Thursday, October 13, 2005

BERITA: Kompas, 13 Oktober 2005

Thursday, October 13, 2005
Warna-Warni Kehidupan Santri dalam Novel

Zaki Zarung (kanan) tengah menceritakan isi novel karangannya, Santri Baru Gede, di Sodalounge, Rabu (12/10). Dalam kesempatan itu, empat novel lain juga ikut di-launching yakni Bola-Bola Santri, Dilarang Jatuh Cinta, Kidung Cinta Puisi Pegon, dan Santri Semelekete.

____________________________

Kia nggak tahu gimana harus bilang cinta. Trus dengan apa mesti ngomong sayang. Apalagi harus memanjat tembok tinggi yang namanya keamanan. Apa kata santri nanti?

Oleh: Lukas Adi Prasetya

Kia atau yang nama lengkapnya Husna Adzkia itu adalah seorang santri perempuan, yang juga mahasiswi dengan dengan agenda aktivitas yang lumayan banyak. Awalnya, niat Kia memutuskan masuk ke pesantren adalah murni nyantri. Namun, ketika mengenal Haidar, santri putra yang satu pesantren sekaligus satu kampus dengannya, berawal pula kisah cintanya.

Di pesantren, peraturan paling ketat adalah soal pacaran. Keinginan saling berkomunikasi antar mereka akhirnya bermuara pada majalah dinding (mading) di pesantren, yang kebetulan keduanya masuk dalam kepengurusan mading itu. Dan, akhirnya mereka saling bertukar ungkapan dengan puisi pegon (tulisan Arab namun berbahasa non-Arab) pada mading itu.
Itu adalah petikan novel berjudul Kidung Cinta Puisi Pegon karya Pijer Sri Laswiji yang di-launching dan dibedah di Sodalounge, Rabu (12/10). Bersamaan dengan itu dibedah pula empat buku lain yakni Santri Baru Gede (karangan Zaki Zarung), Dilarang Jatuh Cinta (karangan S. Tiny), Bola-Bola Santri (karangan Schachree M Daroini), dan Santri Semelekete (karangan Ma’rifatun Baroroh). Lima novel terbitan Matapena (kelompok penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial/LKiS) itu secara umum bernuansa tentang pesantren dan kisah kasih para santrinya.
Santri Baru Gede bercerita tentang Raha, santri laki-laki yang menjalin kisah dengan seorang gadis yang berasal dari lingkungan luar pesantren. Sementara Dilarang Jatuh Cinta mengisahkan Zulaikha, santri perempuan yang selalu mempertanyakan jati dirinya karena ia tidak percaya takdir dan cinta.
Santri Semelekete menceritakan lika-liku Endang Jumilah alias Enjoy, siswi SMA yang badung. Gadis yang tergabung dalam G@sink (Gadis Sintinx), salah satu geng di SMA itu yang suka berulah tersebut akhirnya dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya. Di pesantren, Enjoy harus membiasakan diri dengan peraturan yang superketat, kegiatan segudang, jilbab, hingga baju gedombrohan. Namun, di lingkungan baru, gadis yang heboh ini sempat pula menaksir salah satu ustadznya.
Novel lain, Bola-Bola Santri, berkisah tentang Gus Mada, Gus Hisyam, dan Gus munir yang memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan harga diri warisan kakek mereka yakni pondok dan santri Al-Bakir.
Retno Sufatni, Pemimpin Redaksi LKiS dan Nur Isma, Redaktur Matapena menuturkan, lewat lima novel ini mereka ingin mengangkat sisi lain pesantren lewat kacamata santri sendiri. Menurut Retno, lima novel yang disebutnya sastra pop pesantren ini bertujuan untuk mengomunikasikan budaya pesantren dengan budaya lain di luar pesantren, melalui kisah-kisah keseharian para penghuni pesantren (santri).
Itulah yang selama ini belum banyak tergali. Padahal, ujar Nurul Huda, Supervisor Pemasaran LKiS, sekarang ada 14.500 lebih pesantren di Indonesia dengan jumlah santri lebih dari 3,5 juta. Segmen ini belum tergarap, khususnya lewat novel. Nurul juga berpendapat, banyak sisi menarik yang bisa diangkat dari pesantren dan bagus untuk dituliskan.
Di pesantren, menurut Zaki Zarung yang juga tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta, hubungan antara perempuan dan laki-laki sangat dibatasi. “Padahal, usia santri kan baru kenceng-kencengnya, misalnya saat tertarik dengan lawan jenis. Peraturan pondok yang ketat membuat santri bisa jadi memilih kucing-kucingan untuk mencari-cari waktu karenanya,” kata Zaki.
Meski begitu, menyikapi masa remaja, setiap santri mestilah memegang prinsip agar tidak terjebak dalam hal-hal negatif, seperti pergaulan bebas dan narkoba. Juga, dalam pesantren harus pula dibangun sikap kritis dari santri karena itu juga bekal yang perlu didapat. “Saya pun juga melakukan otokritik terhadap pesantren bahwa remaja santri di pesantren jangan sampai apriori terhadap peraturan, tapi bagaimana menyikapi peraturan,” ujar Zaki sambil menambahkan, apabila santri berhadapan dengan dunia luar juga jangan bersikap kaku.

0 komentar: