Thursday, December 21, 2006

TATAPAN SEPASANG MATA BIRU

Thursday, December 21, 2006
Sebuah Perjalanan Workshop Kepenulisan I
Di PP Raudhatul Ulum Ganjaran Gondanglegi Malang
Kamis-Jum'at, 30-31 November 2006
Workshop Kepenulisan I (WK I) di Roudhotul Ulum dijadwalkan selama dua malam satu hari. Dimulai malam Jumat, diakhiri malam Sabtu. Kenapa sedemikian singkat? Karena liburnya pesantren mang cuma hari Jumat. Jadi, ya menyesuaikan.
Pukul 21.00 WIB acara dimulai. Peserta yang semula direncanakan sejumlah 28 orang, nggak tahunya membengkak menjadi 35 orang. Dan, yang lebih mengejutkan, dari 35 orang itu, nggak ada seorang pun yang berjenis kelamin laki-laki. Sekali lagi, semuanya cewek… Pantesan kalo Zaki Zarung dan Mahbub Jamaluddin jadi merasa paling ganteng di sarang penyamin itu. Setelah acara pembukaan, Kang Ipeng ngisi stadium general. Ringkas, jelas, padat, dan tentu saja berisi. Nggak ada satu jam malah, yang kemudian langsung disambung sama Zaki untuk materi Fiksi dan Non-Fiksi sampai pukul 22.10 WIB.
Untuk sesi pertama ini, peserta sangat antusias, mungkin karena baru pertama kali itu lihat sang idola. Mereka pada mlongo khusyuk, bukan mendengar materi, melainkan mengamati si pembicara dengan gemas. Ternyata aslinya beda banget sama foto yang terpampang dalam biografi pengarang novel SBG. Sehingga Zaki harus berdalih, “Itu kan foto waktu masih muda.” Tak jauh berbeda waktu Mahbub ngisi materi 'menangkap ide'. Peserta ternyata juga antusias. Mungkin karena Mahbub memulai session ini dengan permainan logika yang menjadi dasar penyampaian materi. Dalam session ini, peserta diajak mengenali sumber-sumber ide, bagaimana menemukannya, bagaimana memperkaya dan mengembangkannya.
Selain dua materi itu, ada juga materi Teknik Penulisan Fiksi dan Olah Bahasa. Dengan dua materi ini, peserta diingatkan kembali tentang struktur cerita dan bagaimana menuangkan ide dalam bentuk tulisan yang bersruktur. Langsung praktik juga. Nggak berat-berat kok. Cukup dengan menuliskannya dalam bentuk cerpen. Karena target WKI memang baru pada tahap penulisan cerpen.
Antara 15.30-17.30 WIB, setiap peserta disilakan menuliskan ide yang sebelumnya sudah dielaborasi bareng-bareng. Musik iringan sesi ini dipiluh khusus lho, yaitu musik kitaro dan puisi gus mus: perempuan cantik sekali di multazam. Tapi, ternyata sampai waktu habis, peserta belum selesai juga. Akhirnya, forum ditutup dan tugas diselesaikan di kamar masing-masing. Peserta menyerahkan karyanya pukul 19.00, langsung ke kamar Gus Mahbub dan Gus Zaki (waktu itu kita jadi 'Gus' dua hari, lho. Soalnya mendadak kita punya khadam, bernama Mahrus hehehe. Becanda, Kang Mahrus!).
Pada kenyataannya, karya peserta baru terkumpul semua pada pukul 20.00. Padahal menurut rencana pukul 19.00-21.00 mau dipakai untuk membaca karya peserta, mendiskusikan apa yang kurang atau kelebihan. Namun, karena mundurnya penyetoran karya, dan ditambah beberapa menit acara di meja makan (Kiai Ato baru ketemu kita, sehingga ndobos bersama selama sepuluh sampai dua puluh menit), jadinya ada beberapa menit terkurangi. Acara berjalan sampai pukul 23.00.
Pukul 23.00-23.15, Zaki-Mahbub menutup WK I dengan gambaran umum tentang program pendampingan Matapena secara keseluruhan dan tindak lanjut dari WK I. Juga dikasih suntikan semangat agar peserta kontinu berkarya, dan digarisbawahi oleh Bu nyai Aisyah (istri Kiai Atho) dengan mauizhah dan tuntutan kepada para peserta untuk menyambut proses pendampingan tersebut dengan karya nyata. Amiiin.

0 komentar

Friday, December 08, 2006

Workshop untuk Komunitas

Friday, December 08, 2006
Dalam rangka menindaklanjuti pembentukan komunitas Matapena di beberapa rayon pesantren, Rabu, 15 November 2006, redaktur Matapena dibantu Zaki, Mahbub, dan Pijer coba menggodok program workshop selama proses pendampingan komunitas.
Paling tidak ada lima point yang kita tuju dengan pengadaan workshop ini: 1. Memberikan manfaat praktis kepada para anggota dalam tulis-menulis. 2. Menyuport lahirnya penulis untuk naskah-naskah novel pop pesantren. 3. Menciptakan ruang dialog antara anggota dan penulis buku Matapena. 4. Menciptakan ruang pertukaran informasi seputar buku-buku Matapena dan komunitas. 5. Menjaga intensitas pertemuan dan loyalitas anggota terhadap komunitas.
Setelah proses pendaftaran, anggota berhak mengikuti workshop penulisan, spesifikasi nulis novel, yang dibagi dalam tiga tingkat: 1) dasar, 2) menengah, 3) lanjut. Setiap workshop disempurnakan dengan praktik yang dijadwalkan untuk bulan-bulan berikutnya, sesuai target masing-masing tingkat. Rentang waktu dari pendaftaran, verifikasi data, pembuatan PIN anggota, workshop I, II, III, dan wisuda direncanakan selama 12 bulan atau satu tahun.
"Hm, ada wisuda juga to?"

"Yup. Tapi bukan dengan skripsi atau tesis atau disertasi. Melainkan novel pop pesantren."

"Amiiin. Amiiin. Amiiin."


0 komentar

Friday, November 03, 2006

BERITA: Kompas, 3 November 2006

Friday, November 03, 2006
Pencerahan Novel Pop Pesantren

Novel pesantren yang banyak ditulis oleh santri masih diminati. Kebanyakan buku yang berkisah seputar kehidupan di pesantren itu ditulis dengan menggunakan bahasa gaul, seperti dalam novel chicklit atau teenlit.

“Berhenti!” Rara njumbul. Kaget banget. Suara dia? Kok nggak jamaah. Penasaran Rara membalikkan tubuhnya. Ia tidak berani menatap wajah seniornya itu. Bukan apa-apa, melainkan karena nggak mau melihat wajah sadisnya saja. Buat menjaga hati supaya tidak benci. Untung handphone sudah dititipin ke Kang Idris. Kalau belum?

____________________________

Oleh: Agnes Rita Sulistyawaty
Rara, santri di Pondok Pesantren Al-Firdaus, sedang asyik menjadi aktivis kampus di masa awal menjadi mahasiswa. Karena itu, ia selalu tiba di pondok setelah maghrib. Padahal, para santri diharuskan kembali ke pondok pukul 17.00. Jadilah malam itu Rara terkena omelan Mbak Durroh yang terkenal galak karena ia ditugaskan menjadi keamanan di pondok.
Rara memang bukan santri dalam kehidupan senyatanya. Ia menjadi tokoh yang hidup dalam novel Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji. Walau tokoh rekaan, namun kehidupan yang dialami Rara ditemui juga dalam kisah sehari-hari para santri.
Rara dan kehidupannya adalah cerita tentang kehidupan di pesantren. Dengan dalih ingin mengenalkan kehidupan pesantren, Pijer dan kelompok menulis Matapena mewarnai dunia buku dengan cerita-cerita tentang pesantren.
Bahkan sejumlah tema yang tabu dibahas, kini menjadi bagian dari karya Matapena, seperti kehidupan lesbi, gay, atau kisah cinta santri dengan gus (anak kiai pondok pesantren). “Memang, kami sempat khawatir dengan pandangan masyarakat umum tentang pesantren. Tetapi, kenyataan di pesantren memang begitu. Jadi, kami tetap berani menuliskannya,” ucap Pijer Sri Laswiji (23).
Kehidupan pesantren yang menjadi komunitas hidup kaum muda muslim yang ingin memperdalam agama Islam, tidak diceritakan dalam bahasa yang kaku, meski warisan aturan yang ketat tentang kehidupan di komunitas ini masih tetap mewarnai kisah-kisahnya.
Bagi para penulis di Matapena, bertutur tentang kehidupan di pesantren bisa memakai bahasa gaul, seperti yang dilakukan Pijer. Di samping itu, tentu saja diksi serapan dalam bahasa Arab juga ikut menjadi bagian kata-kata dalam novel ini.
Dilihat dari sisi penulisan, novel dari Matapena ini tidak berbeda dengan novel-novel remaja (chicklit atau teenlit) yang sempat meledak awal tahun 2000-an. Matapena pun sengaja menyebut novel-novel mereka sebagai pop pesantren. “Komunitas dan novel ini lahir setelah kami melihat celah yang belum tergarap, yakni buku-buku cerita tentang remaja yang hidup di pesantren,” tutur Nur Ismah, Penanggung Jawab Komunitas Matapena, yang juga merupakan bagian dari LKiS.
Model penulisan dengan tema pesantren seperti ini banyak dilakukan juga oleh sejumlah pengarang lain. Sejumlah anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta juga mengerjakan novel-novel pesantren dengan bahasa yang sedang tren saat ini. “Proses novel pesantren di FLP dilakukan sesuai dengan keinginan dan latar belakang penulis yang sebagian memang pernah tingal di pesantren. Di FLP, tidak ada kelompok yang secara khusus menekuni penulisan novel pesantren,” ucap Ganjar Widiyoga, Ketua FLP Yogyakarta.
Banyak peminat
“Tidak mungkin novel pop pesantren ini masih tetap diterbitkan bila tidak laku di pasaran,” tutur Nurika Nugraheni, Ketua Divisi Supporting System FLP Yogyakarta.
Masih diminatinya novel-novel pesantren, seperti yang dikatakan Nurika itu, membuat napas novel pesantren tetap ada. Bahkan ketika chicklit dan teenlit mulai pudar satu atau dua tahun lalu, novel pesantren justru baru mulai muncul.
Matapena bahkan baru dibentuk Agustus 2005 dan setiap bulan rutin merilis setidaknya satu novel baru yang dicetak 3000 eksemplar. “Selain dipasarkan secara umum, novel pop pesantren ini juga kami bawa saat road show ke pesantren- pesantren untuk menjaring penulis baru,” kata Ismah.
“Jemput bola” ke 45 pesantren bahkan hingga Madura, terbukti efektif menjaring penulis baru. Hingga saat ini, setidaknya 300 penulis bergabung dengan Matapena. Setidaknya, jumlah ini merupakan angin segar bagi kelanjutan penulis novel dari Yogyakarta.
Bagi penulis novel, road show Matapena juga membawa kebanggaan bagi mereka. “Road show itu jadi seperti jumpa fans, karena sebagian besar pembaca novel pop pesantren adalah para santri,” ucap Pijer.
Secara tidak langsung, menjadi penulis meningkatkan kepercayaan diri sekaligus popularitas para pemudi ini. Keinginan untuk tenar karena tampil dalam ruang publik juga sering menjadi motivasi para pelajar dan mahasiswa yang ingin bergabung di FLP.
“Padahal, untuk menjadi tenar tidak terjadi begitu saja. Setiap orang harus bekerja keras agar tulisan mereka bisa dimuat,” ucap Ganjar. Visi untuk memasyarakatkan baca dan tulis inilah yang diemban FLP Yogyakarta. Dengan serangkaian proses pelatihan bagi anggota baru selama enam bulan dan memasukkan kebiasaan membaca dan menulis dalam rutinitas para anggota FLP, barulah anggota mulai menulis untuk dipublikasikan atau diikutsertakan dalam lomba.
Inilah sebuah potret novel pop pesantren yang hidup dari keberadaan pesantren di Yogyakarta serta upaya untuk memasyarakatkan kebiasaan baca tulis. Proses ini didukung dengan sebuah pasar yang masih tetap menjanjikan.

0 komentar

Friday, September 01, 2006

Santri Juga Bisa Gokil!

Friday, September 01, 2006
Judul: Geng Kopi Tubruk
Penulis: Ruslan Ghofur
Tebal: x + 212 halaman
Cetakan I: September 2006
Doni, Encep, dan Dul, menjadi teman akrab sejak kedatangan mereka di Pesantren Bait al-Muslimin. Doni yang asli Jakarta, Encep yang berdarah Sunda, dan Dul yang keluaran Tegal; perbedaan ini malah membuat kehidupan mereka di salah satu kamar asrama F jadi meriah dan asyik. Apalagi kalau mereka sudah kompak nongkrong di warung Kang Somad, menghadap segelas kopi tubruk hitam pekat!

Hasilnya, adaaa … saja ide iseng dan nakal mereka, dari bolos setoran hafalan, rebutan naksir Adinda, kirim surat cinta malah nyasar ke polisi pondok, berlagak sok pahlawan tak tahunya malah dicap pecundang, ketahuan nonton layar tancap sama Pak Kiai, kesandung masalah sama preman kampung … Benar-benar tak ada habisnya.

Hehehe, ternyata bakat kreatif khas anak-anak puber mereka tetap tersalurkan juga di pesantren. Bakat kreatif yang unik dan lucu, dan bikin para orang dewasa hanya bisa geleng-geleng kepala! ;))

4 komentar

Thursday, August 03, 2006

Lora Berebut Cinta

Thursday, August 03, 2006
Judul: Cintalora.
Penulis: Ana FM.
Tebal: viii + 128 hlm.
Cetakan I: Agustus 2006
Ada Justin Tim dan Tom Cruise di Madura? Oho, tapi catet, yang ini pake peci item nasional, plus pake sarung! Mau tahu? Tuh dia, Ra Farisi dan Ra Alf. Soal tampang dan popularitas sih jangan ditanya. Seabrek berita beredar di pesantren puteri, seputar dua lora, alias putera kiai itu.
Sayangnya, menurut sumber yang shahih alias valid, dua kakak beradik itu berpaham “cuekisme” sama yang namanya CEWEK. Malah Ra Alf, sang adik, boleh dikata lebih ekstrem lagi. Meskipun ia bersekolah di sebuah SMA favorit yang banyak cewek cantik plus pinternya, tetap cuek aja tuh. Sampai-sampai nih, ini kabarnya lho, cewek-cewek sekelasnya memberinya gelar “Mount Everest”. Hiii…
Tapi, sebuah babak baru akan mengubah arah kehidupan kedua putera kiai itu. Yah, babak baru, setelah mereka terinfeksi virus merah jambu. Virus yang disebarkan oleh santri mereka sendiri, Salsabila. Dan, babak baru perebutan cinta pun dimulai! ;))

1 komentar

Tuesday, August 01, 2006

Menjadi Dewasa? So What ...

Tuesday, August 01, 2006
Judul: Jerawat Santri
Penulis: isma kazee
Tebal: vi + 196 halaman
Cetakan I: Agustus 2006

Apa yang akan kamu lakukan ketika di usia 15 tahun, kamu belum juga menemukan tanda-tanda kedewasaan, fisik dan psikis, pada dirimu? Masih pakai kaos dalam, sementara teman-teman yang lain sudah pakai bra? Belum kenal bedak apalagi merasa suka sama cowok? Sibuk membayangkan bagaimana menstruasi itu, sementara teman-teman kamu sudah sibuk memilih pembalut yang cocok? Kira-kira, kamu akan biasa-biasa saja, atau jangan-jangan akan gelisah dan cemas seperti Launa?
Yap! Launa memang cemas. Meskipun ia tahu persis usia datangnya perubahan fisik dan psikis pada seseorang tak bisa disamakan. Apalagi belakangan tambah banyak saja pertanyaan dan gojlokan yang muaranya ke tanda-tanda kedewasaan itu. Membuat Launa sadar betul kalau dirinya memang telat! Karena di antara 30 anak yang menghuni kamar Pena 4, kamar yang ia tinggali sejak pertama masuk pesantren, cuma dirinya saja yang masih “anak-anak”, belum menstruasi! Lengkap sudah kecemasannya. Dan, sejak saat itu ia terus bertanya-tanya: Kapan aku bisa seperti mereka?
Ini adalah potret psikologi seorang Launa yang tinggal di pesantren. Pada saat ia jauh dari orang tua, ternyata sahabat adalah sosok kedua yang bisa berperan dalam proses kedewasaannya. Dari sekadar menjadi tempat bertanya tentang bagaimana memakai pembalut yang benar, tentang cinta, sampai tempat belajar untuk menentukan pilihan sikap. Yang jelas, karena sahabat juga, Launa menjadi paham, kalau usia tua itu pasti, sementara dewasa adalah pilihan ;))

0 komentar

Wednesday, July 26, 2006

Asyiknya Ikutan Workshop!

Wednesday, July 26, 2006
Sebelumnya aku tak pernah menyangka akan mendapat kesempatan dari Matapena, untuk bergabung dalam workshop penulisan skenario, 21-24 Juli 2006 di Wisma Eden II Kaliurang, bareng Hanung, Aristo, dan Agus Noor. Makanya, ketika aku dihubungi, sedikit merasa tidak percaya diri gitu. Apalagi, aku terbilang baru dalam dunia tulis-menulis.
Dapet temen baru, itu pasti. Temen-temen yang pinter nulis lagi. Dapet ilmu dan pengalaman, tentu iya. Dari para pakar perskenarioan lagi. Mataku benar-benar dibikin melek deh, sepulang dari workshop itu. Melek dunia tulisan. Soalnya, kalau aku bilang, teori nulis skenario ternyata bisa juga dipakai buat nulis cerita fiksi genre novel. Bisa bikin tulisan lebih sistematis dan fokus.
Misalnya, gimana dari awal kita musti sudah menemukan apa ide dan premis dari tulisan kita. Mau nulis apaan sih... Nah kalau yang ini sudah ketangkep, seterusnya jadi enak dan lancar aja kayaknya. Juga, pembagian dari opening, plot point I, plot point II, sampai ending. Belum lagi kalau teori sekuen juga diterapkan. Biar babakan-babakan jalan ceritanya jadi enak dibaca. Mengalir dan runtut.
Aha! Ngomongin teori emang gak ada susahnya. Tapi, jangan kira praktiknya juga gampang. Hihihihi... Soalnya dalam praktik sudah melibatkan waktu, mood, dan pikiran... But, itu sudah murni urusannya aku, yang pastinya punya niat 100% bersedia mempraktikannya dalam proses kepenulisan. Nah, kalo urusannya Matapena, mmm... terima kasih aku ya... for everything-nya... ;))

0 komentar

Saturday, April 01, 2006

Ketika Demi Cinta Harus Berkorban

Saturday, April 01, 2006

Judul: Coz Loving U Gus. Penulis: Pijer Sri Laswiji. Tebal: viii + 194 halaman. Cetakan I: April 2006

Cinta tidak memberikan apa-apa kecuali hanya dirinya Cinta pun tidak mengambil apa-apa kecuali dari dirinya Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki Karena cinta telah cukup untuk dicinta (Kahlil Gibran)

Rara hafal sekali puisi itu. Malah di luar kepala. Tidak cuma edisi Indonesianya, Inggrisnya juga iya. Habis yang pertama memperkenalkan puisi itu kan gusnya, Gus Azka. Putera Romo Yai yang bisa bikin ia gemetar, kaku kemerah-merahan, bingung, dan grogi banget, hanya dengan mendengar nama dan suaranya.
Pantesan kalau Rara kemudian jadi berubah total. Dari aktivis kampus yang cuek bebek sama pondok, suka molor pagi hari emoh ngaji, suka sembunyi-sembunyi melanggar peraturan, eh… jadi Rara yang santri abis! Siap-siap jadi Ibu Nyai gitu. Jadi Bidadarinya Azka. Persis sama namanya, Haura. Artinya kan Bidadari.
Tapi, masak iya sih Rara bakal jadi Bidadarinya Gus Azka?

0 komentar

Wednesday, March 01, 2006

Si Tomboy dari Bilik Santri

Wednesday, March 01, 2006
Judul: Santri Tomboy Penulis: Shachree M. Daroini Tebal: vi + 180 halaman Cetakan I: Maret 2006
Di mata teman-teman santri, Amalia Zarqo’ Zaituna adalah sosok tomboy yang pemberani. Ia paling tidak suka melihat teman-teman puterinya dibuat kalah-kalahan sama anak-anak putera. Sekali saja ia menemukan kejadian itu, tanpa segan-segan ia akan mengeluarkan jurus labrak dan bombardir peluru kemarahannya.
Zarqo’ juga tak pernah bisa diam. Apalagi yang ada hubungannya sama peraturan-peraturan yang mengikat di pesantren. Bakat usil dan ‘nakal’-nya tak pernah jera mengajaknya berpetualang, Meskipun buntutnya adalah berhadapan dengan bagian Keamanan pesantren.
Hingga suatu saat, dengan kamera pinjaman sang kakak, tanpa sengaja ia berhasil merekam pelanggaran yang dilakukan pengurus pesantren, di sebuah alun-alun kota. Dari sinilah petualangan Zarqo’ dimulai. Ia merasa bertanggung jawab untuk membongkar ketidakadilan hukum di pondoknya. Bagaimanapun pengurus adalah santri juga, dan punya kewajiban untuk menaati peraturan. Jika melanggar, sepatutnya juga mendapatkan sanksi.
Tapi, ternyata perjuangan Zarqo’ tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus berhadapan dengan semangat nepotisme para pengurus dan image miring tentang kenakalannya. Hasilnya, ia malah dituduh menyebar fitnah karena tanpa sengaja ia kehilangan barang bukti kaset kamera yang terbawa kakaknya. Untunglah, Zarqo’ tak pernah putus asa. Meskipun rambut kepalanya sudah habis digundul bagian Keamanan, ia tetap percaya diri, menjadi sosok tomboy yang pemberani dari Bilik Santri ;))

0 komentar

Wednesday, February 01, 2006

Please, Kiai. I Love Her!

Wednesday, February 01, 2006
Judul: Santri Nekat Penulis: Otto Sukatno Tebal: iv + 176 hlm. Cetakan I: Februari 2006
Jaka tertangkap basah mencuri di pesantren Kiai Hasan. Ia memang babak belur terkena pukulan nyasar para santri. Selama satu bulan, sesuai kesepakatan, ia juga dihukum oleh sang kiai untuk mengelola perairan pesantren ples mengumandangkan azan tiap waktu shalat tiba. Tapi boleh jadi, peristiwa pagi itu merupakan berkah tiada tara buat dirinya. Berkah mendapatkan tempat tinggal dan pengobatan, makan minum gratis, uang jatah tiga ribu rupiah per hari, lingkungan hidup yang lebih terjamin dari sebelumnya, dan berkah mendapat cinta dari puteri kiai yang cantik, Ummu Mufidah.

Masalahnya, bisakah Jaka mempertahankan berkah itu? Termasuk berkah mempersunting puteri kiai? Preman yang tidak jelas asal usulnya. Biasa mencuri dan bermain dengan perempuan, di masa lalunya?

Oho. Kayaknya sih berat! Untungnya Jaka orang yang nekat. Orang nekat biasanya tak kenal kata menyerah. Masa hukuman yang hanya satu bulan, bisa ia ulur hingga berbulan-bulan. Untuk melancarkan jurus maut pada si Ummi, dan untuk membalik logika sepadan bobot, bibit, bebet dalam pernikahan yang dipegang kukuh oleh Pak Kiai. Jaka memang pintar, berhasil membuat orang tua Umi Mufidah itu mengerutkan kening dan berpikir-pikir. ;)

0 komentar

Friday, January 06, 2006

Menuju, Menyapa, dan Jatuh Cinta pada Al-Falah II …

Friday, January 06, 2006
Pukul 21.30-an saya, Pijer, Zaki, dan Sobri, juga Jamal memulai perjalanan Road Show Matapena kedua. Molor dari jam yang sudah disepakati, jam sembilan. Sempat kepikiran juga, bisa sampai Al-Falah tepat waktu nggak ya? Maksudnya, masih ada waktu untuk istirahat atau tidur-tiduran begitu. Kalau cuma delapan jam perjalanan sih kayaknya masih sempat. Tapi, kalau ternyata sepuluh jam? Mefet banget to? Untunglah malam itu tidak hujan deras, hanya gerimis. Laju mobil bisa dibikin agak ngebut dikit. Meski beberapa kali penumpang harus dibikin terlompat-lompat dari joknya gara-gara ban mobil melindas lubang-lubang jalan aspal yang rusak. Apalagi pas melewati jalan rusak di Majenang! Benar-benar nggak bisa disambi merem perjalanan malam itu. Malah kata Zaki pas kami ngaso di Buntu, ban mobil juga sempat melindas kepala ular lho. Klotas! Hiii …
Sampai Ciamis, pukul 4 pagi, kami mampir masjid. Cuci muka ples shalat. Sebelum kemudian melanjutkan perjalanan yang katanya masih tiga jaman lagi. Masih lama ya. Tapi, kami sudah masuk kawasan Sunda. Jadi, agak legaan. Karena perjalanan pasti akan segera berakhir di Nagrek. Melewati Tasik dan Garut yang penuh dengan jalan berkelok dan juga bolong-bolong.
Dan, sambil terus berusaha menikmati segarnya udara Sunda di pagi hari … (apalagi banyak mojang-mojang geulis yang lari-lari pagi di sepanjang jalan, kan hari Minggu. Zaki aja sampai mbela-mbelain membuka matanya yang masih lengket demi pemandangan itu) … Akhirnya sampailah kami di PP Al-Quran Al-Falah II. Jl. Raya Nagrek km.38 Nagrek Cicalengka Bandung Jawa Barat Sebuah pesantren yang lokasinya tepat berada di lereng bukit. Tak ada benteng tembok yang mengelilingi seperti umumnya bangunan pesantren. Meski ada gardu satpam sebelum masuk ke kawasan pesantren. Uniknya lagi, bangunan-bangunan di Al-Falah kalau dilihat dari kejauhan, tertata seperti membentuk anak-anak tangga.
Pada anak tangga pertama, ada balai kesehatan santri, kantor pesantren, dan masjid. Pada anak tangga kedua, ada gedung pertemuan yang dilengkapi dengan kolam ikan dan semacam dangau. Pada anak tangga ketiga, ada rumah Ayah dan Ibu … (ini adalah sebutan Santri Al-Falah untuk Pak Cecep dan Nyai beliau). Juga, gedung TK, lengkap dengan bandulan dan plorotan. Pada anak tangga keempat, agak ke Barat, ada asrama puteri. Nah, dari depan asrama ini, lereng perbukitan di bagian selatan begitu indah terpampang di hadapan mata. Sementara di bagian timur masih ada beberapa bangunan antara lain, asrama putera, gedung sekolah Aliyah, dan rumah para guru. Keseluruh bangunan itu dibuat berjarak dengan selingan pohon palem dan pepohonan yang lain. Jadi, dingin dan sejuk gitu.
Sebelum acara dimulai, habis merem barang sepuluh menit, mandi, dan makan nasi kuning, kami sowan dulu ke Ayah Cecep. Rumahnya bambu banget! Dari dinding, eternit, meja-kursi, lampu … Kami ngobrol seputar maksud, tujuan, dan harapan kedatangan kami ke Al-Falah. Dan, ternyata Ayah Cecep juga punya kegelisahan yang sama. Paling tidak kedatangan kami bisa menularkan virus kritis ke mereka. Dari membaca, kemudian menulis. Amiiin. Usai sowan, pukul sepuluhanlah, kami langsung ke aula pertemuan yang luasnya ‘ngarep-mburi’ (hampir sama) dengan balai Utarinya Mandala Bhakti Wanitatama. Lagi-lagi, dengan desain panggung yang bambu banget! Para santri yang berjumlah kurang lebih seratus orang duduk lesehan sesuai dengan jenis kelamin. Putera di sebelah kanan, puteri di sebelah kiri. Tanpa pembatas atau penutup. Bazar buku juga digelar di tempat ini, tepatnya di bagian belakang posisi duduk para santri.
Sebelum acara dimulai, lebih dulu para santri menunjukkan kebolehan mereka. Santri putera dengan nasyid, dan santri puteri kasidahan. Suara mereka bagus-bagus lho. Baru kira-kira pukul 11.00 sang MC mulai unjuk suara membacakan susunan acara. Pertama, pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Maklum pesantren Al-Qur’an, bacaannya merdu coy! Kedua, acara sambutan-sambutan. Ketiga, acara Bedah Novel Matapena yang dimoderatori oleh Sobri.
Kali ini Zaki mendapat kesempatan pertama untuk ngomong. Gayanya yang kocak, khususnya pas ngucapin salam, lumayan membuat para santri yang pendiam itu membuka suara. Dari sini suasana pun jadi lebih cair dan santai. Habis Zaki, Pijer menyusul. Di samping menceritakan apa yang sudah ia tulis dalam KCPP, ia juga menuturkan proses kreatif kepenulisannya. Dan, narasumber ketiga adalah Pak Yuyun Wahyudin yang bertindak sebagai pembedah, atau kritikuslah. Tapi, ternyata yang dilontarkan justru lebih banyak pujian dan sanjungan!
Tanpa ada maksud untuk promosi, begitu kata Pak Uyun, novel Santri Baru Gede dan Kidung Cinta Puisi Pegon memang sangat manarik. Selain ceritanya begitu dekat dengan tradisi pesantren, diksi-diksi agamanya juga sangat kental. Berbeda dengan novel-novel kebanyakan. Termasuk satu pujiannya untuk Raha, “… Ia mencoba untuk bersikap apik dalam kehidupannya …”
Untung saja Zaki menuliskannya Jadi, sepertinya enggak ada alasan untuk teman-teman tidak menuliskan cerita asyik kalian di bilik-bilik pondok Al-Falah. Iya kan?
(Minggu, 5 Januari 2006)

0 komentar

Sunday, January 01, 2006

Jalan Cinta di Pesantren

Sunday, January 01, 2006
Judul: Love in Pesantren Penulis: Shachree M. Daroini Tebal: vi + 276 hlm. Cetakan I: Januari 2006
Komar memang suka bikin ulah. Di sekolah, juga di pondok. Ia seneng banget bersembunyi di loteng kamar, menghindari gebukan sajadah Keamanan pesantren untuk membangunkan tidur santri yang molor. Masuk sekolah sering terlambat, suka berkelahi, dan biasa mbolos pelajaran dengan nongkrong di warung Mak Tarwiyah bersama Jaim, Rosi, dan Purwo. Sampai-sampai, ia dan tiga sahabatnya itu menjadi contoh anak-anak bermasalah di sekolah.
Tak heran jika Pak Rahmat, sang kepala sekolah, berhasil dibuat marah dan naik pitam oleh Komar. Apalagi, Pak Rahmat tahu kalau Komar yang urakan itu sudah berani mengenalkan cinta pada puterinya, Siti.
Perang antara Komar dan Pak Rahmat pun dimulai. Komar yang keras, jelas-jelas tidak bisa menerima sikap Bapak Kepala Sekolah yang kolot dan pemarah itu. Apalagi, Pak Rahmat memang tak kenal sama sekali dengan yang namanya cinta. Jangankan mencintai anak muridnya, bersikap penuh cinta pada keluarganya saja dia gagap.
Padahal, sebenarnya bagi Komar, masalahnya tak harus serumit perseteruan antara dirinya dengan Pak Rahmat. Jika jalan yang satu itu ditempuh juga oleh ayah kekasihnya itu. Yaitu jalan cinta. Karena kekuatan cinta bisa melunturkan kegarangan Komar sekeras baja sekalipun. ;))

0 komentar