Friday, January 06, 2006

Menuju, Menyapa, dan Jatuh Cinta pada Al-Falah II …

Friday, January 06, 2006
Pukul 21.30-an saya, Pijer, Zaki, dan Sobri, juga Jamal memulai perjalanan Road Show Matapena kedua. Molor dari jam yang sudah disepakati, jam sembilan. Sempat kepikiran juga, bisa sampai Al-Falah tepat waktu nggak ya? Maksudnya, masih ada waktu untuk istirahat atau tidur-tiduran begitu. Kalau cuma delapan jam perjalanan sih kayaknya masih sempat. Tapi, kalau ternyata sepuluh jam? Mefet banget to? Untunglah malam itu tidak hujan deras, hanya gerimis. Laju mobil bisa dibikin agak ngebut dikit. Meski beberapa kali penumpang harus dibikin terlompat-lompat dari joknya gara-gara ban mobil melindas lubang-lubang jalan aspal yang rusak. Apalagi pas melewati jalan rusak di Majenang! Benar-benar nggak bisa disambi merem perjalanan malam itu. Malah kata Zaki pas kami ngaso di Buntu, ban mobil juga sempat melindas kepala ular lho. Klotas! Hiii …
Sampai Ciamis, pukul 4 pagi, kami mampir masjid. Cuci muka ples shalat. Sebelum kemudian melanjutkan perjalanan yang katanya masih tiga jaman lagi. Masih lama ya. Tapi, kami sudah masuk kawasan Sunda. Jadi, agak legaan. Karena perjalanan pasti akan segera berakhir di Nagrek. Melewati Tasik dan Garut yang penuh dengan jalan berkelok dan juga bolong-bolong.
Dan, sambil terus berusaha menikmati segarnya udara Sunda di pagi hari … (apalagi banyak mojang-mojang geulis yang lari-lari pagi di sepanjang jalan, kan hari Minggu. Zaki aja sampai mbela-mbelain membuka matanya yang masih lengket demi pemandangan itu) … Akhirnya sampailah kami di PP Al-Quran Al-Falah II. Jl. Raya Nagrek km.38 Nagrek Cicalengka Bandung Jawa Barat Sebuah pesantren yang lokasinya tepat berada di lereng bukit. Tak ada benteng tembok yang mengelilingi seperti umumnya bangunan pesantren. Meski ada gardu satpam sebelum masuk ke kawasan pesantren. Uniknya lagi, bangunan-bangunan di Al-Falah kalau dilihat dari kejauhan, tertata seperti membentuk anak-anak tangga.
Pada anak tangga pertama, ada balai kesehatan santri, kantor pesantren, dan masjid. Pada anak tangga kedua, ada gedung pertemuan yang dilengkapi dengan kolam ikan dan semacam dangau. Pada anak tangga ketiga, ada rumah Ayah dan Ibu … (ini adalah sebutan Santri Al-Falah untuk Pak Cecep dan Nyai beliau). Juga, gedung TK, lengkap dengan bandulan dan plorotan. Pada anak tangga keempat, agak ke Barat, ada asrama puteri. Nah, dari depan asrama ini, lereng perbukitan di bagian selatan begitu indah terpampang di hadapan mata. Sementara di bagian timur masih ada beberapa bangunan antara lain, asrama putera, gedung sekolah Aliyah, dan rumah para guru. Keseluruh bangunan itu dibuat berjarak dengan selingan pohon palem dan pepohonan yang lain. Jadi, dingin dan sejuk gitu.
Sebelum acara dimulai, habis merem barang sepuluh menit, mandi, dan makan nasi kuning, kami sowan dulu ke Ayah Cecep. Rumahnya bambu banget! Dari dinding, eternit, meja-kursi, lampu … Kami ngobrol seputar maksud, tujuan, dan harapan kedatangan kami ke Al-Falah. Dan, ternyata Ayah Cecep juga punya kegelisahan yang sama. Paling tidak kedatangan kami bisa menularkan virus kritis ke mereka. Dari membaca, kemudian menulis. Amiiin. Usai sowan, pukul sepuluhanlah, kami langsung ke aula pertemuan yang luasnya ‘ngarep-mburi’ (hampir sama) dengan balai Utarinya Mandala Bhakti Wanitatama. Lagi-lagi, dengan desain panggung yang bambu banget! Para santri yang berjumlah kurang lebih seratus orang duduk lesehan sesuai dengan jenis kelamin. Putera di sebelah kanan, puteri di sebelah kiri. Tanpa pembatas atau penutup. Bazar buku juga digelar di tempat ini, tepatnya di bagian belakang posisi duduk para santri.
Sebelum acara dimulai, lebih dulu para santri menunjukkan kebolehan mereka. Santri putera dengan nasyid, dan santri puteri kasidahan. Suara mereka bagus-bagus lho. Baru kira-kira pukul 11.00 sang MC mulai unjuk suara membacakan susunan acara. Pertama, pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Maklum pesantren Al-Qur’an, bacaannya merdu coy! Kedua, acara sambutan-sambutan. Ketiga, acara Bedah Novel Matapena yang dimoderatori oleh Sobri.
Kali ini Zaki mendapat kesempatan pertama untuk ngomong. Gayanya yang kocak, khususnya pas ngucapin salam, lumayan membuat para santri yang pendiam itu membuka suara. Dari sini suasana pun jadi lebih cair dan santai. Habis Zaki, Pijer menyusul. Di samping menceritakan apa yang sudah ia tulis dalam KCPP, ia juga menuturkan proses kreatif kepenulisannya. Dan, narasumber ketiga adalah Pak Yuyun Wahyudin yang bertindak sebagai pembedah, atau kritikuslah. Tapi, ternyata yang dilontarkan justru lebih banyak pujian dan sanjungan!
Tanpa ada maksud untuk promosi, begitu kata Pak Uyun, novel Santri Baru Gede dan Kidung Cinta Puisi Pegon memang sangat manarik. Selain ceritanya begitu dekat dengan tradisi pesantren, diksi-diksi agamanya juga sangat kental. Berbeda dengan novel-novel kebanyakan. Termasuk satu pujiannya untuk Raha, “… Ia mencoba untuk bersikap apik dalam kehidupannya …”
Untung saja Zaki menuliskannya Jadi, sepertinya enggak ada alasan untuk teman-teman tidak menuliskan cerita asyik kalian di bilik-bilik pondok Al-Falah. Iya kan?
(Minggu, 5 Januari 2006)

0 komentar

Sunday, January 01, 2006

Jalan Cinta di Pesantren

Sunday, January 01, 2006
Judul: Love in Pesantren Penulis: Shachree M. Daroini Tebal: vi + 276 hlm. Cetakan I: Januari 2006
Komar memang suka bikin ulah. Di sekolah, juga di pondok. Ia seneng banget bersembunyi di loteng kamar, menghindari gebukan sajadah Keamanan pesantren untuk membangunkan tidur santri yang molor. Masuk sekolah sering terlambat, suka berkelahi, dan biasa mbolos pelajaran dengan nongkrong di warung Mak Tarwiyah bersama Jaim, Rosi, dan Purwo. Sampai-sampai, ia dan tiga sahabatnya itu menjadi contoh anak-anak bermasalah di sekolah.
Tak heran jika Pak Rahmat, sang kepala sekolah, berhasil dibuat marah dan naik pitam oleh Komar. Apalagi, Pak Rahmat tahu kalau Komar yang urakan itu sudah berani mengenalkan cinta pada puterinya, Siti.
Perang antara Komar dan Pak Rahmat pun dimulai. Komar yang keras, jelas-jelas tidak bisa menerima sikap Bapak Kepala Sekolah yang kolot dan pemarah itu. Apalagi, Pak Rahmat memang tak kenal sama sekali dengan yang namanya cinta. Jangankan mencintai anak muridnya, bersikap penuh cinta pada keluarganya saja dia gagap.
Padahal, sebenarnya bagi Komar, masalahnya tak harus serumit perseteruan antara dirinya dengan Pak Rahmat. Jika jalan yang satu itu ditempuh juga oleh ayah kekasihnya itu. Yaitu jalan cinta. Karena kekuatan cinta bisa melunturkan kegarangan Komar sekeras baja sekalipun. ;))

0 komentar