Friday, November 03, 2006

BERITA: Kompas, 3 November 2006

Friday, November 03, 2006
Pencerahan Novel Pop Pesantren

Novel pesantren yang banyak ditulis oleh santri masih diminati. Kebanyakan buku yang berkisah seputar kehidupan di pesantren itu ditulis dengan menggunakan bahasa gaul, seperti dalam novel chicklit atau teenlit.

“Berhenti!” Rara njumbul. Kaget banget. Suara dia? Kok nggak jamaah. Penasaran Rara membalikkan tubuhnya. Ia tidak berani menatap wajah seniornya itu. Bukan apa-apa, melainkan karena nggak mau melihat wajah sadisnya saja. Buat menjaga hati supaya tidak benci. Untung handphone sudah dititipin ke Kang Idris. Kalau belum?

____________________________

Oleh: Agnes Rita Sulistyawaty
Rara, santri di Pondok Pesantren Al-Firdaus, sedang asyik menjadi aktivis kampus di masa awal menjadi mahasiswa. Karena itu, ia selalu tiba di pondok setelah maghrib. Padahal, para santri diharuskan kembali ke pondok pukul 17.00. Jadilah malam itu Rara terkena omelan Mbak Durroh yang terkenal galak karena ia ditugaskan menjadi keamanan di pondok.
Rara memang bukan santri dalam kehidupan senyatanya. Ia menjadi tokoh yang hidup dalam novel Coz Loving U Gus karya Pijer Sri Laswiji. Walau tokoh rekaan, namun kehidupan yang dialami Rara ditemui juga dalam kisah sehari-hari para santri.
Rara dan kehidupannya adalah cerita tentang kehidupan di pesantren. Dengan dalih ingin mengenalkan kehidupan pesantren, Pijer dan kelompok menulis Matapena mewarnai dunia buku dengan cerita-cerita tentang pesantren.
Bahkan sejumlah tema yang tabu dibahas, kini menjadi bagian dari karya Matapena, seperti kehidupan lesbi, gay, atau kisah cinta santri dengan gus (anak kiai pondok pesantren). “Memang, kami sempat khawatir dengan pandangan masyarakat umum tentang pesantren. Tetapi, kenyataan di pesantren memang begitu. Jadi, kami tetap berani menuliskannya,” ucap Pijer Sri Laswiji (23).
Kehidupan pesantren yang menjadi komunitas hidup kaum muda muslim yang ingin memperdalam agama Islam, tidak diceritakan dalam bahasa yang kaku, meski warisan aturan yang ketat tentang kehidupan di komunitas ini masih tetap mewarnai kisah-kisahnya.
Bagi para penulis di Matapena, bertutur tentang kehidupan di pesantren bisa memakai bahasa gaul, seperti yang dilakukan Pijer. Di samping itu, tentu saja diksi serapan dalam bahasa Arab juga ikut menjadi bagian kata-kata dalam novel ini.
Dilihat dari sisi penulisan, novel dari Matapena ini tidak berbeda dengan novel-novel remaja (chicklit atau teenlit) yang sempat meledak awal tahun 2000-an. Matapena pun sengaja menyebut novel-novel mereka sebagai pop pesantren. “Komunitas dan novel ini lahir setelah kami melihat celah yang belum tergarap, yakni buku-buku cerita tentang remaja yang hidup di pesantren,” tutur Nur Ismah, Penanggung Jawab Komunitas Matapena, yang juga merupakan bagian dari LKiS.
Model penulisan dengan tema pesantren seperti ini banyak dilakukan juga oleh sejumlah pengarang lain. Sejumlah anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta juga mengerjakan novel-novel pesantren dengan bahasa yang sedang tren saat ini. “Proses novel pesantren di FLP dilakukan sesuai dengan keinginan dan latar belakang penulis yang sebagian memang pernah tingal di pesantren. Di FLP, tidak ada kelompok yang secara khusus menekuni penulisan novel pesantren,” ucap Ganjar Widiyoga, Ketua FLP Yogyakarta.
Banyak peminat
“Tidak mungkin novel pop pesantren ini masih tetap diterbitkan bila tidak laku di pasaran,” tutur Nurika Nugraheni, Ketua Divisi Supporting System FLP Yogyakarta.
Masih diminatinya novel-novel pesantren, seperti yang dikatakan Nurika itu, membuat napas novel pesantren tetap ada. Bahkan ketika chicklit dan teenlit mulai pudar satu atau dua tahun lalu, novel pesantren justru baru mulai muncul.
Matapena bahkan baru dibentuk Agustus 2005 dan setiap bulan rutin merilis setidaknya satu novel baru yang dicetak 3000 eksemplar. “Selain dipasarkan secara umum, novel pop pesantren ini juga kami bawa saat road show ke pesantren- pesantren untuk menjaring penulis baru,” kata Ismah.
“Jemput bola” ke 45 pesantren bahkan hingga Madura, terbukti efektif menjaring penulis baru. Hingga saat ini, setidaknya 300 penulis bergabung dengan Matapena. Setidaknya, jumlah ini merupakan angin segar bagi kelanjutan penulis novel dari Yogyakarta.
Bagi penulis novel, road show Matapena juga membawa kebanggaan bagi mereka. “Road show itu jadi seperti jumpa fans, karena sebagian besar pembaca novel pop pesantren adalah para santri,” ucap Pijer.
Secara tidak langsung, menjadi penulis meningkatkan kepercayaan diri sekaligus popularitas para pemudi ini. Keinginan untuk tenar karena tampil dalam ruang publik juga sering menjadi motivasi para pelajar dan mahasiswa yang ingin bergabung di FLP.
“Padahal, untuk menjadi tenar tidak terjadi begitu saja. Setiap orang harus bekerja keras agar tulisan mereka bisa dimuat,” ucap Ganjar. Visi untuk memasyarakatkan baca dan tulis inilah yang diemban FLP Yogyakarta. Dengan serangkaian proses pelatihan bagi anggota baru selama enam bulan dan memasukkan kebiasaan membaca dan menulis dalam rutinitas para anggota FLP, barulah anggota mulai menulis untuk dipublikasikan atau diikutsertakan dalam lomba.
Inilah sebuah potret novel pop pesantren yang hidup dari keberadaan pesantren di Yogyakarta serta upaya untuk memasyarakatkan kebiasaan baca tulis. Proses ini didukung dengan sebuah pasar yang masih tetap menjanjikan.

0 komentar