Thursday, May 31, 2007

PILOSOPI PUTASO DAN POTAKER
Sebuah catatan Workshop II matapena di PP Al-falah II Nagreg Bandung
Senen-Selasa, 14-15 Mei 2007

Thursday, May 31, 2007


Dua orang berdebat.
“Mau tidak mau kamu harus mau berangkat duluan. Minggu!”
“Ra iso! Mau tidak mau kita harus berangkat bersama,”
“Why? Aku tidak bisa berangkat minggu!”
“Ya, senin!”
Dua orang itu adalah Zaki dan Mahbub.
Dan sore hari Sabtu, 12 Mei akhirnya Mahbub nongol dari balik pintu kamar Zaki.
“Aku berangkat duluan!”
“Yes!” Zaki lega. Akhirnya ia bisa lebih tenang melakukan perjalanan ke Ponorogo. Mahbub pun berangkat ke Gombong Kebumen Jateng bareng dua cewek imut, Nahwa dan emboknya Nahwa. Baru dari sana ia berangkat ke PP Al-Falah Nagreg, Bandung untuk ngisi Workshop II. Ia sampai di bawah tulisan selamat datang persis pukul 17.30 WIB.
Sedang Zaki? Yah, dia berangkat dari Jogja naik Bus jurusan Cirebon hari senin, 13 Mei pukul 10.55 WIB dari terminal Giwangan. Turun di Terminal Wangon Banyumas dan melanjutkan perjalanan ke Nagreg dengan Bus jurusan Bandung.

20.00 – 23.00 WIB

Di Al-Falah, acara dimulai sesuai rencana yaitu pukul 20.00 WIB hari Senin, 14 Mei. Yang ngisi Sobri Obri dari Alumni, Kariem Abdul yang Asistennya Sobri, adiknya mas Ahmad Fikri AF, yaitu Ahmad Dawami AD, serta Mahbub Jamaluddin sang peworkshop. Tak lupa acara itu didampingi bagian kesiswaan pondok, Ustadz Uyun yang hari itu rambutnya tampak lebih gondrong daripada setahun yang lalu ketika Matapena pertama kali ke Al Falah.
Nah, pas lagi asyik-asyiknya acara diisi Mahbub, tiba-tiba dari arah pintu muncul sosok yang ditunggu-tunggu baik sama Mahbub yang mengira ia tak jadi nongol hari itu maupun dari para audiens yang lain. Yaitu, Zaki. Sayang, ia tampak kusut karena berusan sampai dan langsung didaulat masuk ke arena pertemuan tanpa dikasih waktu istirahat.
Materi pertama yang berisi provokasi buat anak-anak untuk nulis novel pesantren berjalan mulus. Seperti halnya kalimat Mahbub yang keluar dari mulutnya, “Karya yang bagus adalah karya yang selesai.”
Yang membuat kaget adalah kenyataan bahwa yang ikutan Workshop kali ini ada 50 lebih santri. Puterinya ada 49 dan putra ada 10, jadi jumlahnya 59. Dari 59 Santri itu yang ikutan WS I hanya 7 orang. Lebih banyak anak barunya.
Acara ditutup pukul sebelas malem meski para audiens masih bersemangat bab moderator si Obri Sobri tidak tega demi melihat mata temen-temen pemateri sudah 5 watt, terutama Ahmad Dawami AD yang dengan lirih mulutnya mengeluarkan bunyi, “Gue lagi putaso neh!” Dan disepakatilah besok pagi mereka akan mulai acara pukul 06.00 tepat.

07.00-12.15 WIB

Tepat! Tepat melesetnya. Baru pukul 7 mereka berkumpul. Di kelas dan dilanjutkan Out bond ke bukit di belakang pondokan.
Seletah sampai di tempat tujuan sekitar satu kiloan dari kelas, Zaki tampak terbengong-bengong, “Wuih, subhanallah, bagus banget nih bukit,” selorohnya. Yap, di sana memang terbentang pemandangan yang asyik banget; sebuah bukit kapur yang berdanau dua, berait putih dengan batu-batu hitam yang menjulang kokoh di atasnya. Meski tak 100% alami, tapi masih menyimpan keindahan alam yang pas banget buat acara pagi itu, yaitu melatih kepekaan pancaindera dengan Olah suara, olah tubuh, olah muka, olah rasa, dan olah-olah yang lain.

Setelah itu mereka dibawa satu persatu oleh para pemateri, Zaki dan Mahbub, dibantu oleh, Kariem, Sarti Iman, dan Ahmad Dawami AD, menuju tiap-tiap obyek yang diamati yang terdiri dari; batu, air, akar, daun, pohon, menara, tanah, dan lain sebagainya. Sayang, tak ada satu pun yang ikutan mengamati potaker di pucuk batu hitam paling besar kecuali Ahmad Dawami AD. Setelah pukul 9, mereka kembali ke pondok untuk mandi dan makan dan berkumpul lagi pukul 11.00 untuk evaluasi hasil pengamatan benda di bukit hingga pukul 12.15.
Diluar dugaan, hasil dari pengamatan mereka ternyata unik-unik. Ada yang mengamati pohon duri lalu menuliskan tentang kisah panglima genit. Ada yang mengamati air lalu menulis tentang patah hati, dan lain sebagainya. Ternyata pengamatan dengan panca indera, mampu memberikan ide yang segar. Para peserta perlahan mulai berjalan menuju pintu pembebasan dari belenggu indera penglihatan. Bravo!
Setelah selesai pembahasan, materi dilanjutkan tentang pengayaan materi ekstrinsik karangan berupa kondisi sosial, ekonomi, politik dan hal lain berkaitan dengan kondisi pesantren. Endingnya adalah pemberian PR membuat alur Novel dari hasil pengamatan mereka.

14.11 – 16.30 WIB

Setelah makan siang, dan shalat serta mandi yang kedua, acara selanjutnya adalah pembahasan kembali masalah alur. Sebagian besar masih kebingungan membuat alur novel. Baru ketika dikasih sedikit contoh, para peserta kemudian bisa praktik dan membuka cakrawali idenya. Dan hasilnya, dievaluasi dan dikasih masukan sama Mahbub dan Zaki. Di situ mereka diajak membuka pintu-pintu idenya dari berbagai arah, hingga akhirnya mereka pada nyadar bahwa ternyata, satu hal yang tampaknya sederhana ternyata bisa dibuat seribu macam cerita. Di situ juga dibahasa panjang lebar masalah membuat konflik yang berliku. Untungnya para peserta tidak ada yang ikutan konflik. Peace, man! Kita harus tetap Putaso!

20.00 – 23.00 WIB

Meski merombak total jadwal yang semula kita buat, tapi akhirnya semua materi dapat diakomodir. Pada malam terakhir, materi dan praktik tentang opening-ending, karakter serta suspens di obok-obok habis. Dan, acara tuntas di penghujung pukul sebelas malam.
Nah, setelah selesai dan acara ditutup oleh Obri Sobri, akhirnya gelombang massa yang merangsek ke depan tak bisa terbendung. Sambil santai minta tanda tangan, komentar serta gambar-gambar lucu, mereka tanya-tanya masalah penulisan banyuak banget! Hingga tak terasa dah nyampai pukul 12 kurang seperempat. Namun sayang di Bandung tidak ada foto, akhirnya kita tidak ada kenangan dalam bentuk foto, dech! Tapi santai masih ada kenangan dalam bentuk poto! Hehehe… dan tentu saja putaso.

06.00 – 09.00 WIB

Pagi yang berkabut, rengang suara ngaji menderu. Semua santri sedang suntuk mengaji mendengar ustadz membalah kitab. Lima buah angsa berdzikir putaso. Lalu…
Drrrttt…ddrrrttt… drrttt…
Getar HP menandakan ada sms.
Pg2 enknya minum teh
Dari: Soobery
06.11 16/05/07
Di dalam kobong asatidz di pojokan komplek, anak-anak yang terjajar rapi di atas tempat tidur itu terprovokasi kecuali Ahmad Dawami AD yang lagi sibuk ngurusi ‘putaso’. Akhirnya kami berempat menyusuri jalanan membelah Al-Falah yang belum lama di aspal menuju warung kopi di tepian rel kereta api.
Sambil merasakan getaran tanah ditimpa roda-roda besi rel kereta api, kami saling menyeruput kopi dan the masing-masing. Dan terjadilah percakapan pagi.
“Ada bebarapa hal yang bisa kita pelajari:


  1. putaso
  2. putaso
  3. putaso
  4. dan potaker.” Kata Mahbob mengawali percakapan.

Kariem mencoba untuk mengerti.
“Sebenarnya kita bisa menggali lagi makna terdalam putaso. Sayang sang suhu sedang tak ikutan,” Zaki menambah.
Kariem masih mencoba untuk mengerti.
Soberi hanya manggut-manggut. Tampaknya ia punya prespektif lain tentang putaso. Katanya, “Salah satu hakikat putaso adalah bahwa kadang apa yang kita rencanakan, tak musti dapat terlaksana sedemikian.”
Kariem terus berusaha mengerti.
Gantian Mahbub menambah, “Betul, putaso juga bermakna, kebijakan adalah ketika kita mampu memberi solusi terbaik untuk segala kejanggalan yang terjadi.”
Kariem semakin berkeringat saja.
“Meski anak-anak yang ikutan kebanyakan baru, artinya sempat terputus dari tali silatuworkshop pertama, tapi tak berarti mereka tak bisa mengikuti. Aku yakin untuk workshop yang ketiga, sebuah kejutan akan mereka getarkan pada seluruh bulu kuduk kita.”
Zaki tampak berapi-api.
Dan semuanya berseru, “PASTI…!”
Nah, akhrirnya Kariem dapat lega menghirup teh pahitnya karena bisa paham makna putaso yang sesungguhnya yaitu: optimisme dan kesungguhan.
“Lalu, makna potaker apa?” tiba-tiba tanpa di nyana penjual kopi ikutan nimbrung.
Dengan kompak keempat pemuda itu menjawab, “Tanya aja ndiri ama suhu Ahmad Dawami AD.”
“!!!???...” penjual kopi bengong.


1 komentar

Thursday, May 10, 2007

World Book Day 2007
26-29 April 2007
Gedung A Depdiknas Jakarta

Thursday, May 10, 2007

Rabu, 25 April 2007
Persiapan


Berangkat sore hari, pakai travel. Dengan pikiran kosong dari gambaran dan bayangan, akan seperti apa acara WBD besok. Karena belum ada satu pun dari kita yang pernah mengikuti Community Fair. Dan, ini menjadi pengalaman pertama yang mudah-mudahan bisa memberikan banyak pelajaran dan manfaat.
Sampai Jakarta, rencananya mau langsung istirahat di penginapan, tapi belum ada kamar kosong, secara jam cek out adalah pukul 13.00 WIB. Padahal waktu itu baru jam enam pagi. Kita pun kemudian meluncur ke Lakpesdam, tampat Sahal bekerja. Selain bisa buka mail untuk ngeprint beberapa berkas, kita juga dapat gratisan makan pagi dan siang.
Siang hari, setelah cek in, kita langsung ke lokasi WBD untuk menata stand. Dibantu sama Slamet dari perwakilan Jakarta. Beberapa perlengkapan yang belum ada, misalnya tali dan kertas manila, kita cari di Carrefour yang lokasinya cuma di sebelah gedung Diknas. Tikar yang sejak beberapa hari lalu sudah kita pesan, ternyata belum tersedia. Akhirnya sebagai alternatif, kita pakai selimut sebagai alas duduk lesehan. Acara beres-beres berlangsung sampai pukul setengah sepuluh. Dengan membawa beberapa PR bikin ilustrasi untuk hiasan dinding tripleks, dipasang esok harinya.


Kamis, 26 April 2007
Hari Pertama


Setelah makan pagi, kita menuju ke lokasi WBD. Banyak stand sudah terlihat rapi dan cantik. Rencana pertama adalah meneruskan dekorasi, sambil mengikuti pembukaan WBD di Panggung Utama yang terletak di depan stand Matapena. Acara dibuka oleh Prof Dr. Bambang Sudibyo. Dihadiri juga oleh Tantowi Yahya.


Acara diskusi atau workshop diadakan di dua panggung, Panggung Utama WBD dan Pangung Anak dan Remaja WBD. Lokasi Panggung Utama WBD lebih strategis karena di tengah jajaran stand komunitas. Sedangkan Panggung Anak dan Remaja, terletak di ujung pojok gedung A Diknas.
Semula acara Storytelling Matapena akan digelar di Panggung Anak dan Remaja. Panggung yang menurut kita kurang strategis. Apalagi pada jam yang sama Panggung Utama juga tidak dipakai. Mungkin karena pertimbangan itu, panitia kemudian memindahkan acara Storytelling Matapena ke Panggung Utama. Zaki dan Ruslan bertindak sebagai pemateri sekaligus storyteller, ditambah Adinda, adiknya Ruslan, sementara Hilma sebagai host. Saya sebagai penjaga stand, mengingat dua stand yang lain di hari pertama sudah kehilangan laptop masing-masing. Ambil dokumentasi juga terpaksa saya titipkan ke panitia.
Memang pesertanya tidak banyak, mengingat cuaca di luar hujan. Undangan yang sudah kita hubungi juga beralasan demikian. Tapi, pada sesi dialog lumayan juga yang berpartisipasi. Setiap penanya atau komentator mendapat kenang-kenangan buku dan pin. Berjumlah lima orang.
Kegiatan selama sehari, selain manggung storytelling, kita melayani beberapa pertanyaan pengunjung yang bertandang ke stand. Rata-rata ketertarikan mereka bermula dari foto yang kita pajang, kemudian berlanjut ke pertanyaan seputar teknis pengadaan workshop. Belum lagi kalau yang mereka inginkan adalah peserta dari anak-anak usia SD, secara mereka adalah guru sekolah dasar. Di luar kegiatan kita selama ini kan? Tapi, kita tetap optimis, memberikan jawaban, itu bisa direncanakan dan akan kita agendakan.
Tutup acara, pukul 09.00. Kali ini, kita mencoba berkenalan dengan busway. Kalau ingin menemukan suasana lelahnya ibukota dari wajah-wajah para penghuninya, naik saja angkutan ini. Sebuah potret yang membuat para pendatang seperti kita jadi ingin cepat kembali ke kampung halaman.

Jum’at, 27 April 2007
Hari Kedua


Acara hari kedua tetap sama. Menerima kunjungan dan menjawab pertanyaan pengunjung. Sambil bergantian kita berkeliling mengunjungi stand komunitas yang lain. Rata-rata cuma dihuni oleh panjaga stand. Paling ramai stand Komunitas Historia, stand yang berlokasi tepat di depan stand Matapena. Mereka adalah orang-orang yang suka berkeliling mengunjungi kota dan peninggalan sejarah di Jakarta. Mereka juga punya milis yang beranggotakan ribuan orang. “Ternyata belajar sejarah itu mengasyikkkan,” jelas Asep, si penggagas ide. Tentu saja karena dikemas dalam bentuk jalan-jalan, untuk masyarakat Jakarta bisa jadi alternatif mengisi hari libur.
Dari ke-43 stand yang ikut dalam WBD, datang dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Sementara sisanya dari Jogja dan Jawa Tengah: Matapena, Perpus keliling Satu Nama, Rumah Pelangi-Magelang. Rata-rata mereka juga menjual asesoris, misal Pin, pulpen, gantungan kunci, juga kaos. Padahal dalam WBD ada peraturan stand komunitas tidak boleh melakukan jual-beli. Malah ada stand Komunitas Kalam Bogor, yang semula sepi, tapi setelah menerima order bikin pin, stand pun jadi ramai dikunjungi. Tapi, buntutnya kita tahu, kalau itu menjadi alternatif kas masuk untuk membiayai kegiatan mereka. Salut ya!
Kita juga mengikuti acara yang berlangsung di Panggung Utama, cukup dengan duduk lesehan di stand sambil mendengarkan jalannya diskusi. Rata-rata pesertanya memang tidak banyak. Karena kebanyakan yang datang paling jalan-jalan mengelilingi pameran stand, setalah dari pameran buku, lalu pulang.
Stand Matapena yang rencananya mau memutar film, terpaksa dibatalkan, karena ada sepasang kabel colokan yang tidak terbawa. Alhasil, seperangkat tv dan salon cuma jadi hiasan, tiap malam diangkut dititipkan ke panitia, lalu diambil lagi esok paginya. Katanya kabel colokannya mau diambilkan, tapi tak kunjung datang juga. Jadi, kita memutar film pakai laptop, dengan tanpa suara.
Malam kedua acara cuma sampai pukul 08.00. Tadinya mau jalan-jalan. Tapi, mengingat kita mau bikin profil Matapena untuk difotokopi, kita pun balik lagi ke penginapan.


Sabtu, 28 April 2007
Hari Ketiga


Acara pertama meneruskan pembuatan profil Matapena, yang sering kali ditanyakan sama pengunjung. Selengkap-lengkapnya. Karena ternyata mereka lebih suka membawa kopian profil Matapena daripada mencatat alamat dan nomor telpon pada banner. Ya pastinya.
Hari ketiga, rencananya kita menawarkan pada pengunjung untuk uji coba menulis cerita singkat. Tapi, maaf. Tidak berjalan dengan baik. Meskipun pengumumannya sudah disebarkan lewat undangan via Insan Purnama, brosur, dan pengumuman di kertas manila. Mungkin karena merepotkan, daripada refreshing dan jalan-jalan, melihat-lihat, yang terkesan lebih rileks. Sementara undangan yang kemarin kita kirimkan ke SMA via Insan Purnama, terbukti belum ada yang memenuhi. Yang terlihat nongol cuma anak-anak PMII, dan pengurus IPNU juga cuma mengantar majalah edisi profil Fina Af’idatussofa karena ada rapat. Sempat juga jalan-jalan mengunjungi Panggung Anak dan Remaja, yang waktu itu ada Bengkel Kepenulisan dari FLP. Ternyata sama juga. Pesertanya cuma 10-an orang. Tidak lebih.
Meskipun demikian, profil Matapena yang ditaruh untuk diambil cuma-cuma, habis tak tersisa. Ada yang bertanya, “Ini di La Tansa ya?” sambil menunjuk foto kegiatan Matapena. Ada juga seorang ibu guru yang tertarik bertanya, “Kalau untuk anak SD bisa ngadain workshop gak?” Soal pertanyaan yang kedua ini, hampir setiap hari ada yang menanyakan. Sampai kita kepikiran untuk bikin program workshop untuk ditawarkan ke sekolah-sekolah SD. Hehehe.
Malam harinya sebelum ditutup, ada acara Ajang Kumpul Komunitas. Dengan menampilkan kreasi dan hiburan untuk semua. Matapena menampilkan Adinda, adiknya Ruslan, sama Zaki untuk baca puisi dan cerpen. Ada yang menampilkan operet dangdutan Roma Irama, tari salsa, lagu balada, dll. Tapi, kita tidak mengikuti acara sampai selesai, sudah larut malam.

Minggu, 29 April 2007
Hari Penutupan

Hari penutupan, di Panggung Utama masih berlangsung 2 sesi diskusi. Tentang prediksi terbitan Harry Potter dan prospek perjalanan komunitas ke depan. Beberapa acara pementasan yang direncanakan di Panggung Utama, sepertinya tidak jadi ditayangkan. Dilanjut dengan pengumuman lomba tabak buku, berburu buku, dan penutupan acara World Book Day 2007 oleh Kepala Dinas Perpustakaan Nasional Jakarta.
Dalam acara penutupan ini, dibuka dialog, untuk menyampaikan kritik dan saran. Asep dari Komunitas Historia, memandang positif kegiatan WBD. Hanya saja, publikasinya memang kurang bagus di samping terlalu mendadak. Kritikan ini juga diakui oleh Bapak Kepala Dinas yang baru mendapatkan undangan seminggu sebelum acara. “Jangankan Jakarta, orang satu gedung Depdiknas saja tidak semuanya tahu soal kegiatan ini kok.”
Pak Kadin juga sempat mempublikasikan kegiatan Community Fair serupa yang katanya akan dilaksanakan di TMII bulan Juni depan. Kok mendadak lagi? Bocoran sejenis ini juga didapat Zaki, yang katanya WBD tahun depan akan diadakan di Jogja. Sepertinya kita harus menunggu kebenaran 2 bocoran itu. Harapannya sih bocoran yang kedua yang benar terbukti. Jadi, selain Matapena sudah berpengalaman soal gambaran bagaimana pameran komunitas itu, juga lokasinya tidak perlu jauh-jauh naik travel. Amiin.
Pukul 17.15 kita resmi cabut, dengan travel yang sudah menunggu di depan gedung depdiknas. Mungkin bagi beberapa komunitas, ini pemandangan yang cukup mengherankan. Apalagi pas mereka tahu kita menginap di hotel. Secara hampir semua komunitas adalah swadaya dan minim fasilitas. Mereka menginap di stand. Yah, seperti kegiatan-kegiatan kampus dan gerakan mahasiswa gitulah. Salut ya!

0 komentar