hukum fiqih tertentu dikeluarkan; situasi sosio-kulturnya, situasi historis, situasi politik, bahkan situasi psikologis saat itu.

Padahal, diharamkannya anasir kesenian tidak lepas kondisi historis saat itu, yakni adanya political clash dan cultural clash antara umat Islam dengan umat Kristen. Kebetulan saat itu peradaban umat Kristen terkenal dengan keseniannya yang amat kental, sehingga mengundang ketegasan kaum agamawan Islam (fuqaha) untuk menumbuhkan militansi umatnya dengan melakukan berbagai langkah preventif agar umatnya tidak meniru kebudayaan lain.

Karena itu, ledakan sastra pesantren boleh dikatakan sebagai pemberontakan terhadap rigiditas dalam menjalankan syari'at, skripturalisme, tekstualisme, otoritarianisme fiqih minded yang terkadang membelenggu kreativitas berbudaya dan 'buta konteks'. Kesusasteraan pesantren meronta-ronta dalam hasrat yang menggebu untuk senantiasa menghidupkan dan membumikan nilai-nilai estetika sebagai ejawantahan atas prinsip; "Tuhan itu indah dan mencintai keindahan" (Al Hadits).


Kanon Sastra Pesantren


Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan. Maka, bertambahlah 'spesies' baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abidah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi'ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering diidentikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren. Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf. Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf.

Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pesantren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren. Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop. Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal).

Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant. Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya? Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan.

Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elit pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya.

Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan. Sederetan nama sastrawan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma'rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu. Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan.

Banyak kalangan elit sastra yang cenderung 'mengejek' akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya "Sastra Mutakhir Kita" (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius". Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan" dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan."

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif. Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel 'kacangan' Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality.

Sastra pop juga berfungsi untuk 'latihan pemula', dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban? ***



Catatan Redaksi: Ridwan Munawwar, penyair dan esais. Saat ini menjadi ketua MUSIKATA gesellschaft (MG) Yogyakarta). Selain itu bergiat di Rumah Poetika dan Jamaah Seni KUTUB di kota yang sama. Domisili; Amabarukmo 01/01 no.84 Yogyakarta 55281.Kontak Person: 0817 0418187. Email: profesorridwan@yahoo.com

SUMBER: KLIK!

0 komentar

Wednesday, June 20, 2007

Sastrawan Muda (Pinggiran) di Pesantren
Minggu, 31/12/2006

Wednesday, June 20, 2007


TAHUN 2006, tahun penuh warna, akan segera berlalu.Tahun 2006,tentu menyisakan banyak cerita seputar jagat seni menulis. Sepanjang tahun penuh bencana itu, jagat seni menulis dan jagat perbukuan Indonesia masih didominasi karya sastra. Karya-karya sastra dari pelbagai macam genre muncul merebut simpati publik.

Semuanya serbariuh dan gemerlap. Namun, di balik gejala menggembirakan bagi dunia sastra itu, karyakarya sastra yang banyak bertebaran ternyata lebih banyak dihasilkan oleh para pemain lama, nyaris tanpa ada nama baru, apalagi penulis muda. Hanya ada nama Radhar Panca Dahana, Jakob Sumardjo, Remy Sylado, Maman S Mahayana,Ayu Utami, Nirwan Dewanto,Seno Gumira Aji Darma, Hudan Hidayat,Agus Noor,Puthut EA, Djenar Maesa Ayu,dan Dewi Lestari.

Mereka seolah dianggap sebagai ”selebritis” sastra yang tidak tergoyahkan. Adapun mereka adalah penulis yang telah teruji karya-karyanya, hal itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Berderet karya berkualitas mereka adalah bukti nyata yang mampu menyaput sinisme yang diarahkan. Namun, bila dilacak lebih jauh lagi, bisa jadi itu adalah gejala minimnya kreativitas kita dalam menghasilkan penulis-penulis muda berbakat.Terutama, bagi kaum muda yang ada di pelosok desa atau juga di pesantren yang masih dianggap sebagai lembaga pendidikan nonformal yang udik.

Memang,ada banyak penulis muda yang muncul di tengah kesemarakan dunia penerbitan sastra kita. Buktinya, lima tahun terakhir ini, dunia penerbitan sastra banyak disemarakkan karya sastra pop dari penulis muda.Terbitnya buku-buku chicklitteenlit adalah bukti nyata menyeruaknya ”ruang gelisah” publik sastra kita untuk menggugat kemapanan penulispenulis tersohor.

Sedikit nama, di antaranya, sebut saja Rachmania Arunita dengan novel Eiffel I’m in Love yang laris manis bak kacang goreng di pasaran. Kemunculan Rachmania cukup fenomenal.Novelnya sejak terbit tiga tahun lalu, sudah naik cetak beberapa kali.Bahkan,meski sedikit berlebihan, Rachmania bisa disamakan dengan kisah novelis Helen Fielding yang novelnya, Bridget Jone’s Diary,menjadi buruan di pasar internasional.

Selain Rachmania,ada nama Icha Rahmawati sebagai penulis muda nan berbakat. Novelnya, Cintapuccino, booming dan kini sudah naik cetak dua belas kali. Di satu sisi, kemunculan penulispenulis muda itu patut mendapat apresiasi.Namun,di sisi lain,hal itu juga menunjukkan perbedaan budaya tulis yang mencolok antara anak muda kota dan anak muda di pelosok desa. Dua penulis muda yang saya contohkan di atas adalah ”produk” dari perkotaan.

Bagaimana dengan anak muda dari dunia pesantren? Jawabannya jelas, dalam dunia penerbitan sastra kita, sangat sulit ditemui nama yang ”berbau”pesantren. Namun itu dulu. Cerita muram tentang minimnya karya sastra dari pelosok atau komunitas yang selama ini dianggap ”pinggiran” seperti pesantren kini telah berakhir. Setahun belakangan ini, tidak sedikit karya sastra dari sastrawan muda ”pinggiran” itu yang berhasil menghiasi etalase-etalase toko buku di Tanah Air.

Ada nama Shachree M Daroini, Ma’rifatun Baroroh,Fahrudin Nasrulloh, Pijer Sri Laswiji, Zaki Zarung, S Tiny, dan Mahbub Jamaludin. Shachree M Daroini menulis novel Bola-Bola Santri, Ma’rifatun Baroroh menulis Santri Semelekete, Pijer Sri Laswiji menulis Kidung Cinta Puisi Pegon, Zaki Sarung menulis Santri Baru Gede, S Tiny menulis Dilarang Jatuh Cinta, dan Mahbub Jamaludin menulis Pangeran Bersarung.

Novelnovel yang ditulis oleh sastrawan belia pesantren tersebut meminjam analisis puisi model Hipolyte Taive, pada dasarnya merupakan perwujudan dari teori ketergantungan karya literer dengan fenomena pada zaman dan lingkungannya. Karya literer (puisi, novel) selalu mencobamerefleksikan,mencatat,dan menafsirkan problematika zaman dan lingkungannya. Paling tidak, karya tersebut memang berusaha menjadikan dirinya sebagai saksi atas berbagai peristiwa dan kondisi sosial.

Dalam konteks ini,tangan-tangan kreatif dari komunitas ”lain” bernama pesantren itu mencoba memotret realitas keseharian pesantren lengkap dengan dinamikanya. Realitas keseharian, seperti perilaku gus (putra kiai) ketika santri jatuh cinta dan kerja keras untuk belajar di tengah kesederhanaan disajikan dengan sangat jujur dan bernas. Masyarakat yang menganggap pesantren sebagai komunitas udik dengan baju kumal dan penyakit kulit para santri akan dibuat ”insaf”bahwa pesantren ternyata juga sangat berpotensi dalam penerbitan sastra. Novel Bola-Bola Santri karya Shachree,misalnya, mampu memotret dengan cukup utuhperjalananhidupseoranggusalias putra kiai.

Kisah pergaulan gus dengan sesama gus,para santri,juga warga sekitar kampung mengusung nilai lokalitas ala pesantren yang cukup kental. Novel-novel mereka memang kental dengan nuansa pesantren. Suasana udik ala pesantren ditampilkan apa adanya.Novel-novel ini, meski masih sangat sederhana, sudah bisa mengusung semangat estetika lokal—semangat yang melandasi pelaksanaan Kongres Cerpen Indonesia di Riau beberapa waktu lalu.

Meski tak sesempurna Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dalam mengusung semangat lokalitas, novel-novel mereka tetap mampu menyeruakkan aroma pesantren. Penggunaan istilah-istilah yang biasa dipakai di pesantren,seperti roan, ghasab, pawestren, ndalem, dan takzir sangat membantu novel-novel mereka menjadi semakin terasa ”nyantri”. Lalu, apa langkah yang tepat bagi sastrawan muda ”pinggiran” ini ke depannya?

Langkah awal brilian berupa lahirnya novel-novel di atas perlu lebih didukung publik sastra guna pengembangan sebuah karya sastra yang lebih serius dan tematik,mulai dari plot maupun materi cerita. Dengan begitu, kemunculan mereka tidak sekadar ”hangat-hangat tahi ayam”sehingga kita bisa memacu lahirnya sastrawan-sastrawan muda dari pesantren.

Terkait dengan itu, mungkin ada yang menganggap saya berlebihan dengan menyebut mereka sebagai ”sastrawan” hanya karena karya mereka belum benar-benar teruji seperti karya ”selebritis” sastra papan atas Indonesia. Sudahlah, buang jauh pola pikir positivisme seperti itu.Toh mereka juga berkarya. Itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa pemilik tangan-tangan kreatif dari pesantren itu sebagai seorang sastrawan, meski dengan embel-embel ”pinggiran”.(*)


MOHAMMAD ERI IRAWAN Santri ”jalanan” di sejumlah pesantren di Jember, aktif di Rumah Baca dan Diskusi Taman Katakata Jember, Jatim

SUMBER: KLIK!

4 komentar