Monday, March 26, 2007

BERITA:
Tempo edisi 26 Februari-4 Maret 2007

Teenlit dari Bilik Pesantren

Monday, March 26, 2007

Novel-novel pop marak diproduksi para santri. Tabir pesantren diungkap dengan gaul.

Cinta kemuliaan, membuat Dahlia rela banting tulang menjadi penari untuk menghindari keluarganya yang miskin. Cinta kebaikan membuatnya selalu ingin belajar untuk lebih baik. Dahlia memang perempuan yang dipenuhi cinta. Tak heran jika puetra dua pengasuh pesantren, Aiman dan Bilal jatuh hati padanya.
Jalinan cerita juga memunculkan konflik. Mbah Jalaluddin Rumi, ayah Aiman, membela Dahlia ketika Kiai Umar dan ormas Islam lainnya menyudutkan Dahlia dengan tariannya--yang dianggap haram.
Ada kisah lain lagi. Seuntai mawar dan surat berisi puisi tanpa nama pengirim tiba-tiba muncul di asrama pesantren puteri tiap akhir pekan. Mawar dan puisi itu ditujukan kepada Zahra. Pesantren puteri itu pun jadi geger.
Zahra tak tahu siapa pengirimnya. Karena itu ia bungkam ketika ditanya oleh petugas keamanan pondok. Gosip pun bererdar. Ada lesbi di asrama itu yang diam-diam mencintai Zahra. Sanah, santriwati senior yang selama ini dikenal dekat dengan Zahra, jadi tertuduh.
Isu ini khas pesantren, karena memang tak boleh seorang laki-laki pun memiliki akses ke pesantren puteri, kecuali keluarga kiai.
Dua cerita di atas adalah cuplikan novel Tarian Cinta dan Gus Yahya Bukan Cinta Biasa, dua dari banyak novel bergaya teenlit yang lahir dari pesantren, sekolah yang selama ini dianggap tidak gaul.
Kehadiran teenlit (teen literature) pesantren adalah buah dari maraknya novel teenlit impor yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Teenlit terjemahan itu menampilkan tokoh dan gaya hidup remaja kota yang relatif liberal. Remaja belasan tahun sudah terbiasa berciuman dengan lawan jenis dan pergi ke pesta-pesta.
Novel remaja, karya anak muda yang hidup dalam dunia yang berkecukupan ini, kerap menampilkan tokohnya yang mempunyai mobil probadi, kerap berlibur ke seantero dunia, nongkrong di kafe, memuja bintang pop, dan berbelanja di pertokoan terkenal.
Dengan mengadaptasi gaya dan teknik penceritaan seperti itu, sejumlah pengarang muda di Indonesia menulis teenlit ala Indonesia. Jumlahnya sangat fenomenal. Bahkan, beberapa di antaranya telah diangkat ke layar perak dan layar gelas.
Kini hadir pula novel pop gubahan para santri belia yang memberi warna tersendiri dalam dunia buku sastra remaja.
Teenlit pesantren berbicara tentang remaja dan ditulis oleh remaja. Fina Af’idatussofa, penulis Gus Yahya Bukan Cinta Biasa, misalnya tahun ini baru menjelang 17 tahun. Sementara Maia Rosyida, penulis Tarian Cinta, belum lagi 20 tahun.
“Gaya bahasa yang digunakannya pun sama, yakni bahasa gaul remaja yang sedang tren: penuh dengan istilah Inggris, banyak akronim dan style Jakarta,” jelas Redaktur Majalah Seni Gong, Hairus Salim.
Tapi jika ditelesik, kata Manajer Matapena, Nur Ismah, tetap ada sesuatu yang berbeda dalam teenlit pesantren. “Ada semacam pandangan khas pesantren, yang membuat ia tidak sekadar jadi cerita cinta remaja saja,” jelas Ismah (baca: Menelusuri Lokalitas Pesantren).
Ia lalu mencontohkan karyanya, Jerawat Santri. Ada tokoh Mahsa yang memberikan semacam kuliah mengenai reproduksi berdasarkan kaca mata fikih dan psikologi sosial kepada yuniornya, Una. Dalam Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji (2006), ada tokoh Rara yang menolak poligami. Untuk itu, Rara yang berjilbab modis mesti membatah dan berdebat dengan para seniornya di kampus.
Sedang dalam Taria Cinta karya Maia Rosyida dikisahkan kearifan dari Mbah Jalalauddin Rumi. Sang kiai tak serampangan memberi fatwa haram tarian Dahlia yang meniru gaya Toxis-nya Britney Spears.
“Nah, itu kan bukan sekadar cerita-cerita remaja to?” tegas Nur Ismah.
Ciri khas teenlit pesantren juga dipaparkan Hairus Salim. “Ada istilah-istilah fikih, referensi kitab dan buku pesantren, humor ala pesantren, bahasa prokem pesantren, dan lain-lain,” kata Salim yang sering meneliti sastra pesantren. Tengok polah Hadziq, santri Mbah Jalaluddin Rumi dalam Tarian Cinta, yang bersemangat membahasa kitab Qurratul Uyun. “Sengaja milih kitab yang agak menghibur. Maksudnya yang agak ‘porno’ biar nggak terlalu pusing dengan rumus nahwunya,” tulis Maia Rosyida dalam Tarian Cinta.
Ana FM dalam Cinta Lora menggunakan istilah ilmu hadis, serta panggilan khas untuk putera kiai di Madura yaitu Lora—disingkat dengan Ra—juga ditampilkan. “Menrut cerita yang dapat dipertanggungjawabkan alias mutawatir, Ra Faris dikenal sebagai aktivis yang superaktif dan tidak pernah ada kata cewek dalam kamus hidupnya,” tulis Ana.
Karya Fina, Maia, Ismah, Ana, dan banyak penulis muda lainnya itu dipublikasi penerbit Matapena yang berbasis di Yogyakarta. Lembaga ini memang paling giat membidani kelahiran teenlit pesantren. Kehadiran novel-novel itu dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dari novel remaja yang sudah terbit. “Matapena ingin memperkenalkan sosok remaja pesantren yang selama ini luput dari perhatian, bahkan sering dianggap tidak gaul,” kata Nur Ismah.
Untuk kepentingan ini, dibentuklah Komunitas Matapena. Ini adalah komunitas penulis muda pesantren. Mereka berkeliling ke sejumlah pesantren, menggelar diskusi buku dan membuat workshop penulisan. Kini sudah ada 45 rayon yang berbasis di pesantren-pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Untuk Jakarta dan Banten sedang dirintis. “Jumlah penulis yang telah direkrut sekitar 300-an,” ujar Ismah.
Sejak berdiri pada akhir 2005, Matapena berhasil meluncurkan 20 novel. Beberapa di antaranya telah dicetak ulang, bahkan Santri Semelekete karya Ma’rifatun Baroroh dan Pangeran Bersarung sudah dibeli sebuah rumah produksi untuk diangkat ke layar sinetron.
Sedangkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang juga giat mengembangkan kemampuan menulis di kalangan remaja Islam mengakui tidak mempunyai lini khusus yang menangani sastra pesantren. “Walaupun begitu, ada juga novel dari komunitas kami yang mengambil latar cerita kehidupan pesantren,” kata Ketua FLP Yogyakarta I. R. Wulandari.
Menurut Salim, pertumbuhan generasi baru penulis novel dari pesantren saat ini bagi cendawan di musim hujan. Unik, memang. Mengingat umumnya pesantren masih melarang santrinya membaca buku-buku ‘putih’, yaitu buku karya penulis anyar apalagi dianggap pop. “Mereka hanya diwajibkan untuk membaca dan mempelajari kitab kuning, yakni buku-buku keagamaan yang ditulis dalam bahasa Arab,” ungkap Salim.
Pandangan ‘kaku’ seperti itulah yang menyulitkan Ismah masuk ke pesantren. Tetapi setelah melakukan pendekatan kepada kalangan pimpinan pondok bahwa gerakan ini untuk kepentingan satri, barulah kehadiran mereka disambut baik. “Kini bukan lagi kami yang menawarkan, sejumlah pesantren juga telah meminta para penulis Matapena untuk memberikan workshop penulis di pesantren-pesantren mereka,” jelas Ismah.
Jika diperkirakan ada sekitar 3 jutaan santri di seluruh Indonesia, maka hadirnya karya-karya remaja pesantren jelas cukup rasional dari segi pasar. Tapi bukan soal pasar yang paling penting. Komunitas Matapena, dengan caranya sendiri telah mengembangkan kegiatan menulis. Mendorong minat baca, kini mereka jadikan sebagai suatu gerakan. Sebuah tindakan terpuji yang patut didukung, bukan dipasung.

Oleh: Nurul H. Maarif, Gamal Ferdhi

0 komentar

Sunday, March 25, 2007

BERITA:
Tempo edisi 26 Februari-4 Maret 2007

Menelusuri Lokalitas Pesantren
Nur Ismah, Manajer Matapena

Sunday, March 25, 2007

Kiprah perempuan mungil itu memang tidak bisa dipisahkan dari teenlit (teen literature) pesantren atau yang kadang disebut novel pop pesantren. Nur Ismah, nama perempuan kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 23 Desember 1978 ini, adalah Manajer Matapena, sebuah divisi di penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.
Matapena khusus menerbitkan karya-karya sastra remaja dari kalangan pesantren dan bercerita tentang remaja pesantren. Namun Ismah bukan sekadar manajer. Penulis dengan nama pena Isma Kazee ini, telah membesut dua teenlit pesantren yaitu Jerawat Santri (2006) dan Ja’a Jutek (2007).
Pesantren memang bukan dunia asing bagi Ismah. Pahit manisnya masih membekas hingga sekarang. Maklum, ia menghabiskan tujuh tahun masa remajanya di Pesantren Putri Al-Fathimiyyah, Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
Selepas dari pesantren, Ismah hengkah ke Yogyakarta dan mengambil kuliah di Jurusan Sastra Arab, Universitas Islam Negeri (UIN), Sunan Kalijaga. Kegiatan menulis yang ia pupuk sejak nyantri dan keterlibatannya dalam dunia pers mahasiswa, mengantar Ismah ke dunia kini.
Ismah punya alasan kenapa harus membesarkan teenlit pesantren. “Selain ingin menandingi gaya hidup remaja perkotaan yang ditawarkan teenlit pada umumnya, juga ingin menunjukkan Islam pesantren yang membumi.”
Hal itu ia tunjukkan dalam karyanya. Tengok saja Jerawat Santri. Di situ ada tokoh Mahsa yang memberikan semacam kuliah mengenai reproduksi berdasarkan kaca mata fikih dan psikologi sosial kepada yuniornya, Una.
Contoh lain bisa disimak dalam Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji (2006). Di sana, ada episode ketika tokoh Rara menyatakan poligami. Untuk itu, Rara membantah dan mendebat para senior yang disebutnya sebagai kalangan dombor. “Nah, itu kan bukan sekadar cerita cinta remaja toh?” kilah Nur Ismah.
Ismah menambahkan, ada kisah tentang kearifah Mbah Malaluddin Rumi, dalam Tarian Cinta karya Maia Rosyida. Pesan pokoknya: tak serta-merta memfatwa haram tarian Dahlia yang mirip Toxic-nya penyanyi tenar Britney-Spears. “Kalau novel lain, hal itu pasti haram,” kata Ismah.
Namun dalam cara berbicara, hobi, pakaian, selera musik dan film, jelas Ismah, teenlit pesantren tetap mengikuti pakem zamannya. “Remaja di mana pun, kini memiliki kultur gaul yang pada dasarnya adalah kultur global atau kultur MTV. Televisi jelas menjadi ‘imam’ dari kultur ini,” kata Ismah.
Karena itu, ujar Ismah, banyak orang menilai teenlit pesantren tak beda dengan teenlit pada umumnya. Bahkan dituding tak punya ciri khas. “Penilain ini kalau semata melihat kemasannya,” kata mantan reporter majalah perempuan dan anak MITRA YKF-LKPSM Yogyakarta ini.
Tapi jika ditelesik, kata Ismah, ada ciri khas dalam teenlit pesantren. “Ada semacam pandangan khas pesantren yang membuat ia tidak sekadar jadi cerita cinta remaja saja,” jelasnya.
Banyak tradisi pesantren yang belum diolah jadi cerita. Sebab itu, Ismah yakin bahwa tema-tema pesantren tidak akan pernah habis digali. “Pesantren seperti juga etnik, memiliki lokalitasnya sendiri. Nah, lokalitas-lokalitas itulah yang akan terus kita telusuri.”

Oleh: Hairus Salim dan Gamal Ferdhi

0 komentar

Saturday, March 24, 2007

BERITA: Tempo edisi 26 Februari-4 Maret 2007

Sastra Pop Kaum Sarungan

Saturday, March 24, 2007

Oleh: Ahmad Suaedy
Direktur Eksekutif The WAHID Institute—Jakarta


Dalam konteks pergeseran peran pesantren, fenomena teenlit sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia boleh jadi merupakan buah dari proses perubahan dan terbangunnya sistem baru dari dunia yang pernah dianggap paling kolot itu.

Teenlit (teen literature) pesantren atau sastra pop remaja pesantren boleh jadi merupakan kelanjutan perubahan dunia pesantren yang terlanjur terbuka atas informasi dan tak bisa lagi menolak perubahan. Namun, dunia dan bakat alam mereka seperti luput dari pengamatan banyak pihak. Para santri remaja itu begitu tekun dengan dunia mereka sendiri, tak peduli hiruk-pikuk para orang tua mereka.
Meskipun kini pesantren sedang digempur dari berbagai arah dan ditarik kanan kiri, para santriwan yang suka pakai sarung dan mukena bagi santriwati, itu rela berjam-jam nongkrong di depan komputer.
Mereka menulis, merefleksi dan menggugat lingkungan dan pemikiran dunia mereka sendiri yang selama ini dianggap menyesakkan. Hasilnya adalah novel, cerpen, kumpulan puisi, dan karangan lainnya. Beberapa karya mereka bahkan dibeli oleh production house (PH) untuk diangkat ke sinetron TV.
Dahsyatnya arus informasi melalui berbagai saluran, tidak mungkin dicegah dengan cara apa pun. Internet dengan seluruh situsnya dan TV dengan semua kanal yang ada dengan mudah bisa diakses oleh segala umur. Hanya kesadaran pribadi dan lingkungann yang bisa membimbing mereka. Para penulis remaja itu, adalah di antara mereka yang mampu memanfaatkan arus informasi tersebut dengan maksimal untuk memproduksi gagasan.
Dilihat dari bahasa, jalan cerita, istilah yang digunakan, tak ada bedanya dunia para penulis pesantren ini dengan sastra pop remaja atau teenlit umumnya. Bedanya novel-novel itu banyak mengambil setting pesantren. Tak sedikit yang memakai term-term kutab kuning, menyinggung kehidupan agama, terkadang berupa kritik dengan sangat tajam.
Para santri remaja nan kreatif ini tentu harus terus didorong. Mereka sedang mencari dunia mereka sendiri dengan menggunakan referensi yang mereka pelajari di pesantren. Hal ini lalu mereka kaitkan dengan realitas yang mereka serap dari dunia nyata.
***
Dalam konteks pergeseran peran pesantren, fenomena teenlit sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Ia boleh jadi merupakan buah dari proses perubahan dan terbangunnya sistem baru dari dunia yang pernah dianggap paling kolot itu. Sejak digagas oleh Gus Dur dan kawan-kawan atas dunia pesantren dan Nahdhatul Ulama, gerakan pembaharuan itu bergulis terus hingga kini, melampaui apa yang dipikirkan saat itu.
Di pelbagai daerah, dari tingkat kecamatan hingga desa, di kawasan basis pesantren, para santri umunya punya komunitas tersendiri. Terbentuklah berbagai kelompok, seperti kelompok remaja, pelajar, dan mahasiswa yang berlatar belakang pesantren. Ada kelompok diskusi, kajian kitab kuning, bahtsul masail sampai kelompok advokasi serta tulis-menulis sampai pendidikan alternatif.
Tengok saja di ‘sekolah alternatif’ SMP dan SMU Qoryah Tayyibah, di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah. Di sekolah yang baru empat tahun berdiri itu, lahir tiga penulis berbakat, yaitu Maia Rosyida, Fina Af’idatussofa dan Upik. Sekolah ini dikelola dengan pendekatan semacam komunitas riset untuk anak-anak seusia pelajar. Mereka diberi fasilitas internet 24 jam sehari dan perpustakaan, serta dipersilakan untuk memilik topik kajian secara orang per orang dan kelompok. Tetapi setiap zuhur dan ashar mereka wajib berjamaah bersama dan di malam hari harus mengikuti sekolah diniyah di pesantren desa itu. Dan, guru hanya berfungsi sebagai pembimbing.
Komunitas Azan di desa Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat lain lagi. Kelompok yang dipimpin Acep Zamzam Noor, yang bergerak di wilayah kajian sastra, telah melahirkan puluhan seniman dan penulis. Bersama seniman di Tasikmalaya lainnya, mereka berhasil meyakinkan pemerintah daerah untuk mendirikan Gedung Kesenian, sejak 6 tahun lalu. Konon, ini adalah Gedung Kesenian pertama di Kabupaten di Indonesia.
Lambat-laun terbangun pula sistem penerbitan, percetakan, dan pemasaran. Penghargaan untuk para penulis, pemantauan bakat, dan mobilisasi karya-karya mereka makin digalakkan. Saya jadi ingat kata-kata Gus Dur suatu saat pada tahun 70-an di Institue Teknologi Bandung (ITB) bahwa kebangkitan Islam hanya akan terjadi jika telah ada kebebasan berkreasi dan kebebasan berekspresi di dunia Islam.

0 komentar

Tuesday, March 06, 2007

Perjalanan Workshop dan Temu Penulis Matapena

Tuesday, March 06, 2007

PP Al-Falah II, PP Darul Qalam,
PP La Tansa, dan PP Al-Mizan
21—28 Pebruari 2007


Perjalanan Dimulai…

Dari halaman kantor, perjalanan paling panjang dalam sejarah road show Matapena ini dimulai. Jamal mengawal keberangkatan saya, Jumawan, dan Ian menuju terminal, untuk menjemput Fina, Maia, dan Bu Dewi. Kasihan mereka ya, harus rela kelaparan menunggu kami sampai di terminal. Rencananya tiga orang dari Salatiga itu mau naik travel. Tapi, berhubung sang pemesan tiketnya kelupaan sampai jam pemberangkatan, terpaksa mereka naik bus dua kali turun sampai terminal Jogja.
Sebelum makan, lebih dulu Jamal membawa mobil menuju Nurul Ummah untuk menjemput Sobri. Jadi, total jiwa yang berangkat dari Jogja adalah 8 orang. Pas dan sesuai dengan jumlah jok mobil kita.
Alhamdulillah malam itu tidak gerimis apalagi hujan deras. Kita bertolak sekitar pukul sembilan malam, dikawal Jamal yang pegang kemudi. Dan, ketika sampai di Cilacap, saudara Ian menggantikan posisi Jamal. Menghemat waktu, yang biasanya dipakai Jamal untuk ngaso barang tiga puluh menit di pom bensin.
Dua puluh menit pertama, saya masih bisa bertahan, coba menemani Ian dengan ngobrol dari A sampai Z. Tapi, memasuki menit kedua puluh lima, mata saya sudah tiarap-tiarap. Memaksa saya untuk zzz…zzz…zzz, dan maaf, untuk selanjutnya saya tak ingat apa-apa lagi.

PP. Al-Falah II Nagrek Bandung
Workshop Penulisan Novel I


Saya membuka mata ketika mobil sudah memasuki jalan gang menuju Al-Falah II, ketika azan subuh mengalun dari masjid pesantren. Lebih cepat dari perjalanan ke Al-Falah II yang dulu. Kita langsung berpencar, cewek ke kobong puteri, cowok ke kobong putera, istirahat barang beberapa jam untuk acara workshop siang harinya.
Pukul 08.00 pagi kita terpaksa bangun dulu, setelah antri kamar mandi bareng santri puteri dan sepatu bagus saya kena guyur air, untuk sowan Pak Kiai. Rasanya senang dan bahagia sudah disambut dan diterima dengan baik oleh pengasuh Al-Falah II itu. Meskipun Al-Falah II lebih memprioritaskan pengajaran dan seni baca Al-Qur’an, Pak Kiai tetap memandang pentingnya tulis-menulis, yang menurutnya adalah pengikat untuk semua materi dan pengalaman santri. Tanpa ikatan, semua yang diketahui dan dialami santri pasti akan hilang sia-sia.
Workshop di Al-Falah II diikuti oleh 39 anggota komunitas. Tapi, dalam perjalanannya beberapa anak absen karena kesibukan dan kegiatan yang lain. Workshop dibuka pukul 13.00 oleh Pak Uyun, dan ditutup Jum’at sore, menjelang maghrib oleh Pak Kiai langsung.
Hari pertama forum masih tampak kaku. Masih taraf penyesuaian. Pertama penyesuaian Fina dan Maia untuk mengisi pelatihan, penyesuaian peserta putera berbaur dengan peserta puteri, dan penyesuaian para peserta sama model pembelajaran orang dewasa. Sementara untuk penyesuaian peserta putera berbaur dengan peserta puteri dan penyesuaian dengan pendidikan orang dewasa, bisa dicairkan dengan model permainan. Daripada mereka duduk berbaris menjadi dua bagian, putera dan puteri, yang berjarak lima meteran, dengan ruangan aula yang luuuuwwwaaaas banget. Pantes bisa menguras suara!
Sesi berikutnya, peserta lebih diintensifkan dengan permainan dan kelompok. Yaitu, untuk sesi penggalian ide dan gagasan, pengenalan struktur cerita, sampai praktik penulisan. Dengan model permainan, paling tidak peserta jadi tidak diam di tempat, dan curah gagasan bisa lebih bebas dengan forum yang lebih kecil.
Untuk praktik penulisan mulai pukul 08.00—14.00, dengan setting cerita tidak harus pesantren. Secara tidak mudah ternyata untuk membuat mereka tertarik dengan dunia sendiri dan menuliskannya untuk orang lain. Malah masih banyak yang model tulisannya sejenis diakhiri dengan pertobatan setelah melakukan kesalahan atau dosa.
Tapi, ada juga yang sudah lumayan bagus tulisannya, tinggal rajin digesek saja. Fina sama Maia juga tampak terkesan. Malah kalau kata Fina, setting Al-Falah II sama persis dengan imajinya tentang pesantren dalam Gus Yahya. Acara ditutup menjelang maghrib, dan kami pamit. Bertujuh tanpa Shobri, dari Al-Falah II bakda maghrib, kami menuju Gondrong Petir Tangerang, tempatnya Kafi bersaudara.

PP Darul Qalam
Gintung Tangerang
Creative Writing dan Temu Penulis Matapena


Sebelum sampai Gintung kita sempat makan-makan di tol Cikampek, dan duduk-duduk sebentar di teras rumah Kafi sambil menunggu Ian pinjam mobil untuk angkut buku sama Engkongnya. Perjalanan menuju Gintung kurang lebih dua jam. Kira-kira pukul sebelas malam kita sampai di wisma PP Darul Qalam.
Beginilah enaknya bertamu di pesantren modern. Sudah disediakan kamar untuk istirahat dan melepas lelah. Berupa wisma berlantai dua. Kita dapat nomor 207 sama 208. Berhadap-hadapan.
Pukul 06.00 saya sudah bangun, dan pagi itu suara saya langsung berubah bunyi. Entah karena apa, dan kalau menurut analisa Jamal, gara-gara sop buntut di tol Cikampek semalam. Kasihan! Mana di tempat ini, menu sarapan paginya pakai nasi uduk ples sambal jengkol lagi. Sangat tidak nyaman di tenggorokanku. Tapi, alhamdulillah, saya masih bisa menjelaskan kedatangan sama Ustadz Odi yang berdasi, juga tentang keunikan Matapena yang lain daripada yang lain. Saya juga masih bisa menyapa teman-teman PP Darul Qalam yang hadir pagi itu, sekitar 120-an anak. Dari kelas SMA. Acara pertama pembukaan, dilanjut dengan sharing kepenulisan oleh Maia dan Fina. Mencakup semua materi yang sudah saya tuliskan dalam jadwal. Hanya saja ada perubahan, untuk sharing dipadatkan sampai sebelum zhuhur, sehingga bakda zhuhur teman-teman langsung praktik bikin tulisan.
Suasana dan jalannya forum di PP Darul Qalam lebih cair dan semarak. Mungkin karena Maia dan Fina sudah terkondisikan sama model fasilitasi, dan anak-anak biasa berbaur antara cowok dan cewek. Potret santri modern. Berseragam celana-atasan serba putih dan ber-id card.
Termasuk ketika temen-temen diminta sama Maia untuk menceritakan keunikan Darul Qalam. Meluncurlah cerita jaros, shopping malam (ngambil banyak cd di jemuran malam-malam), all in one (sikat gigi, sabun, sampo, bareng-bareng ples cara penanggulangannya), termasuk kenakalan-kenakalan mereka yang khas santri. Cuma sayangnya, yang unik-unik itu justru luput dari pengamatan mereka pas penggalian ide. Untuk soal ini memang masih susah buat mengajak santri lebih melihat ke dalam diri dan pesantren mereka. Ada beberapa yang sudah nulis dalam bentuk novel di buku tulis mereka. Sudah bagus. Tinggal temanya aja yang belum mematapena.
Acara berlangsung sampai malam, bakda isya. Beberapa peserta ada yang tertarik sama komunitas Matapena. Dan, setelah konsultasi sama pembimbing, saya menitipkan formulir untuk dikoordinasi. Besok, sekalian mengirimkan kembali hasil tulisan mereka yang bagus ke Darul Qalam, bisa ditindaklanjuti pertemuan berikutnya. Kita resmi meninggalkan Darul Qalam jam sepuluhan. Dengan rombongan bersepuluh, ketambahan Deny, Damawi, dan Kafi. Perjalanan ke La Tansa kurang lebih dua jam, melewati perbukitan yang gelap gulita. Seperti mau masuk ke sarang penyamun!

PP La Tansa Mashiro
Rangkasbitung Banten
Creative Writing dan Temu Penulis Matapena


Udara di La Tansa lebih dingin, jadi malas buat bangun. Acara pagi dimulai dengan sowan ke rumah Pak Ardian, putera mahkota pengasuh La Tansa. Menjelaskan maksud kedatangan dan lain sebagainya. Ini adalah almamater saudara Ian dan Deny. Sambutan Pak Ardian sangat responsif, secara ini juga merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh alumni, apalagi misi La Tansa adalah mencetak generasi santri di berbagai lini dengan skill pilihan masing-masing, termasuk tulis-menulis dan kewartawanan.
Acara di La Tansa tidak jauh berbeda dengan di Darul Qalam. Hanya saja tidak secair di Darul Qalam. Mungkin karena pesertanya dipilih, dan energi fasilitornya sudah di ambang batas. Kelihatan banget kalau Fina dan Maia sudah bosen dan jenuh. Sementara suara saya belum juga pulih.
Tapi, respon peserta yang berjumlah 100-an itu lumayan bagus. Bisa diajak ngobrol soal tema yang menarik untuk dituliskan dari pesantren. Terutama dukungan dari pengasuhnya, Pak Sholeh, menantu, suami kakaknya Pak Ardian. Malah ada beberapa yang sudah nulis novel. Cuma ya, belum novel pop pesantren. Rata-rata mereka belum merasa tertarik untuk menuliskan tema yang satu ini. Meskipun sebelum praktik, Fina dan Maia sudah membeberkan sisi menariknya tema pesantren.
Acara ditutup pukul lima sore. Dan, Pak Adrian membuka tangan lebar-lebar untuk pendampingan komunitas, dan meminta Ustadz Pipin untuk mengkoordinasi.
Malam harinya, bakda maghrib, kita sowan-sowan lagi sambil menikmati makan malam ples nunggu mau dibelikan durian buat oleh-oleh tapi tidak jadi. Kita resmi cabut dari La Tansa pukul delapan malam.

PP Al-Mizan
Rangkasbitung Banten
Creative Writing dan Temu Penulis Matapena


Perjalanan menuju Al-Mizan sempat diwarnai dengan adegan saya mabuk darat, sama mobil punya Engkong yang mogok. Bersyukur kita punya Jamal yang handal, dan Bu Dewi yang dengan ikhlas ngerokin dan mijitin saya. Terima kasih…
Di Al-Mizan kita menginap di wisma, seperti juga di La Tansa. Jadi, kedua pesantren ini juga tergolong modern, seperti tulisan yang tertera di gerbangnya. Pagi sebelum jam delapan, kita sowan dulu ke rumah Pak Kiai yang pakai jas rapi. Ada acara perkenalan dan menjelaskan maksud kedatangan.
Forum di Al-Mizan tak jauh berbeda dari La Tansa. Diikuti oleh 120-an santri. Sebelum sesi praktik kita pakai permainan puzzle cerita untuk mengenali yang namanya sturktur cerita. Cuma sepertinya masih perlu model permainan yang lebih menantang lagi, untuk membuat teman-teman di Al-Mizan bias lebih ekspresif. Forum ditutup pukul lima sore, sebelum pamitan sama Pak Ustadz pembimbing, saya sempat menjelaskan tentang komunitas Matapena. Dan, menurut Pak Ustadz, hasil pertemuan ini akan dilihat dulu, jika teman-teman tertarik dan ada minat, akan ada kontak dari pesantren untuk pertemuan berikutnya.
Sekeluar kami dari Al-Mizan, rasanya lega sekali. Paling tidak 80% perjalanan sudah terlewati. Tinggal satu, yaitu di Wahid Institute (WI). Bersyukur juga workshop di Al-Falah II ditaruh di depan. Ketika kondisi fisik dan psikis masih fit, secara di Al-Falah II jugalah yang perlu lebih banyak konsentrasi dan perhatian daripada empat tempat yang lain. Ini juga diakui oleh Fina dan Maia. Paling tidak, kenangan dan kesan manis di Al-Falah II bisa menjadi obor semangat, juga bahan pembicaraan dan olokan sepanjang perjalanan berikutnya.
Kita cabut pukul setengah enam. Sebelum kembali ke Gondrong Petir, mampir dulu ke rumah Deny, makan malam pakai sayur asem. Dan, tiba di rumah Kafi pukul sembilanan malam, masih juga dijamu pakai sayur asem. Mabok asem deh!

Wahid Institute
Matraman Jakarta


Malam harinya saya sempat SMS sama Mas Suaedy soal acara dan waktu pelaksanaan di WI, dan dibalas pagi harinya. Acaranya pukul dua, dan semacam share pengalaman menulis dari saya, Fina , dan Maia. Oleh karena itu menurut Ian, berangkat pukul 11.00 masih bisa. Cuma karena saya pingin kopdar sama adikku, dan Maia pingin jalan-jalan ke Gramedia, akhirnya kita berangkat jam 10.00 menuju ke mall Taman Anggrek. Dari mall Taman Anggrek langsung menuju WI. Tapi, biarpun yang nyetir orang Jakarta, tetaaap saja pakai acara mubeng-mubeng nyasar. Suasananya jadi tambah panas dan gerah! Apes deh!
Sampai WI pas jam setengah dua, padahal kita belum makan. Semula mau makan di salah satu warung, tapi kata orang WI sudah disediakan. Akhirnya kita manut saja, yang ternyata mereka tidak tahu kalau kita datang berombongan. Jadi cuma menyediakan empat porsi pas. Kasihan! Tapi, tetap saya menjelaskan kalau para cowok itu adalah teman-teman saya yang juga kelaparan.
Setelah menunggu kami makan dan Mas Jamal dari Horison yang belum datang, acara di WI dimulai pukul dua siang. Dihadiri oleh 100-an peserta dari anak-anak SMA dan IPNU-IPPNU, juga undangan dewasa yang bukan anak ABG. Seumur-umur mengikuti forum, baru kali ini settingnya tampak serius dan ngartis. Bagaimana tidak, lha wong sepanjang acara blitz kamera tidak berhenti berkilap-kilap. Belum lagi, setelah forum saya langsung diserbu beberapa teman dari NU, LSM, staf perpustakaan, sekadar tukar kartu nama dan meminta izin untuk mewawancara Fina dan Maia *manajer abiz!*.
Saya juga bertemu dan ngobrol dengan Ruslan Ghofur yang sekarang sudah lulus dan sedang menggarap skenario untuk program pembelajaran di TVRI. Selain bertemu dengan Nur Hasyim yang editor dan penulis, Jefry yang kakak kelas di Adab… yang keheranan dengan suplemen liputan Matapena di Tempo. Juga, Hamzah Sahal yang … tapi tidak kesampaian.
Perjalanan forum di WI sangat seru dan menarik. Pertama Mas Suaedy memberikan sambutan. Setelah Mas Suaedy, saya mendapat kesempatan lebih dulu, menjelaskan tentang Matapena dan komunitas. Dilanjut dengan bagi pengalaman menulis oleh Maia dan Fina. Di forum ini ekspresi kebebasan mereka benar-benar keluar. Tidak ada kesan sok menggurui dan sok dewasa. Gaya bicara yang ceplas-ceplos dan apa adanya inilah yang beberapa kali membuat peserta dibuat terpingkal dan geleng-geleng kepala. Misalnya, ketika Fina bercerita tentang data novelnya yang hilang sampai menangis berhari-hari dan mogok sekolah, dan ini dituliskannya dalam Gus Yahya Bukan Cinta Biasa. Atau, Maia yang protes dengan redaksi karena pergantian judul dari Kiai Tawuran jadi Tarian Cinta.
Lebih menarik lagi ketika Mas Jamal coba memetakan posisi teenlit pesantren dalam bingkai sejarah kesusastraan Indonesia. Menurutnya, kelahiran teenlit jenis ini merupakan gebrakan setelah 1960-an pesantren muncul dalam sastra sebagai tema oleh Jamil Suherman. Kemudian periode berikutnya oleh Abidah el-Khaliqi dan Faradiba. Dan, baru lima atau sepuluh tahun terakhir, ketika terjadi gelombang besar dalam Sastra Indonesia dengan lahirnya penulis muda yang menuliskan pengalaman mereka, teenlit pesantren muncul menandai masuknya pesantren dalam tema sastra Indonesia modern yang mengayakan tema teenlit yang sudah ada. “Kelahiran ini sekaligus menandakan akhir dari alienasi pesantren dari kehidupan masyarakat kota,” tambah Mas Jamal.
Mas Jamal sangat apresiatif menyambut kemunculan sastra jenis Matapena. Kelahiran teenlit merupakan sesuatu yang menarik dalam sejarah sastra, terkait dengan sumbangsih untuk perkembangan Sastra Indonesia. Namun demikian, menurut Mas Jamal, perlu dijaga bagaimana teenlit ini tidak melupakan penggunaan bahasa Indonesia yang baku alias baik dan benar dan perlu juga dipikirkan untuk menjaga napas keberlangsungan teenlit ini mengingat napas hidupnya biasanya tidak panjang. Tapi, jika kekuatan santra ada pada lokalitas, yaitu sesuatu yang dekat dan lekat dengan penulis, teenlit pesantren sudah mempunyai satu peluang untuk menggali nilai dan aspek dari pesantren yang melimpah. Dan, jika ini dirangsang secara maksimal, para santri akan bisa menuliskan apa yang mereka khayati dan alami dengan baik.
Saya terus terang tertarik dengan penyampaian Mas Jamal, ples menumbuhkan kepercayaan diri sebagai penulis novel pop pesantren. Saya jadi berseloroh sama Maia lewat tulisan, “Seandainya ada penulisan sejarah sastra Indonesia kontemporer, maka nama kita akan tertulis di dalamnya sebagai penulis genre pop pesantren…hihihi.”
Acara di WI ditutup molor sepuluh menit dari rencana, 16.40 WIB. Saya, Fina, dan Maia mendapat dua amplop besar dari WI berisi klipingan koran tentang demokrasi dan kegiatan sastra, ditambah 3 eks buku terbitan WI. Setelah melayani beberapa teman, dari tukar kartu nama, foto bersama, kasih tanda tangan, sampai wawancara dan ngobrol, juga melayani tawaran makan dari Mas Suaedy yang ternyata nunggu pesanannya lamaaa benget! *sampai teman-teman rombongan jadi bete dan bermuram durja*, kami resmi cabut dari WI pukul setengah delapan malam.

Perjalanan Berakhir

Perjalanan pulang dikawal sama Jamal lewat jalur selatan, mampir dulu di Al-Falah II mengambil pesanan dan menitipkan pesanan Maia buat some one. Sampai Cilacap, seperti perjalanan berangkat, setir dipegang sama Ian. Masih juga seperti kemarin berangkat, saya coba menemani dengan ngobrol dari Z sampai A. Suasananya sudah tidak sepanas siang atau segerah ketika di WI. Lebih dingin, segar, dan nyaman. Meski beberapa kali harus mencoba-coba jalur alternatif, secara dik sopir tidak biasa menunggui jalanan yang macet. Tapi, lagi-lagi mata saya sudah tiarap-tiarap, tidak sanggup lagi untuk terjaga. Akhirnya dengan sangat terpaksa saya terlelap dan tak ingat apa-apa lagi.
Saya terbangun ketika sudah sampai di Wates, lalu mampir di warung makan secara saya tidak tega membiarkan teman-temanku kelaparan sampai rumah. Mungkin karena kebaikan saya ini, Jamal dan teman-teman berkenan mengantarkan saya sampai jalan sempit depan rumah. Jadi terharu, apalagi saya cuma bisa bersalaman ala mahasiswa pergerakan, mengucap terima kasih, dan ber-say good bye. Senang bisa bekerja sama dengan kalian …

Yogyakarta, 6 Maret 2007

0 komentar