Friday, October 14, 2005

BERITA: Kedaulatan Rakyat, Jumat Wage (14 Oktober 2005)

Friday, October 14, 2005
Sastra Pop Pesantren Kian Diminati

Yogya (KR) – Sastra pop/populer kian diminati remaja. Minat ini tidak terbatas membaca karya-karya satra tersebut, tetapi juga semakin banyak remaja kita membuat karya fiksi sendiri kemudian diterbitkan. Realitas ini tentu sangat menggembirakan karena sebelumnya karya sastra pesantren masih sangat sedikit dibuat dan mengunjungi pembaca kita. Bahkan dalam pertumbuhan dan percaturan sastra Indonesia kurang diperhitungkan.

Hal ini diungkap oleh Nurul Huda SA, Supervisor Pemasaran Penerbit Matapena (Kelompok Penerbit LKiS), berkait Penerbit Matapena yang meluncurkan 5 novel sekaligus. Novel itu berjudul Santri Semelekete (karya Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung). Peluncuran dilakukan di Sodalounge, Jl Laksda Adisutjipto 43, Rabu (12/10) sore. Menyemarakkan kegiatan tersebut selain peluncuran dilakukan pembacaan sepenggal novel, sekaligus temu penulis.

Menurut Nurul Huda SA, sastra pop pesantren awalnya memang disingkiri. “Bahkan tidak banyak penulis yang tertarik menggarap wilayah cerita di dunia pesantren,” katanya. Seiring perjalanan waktu, sastra populer pesantren banyak menjadi setting cerita. Sebagaimana wacana yang muncul ke permukaan, pesantren memiliki dunia dan cerita sendiri. “Dunia dan cerita sendiri menjadi sebuah daya tarik untuk dikisahkan, diimajinasikan dalam karya-karya fiksi,” ucapnya.

Karya sastra pop pesantren terbitan Matapena

Tentu yang menarik, mereka yang menulis karya fiksi, paling tidak pernah ‘mencicipi’ dunia pesantren. Kehidupan yang dirasakan, diamati, dibesut dalam kemasan fiksi. Seperti anak muda di pesantren, meski memiliki aturan, tradisi sendiri juga merasakan dunia cinta. Serba-serbi ini menjadi mozaik dunia pesantren yang diungkapkan dengan bahasa popular, bahkan sangat gaul sebagaimana karya fiksi remaja di luar pesantren. “Kami sebenarnya ingin ruang baru bagi penulis muda, karena kami tahu potensi mereka besar. Tentu termasuk potensi pasar yang besar pula,” tandasnya. (Jay)-c

3 komentar

Thursday, October 13, 2005

BERITA: Kompas, 13 Oktober 2005

Thursday, October 13, 2005
Warna-Warni Kehidupan Santri dalam Novel

Zaki Zarung (kanan) tengah menceritakan isi novel karangannya, Santri Baru Gede, di Sodalounge, Rabu (12/10). Dalam kesempatan itu, empat novel lain juga ikut di-launching yakni Bola-Bola Santri, Dilarang Jatuh Cinta, Kidung Cinta Puisi Pegon, dan Santri Semelekete.

____________________________

Kia nggak tahu gimana harus bilang cinta. Trus dengan apa mesti ngomong sayang. Apalagi harus memanjat tembok tinggi yang namanya keamanan. Apa kata santri nanti?

Oleh: Lukas Adi Prasetya

Kia atau yang nama lengkapnya Husna Adzkia itu adalah seorang santri perempuan, yang juga mahasiswi dengan dengan agenda aktivitas yang lumayan banyak. Awalnya, niat Kia memutuskan masuk ke pesantren adalah murni nyantri. Namun, ketika mengenal Haidar, santri putra yang satu pesantren sekaligus satu kampus dengannya, berawal pula kisah cintanya.

Di pesantren, peraturan paling ketat adalah soal pacaran. Keinginan saling berkomunikasi antar mereka akhirnya bermuara pada majalah dinding (mading) di pesantren, yang kebetulan keduanya masuk dalam kepengurusan mading itu. Dan, akhirnya mereka saling bertukar ungkapan dengan puisi pegon (tulisan Arab namun berbahasa non-Arab) pada mading itu.
Itu adalah petikan novel berjudul Kidung Cinta Puisi Pegon karya Pijer Sri Laswiji yang di-launching dan dibedah di Sodalounge, Rabu (12/10). Bersamaan dengan itu dibedah pula empat buku lain yakni Santri Baru Gede (karangan Zaki Zarung), Dilarang Jatuh Cinta (karangan S. Tiny), Bola-Bola Santri (karangan Schachree M Daroini), dan Santri Semelekete (karangan Ma’rifatun Baroroh). Lima novel terbitan Matapena (kelompok penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial/LKiS) itu secara umum bernuansa tentang pesantren dan kisah kasih para santrinya.
Santri Baru Gede bercerita tentang Raha, santri laki-laki yang menjalin kisah dengan seorang gadis yang berasal dari lingkungan luar pesantren. Sementara Dilarang Jatuh Cinta mengisahkan Zulaikha, santri perempuan yang selalu mempertanyakan jati dirinya karena ia tidak percaya takdir dan cinta.
Santri Semelekete menceritakan lika-liku Endang Jumilah alias Enjoy, siswi SMA yang badung. Gadis yang tergabung dalam G@sink (Gadis Sintinx), salah satu geng di SMA itu yang suka berulah tersebut akhirnya dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya. Di pesantren, Enjoy harus membiasakan diri dengan peraturan yang superketat, kegiatan segudang, jilbab, hingga baju gedombrohan. Namun, di lingkungan baru, gadis yang heboh ini sempat pula menaksir salah satu ustadznya.
Novel lain, Bola-Bola Santri, berkisah tentang Gus Mada, Gus Hisyam, dan Gus munir yang memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan harga diri warisan kakek mereka yakni pondok dan santri Al-Bakir.
Retno Sufatni, Pemimpin Redaksi LKiS dan Nur Isma, Redaktur Matapena menuturkan, lewat lima novel ini mereka ingin mengangkat sisi lain pesantren lewat kacamata santri sendiri. Menurut Retno, lima novel yang disebutnya sastra pop pesantren ini bertujuan untuk mengomunikasikan budaya pesantren dengan budaya lain di luar pesantren, melalui kisah-kisah keseharian para penghuni pesantren (santri).
Itulah yang selama ini belum banyak tergali. Padahal, ujar Nurul Huda, Supervisor Pemasaran LKiS, sekarang ada 14.500 lebih pesantren di Indonesia dengan jumlah santri lebih dari 3,5 juta. Segmen ini belum tergarap, khususnya lewat novel. Nurul juga berpendapat, banyak sisi menarik yang bisa diangkat dari pesantren dan bagus untuk dituliskan.
Di pesantren, menurut Zaki Zarung yang juga tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta, hubungan antara perempuan dan laki-laki sangat dibatasi. “Padahal, usia santri kan baru kenceng-kencengnya, misalnya saat tertarik dengan lawan jenis. Peraturan pondok yang ketat membuat santri bisa jadi memilih kucing-kucingan untuk mencari-cari waktu karenanya,” kata Zaki.
Meski begitu, menyikapi masa remaja, setiap santri mestilah memegang prinsip agar tidak terjebak dalam hal-hal negatif, seperti pergaulan bebas dan narkoba. Juga, dalam pesantren harus pula dibangun sikap kritis dari santri karena itu juga bekal yang perlu didapat. “Saya pun juga melakukan otokritik terhadap pesantren bahwa remaja santri di pesantren jangan sampai apriori terhadap peraturan, tapi bagaimana menyikapi peraturan,” ujar Zaki sambil menambahkan, apabila santri berhadapan dengan dunia luar juga jangan bersikap kaku.

0 komentar

Wednesday, October 05, 2005

Antara Sarung dan Cinta

Wednesday, October 05, 2005
Judul: Pangeran Bersarung Penulis: Mahbub Jamaluddin Tebal: vi + 412 halaman Cetakan I: Oktober 2005
Filosofi cinta yang ada dalam Pangeran Bersarung mungkin adanya cuma di pesantren. Soalnya, filosofi cintanya coba menunjukkan hubungan antara sarung--kostum khas para santri--dengan cinta. Sarung dan cinta, sama-sama alat yang bisa digunakan untuk hal positif, atau malah mencelakakan, tergantung bagaimana si empunya menggunakan dua alat itu.
Seperti Puji yang pada mulanya bersikap hati-hati dengan yang namanya cinta. Apalagi kata Suryo, teman pondoknya, cinta itu sejenis sama cewek yang bisa bikin mati kreativitas. Akan membayang-bayangi dan menyiksa. Makan enggak enak, tidur enggak lelap. Walhasil mengganggu proses belajar dan ngaji kan.
Jadilah Puji menghindar dari Sofi yang diam-diam dicintainya. Ia juga tidak ambil pusing dengan Puspa yang blak-blakan bilang suka ke dirinya. Bahkan, ia bolos tidak sekolah untuk menghindari berhubungan dengan cewek. Wah, tambah kacau kan? Ini sama saja Puji memakai sarungnya buat gantung diri, bukan menutupi aurat.
Untunglah bapaknya yang mantan playboy itu segera dimunculkan ke pondok. Ia menurunkan ilmu tentang konsep ‘witing tresno’-nya kepada sang anak. Karena wit / pohon itu bisa tumbuh baik dengan dipupuk, begitu pun dengan cinta. Sama persis dengan kasus perasaan Puji ke Puspa yang mulanya biasa-biasa saja. “Kalau kamu gunakan cinta itu untuk mengisi ruhmu, dan kamu arahkan pada kebaikan dan hal-hal positif, ia akan menjadi tenaga supersonik yang membuatmu melesat bagai pesawat," begitu kata si bapak. ;))

0 komentar

Monday, October 03, 2005

Dari Gunungkidul "Dilarang Jatuh Cinta" Meluncur

Monday, October 03, 2005
“Dilarang Jatuh Cinta, nggak ada maksud ngelarang cinta, tapi bikin kamu percaya cinta.” Begitu, S.tiny membacakan kembali tulisan di backcover buku Dilarang Jatuh Cinta (DLJC), pas acara peluncuran novel karyanya di Gunungkidul. Semua peserta yang kebanyakan para ABG itu kontan bertepuk tangan heboh. Mereka adalah siswa-siswi MAN Wonosari, dari kelas satu sampai kelas tiga, ditambah undangan perwakilan dari SMU lain di Gunung Kidul. Enggak cuma mereka lho, ikut meramaikan juga lima penulis novel Matapena yang lain, Shachree, Mahbub, Baroroh, Zaki, dan Pijer. Apalagi ketika Mahbub dan Baroroh berpasangan membaca novel Santri Semelekete, acara yang digelar Sabtu, 1 Oktober 2005 di Aula MAN Wonosari itu tak ubahnya panggung pentas seniman kenamaan.

Eh, tapi ngapain sih sampe Gunung Kidul segala. Padahal, menggebrak Gunung Kidul dengan peluncuran buku mungkin dipandang cukup unik dan langka. Seperti juga diakui oleh bagian kesiswaan MAN Wonosari, Drs. Andar Prasetyo, setidaknya untuk level MAN sendiri. “Kita belum pernah mengadakan kegiatan seperti ini,” jelasnya. Ternyata usut punya usut, sang penulis yang juga kelahiran Gunungkidul, 27 Agustus 1985 ini merupakan lulusan MAN Wonosari tiga tahun lalu. Nah, kebayang kan bagaimana harunya para guru mendapati kenyataan anak didik mereka sanggup melahirkan satu karya. Kebanggaan ini secara tegas juga disampaikan oleh Drs. H. Ya’kub, kepala MAN Wonosari bahwa entoh dari Gunungkidul yang ‘seperti itu’ lahir juga seorang penulis. “Kalau S.tiny saja bisa kenapa yang lain tidak bisa,” tambah Andar Prasetyo memberikan semangat ke adik-adik kelas S.tiny untuk menulis.

“Lalu bagaimanakah proses kreatif Mbak ketika menulis novel ini,” tanya seorang siswa dari MAN Wonosari dalam sesi dialog. Pertanyaan sejenis juga dilontarkan oleh beberapa siswa yang lain. Termasuk berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses penulisan. “Dua minggu,” jawab S.tiny. Ia juga menambahkan kalau ke mana pun ia pergi tak pernah lepas dari pulpen dan kertas. “Untuk menulis setiap ide yang tiba-tiba muncul,” jelasnya.

Acara yang digelar dari pukul 10.30 sampai pukul 14.00 ini disemarakkan juga dengan pembagian dorprize buku-buku baru Matapena dan Pustaka Pesantren, untuk setiap penanya dan komentator. Dilanjutkan dengan acara tasyakuran di tempat terpisah, di Trowono Paliyan, Karangasem, Gunungkidul. Tak kalah meriahnya, di rumah penulis ini untuk kedua kalinya acara peluncuran DLJC kembali digelar dengan iringan musik gamelan. “Sekadar mengingatkan akan tradisi masyarakat Jawa,” tutur Bu Lurah dalam sambutannya. Ia juga menyampaikan rasa bangganya atas prestasi yang telah diraih oleh salah satu puteri Gunungkidul, menulis sebuah novel. “Tapi ini baru permulaan, bukan yang terakhir,” tegasnya mantap, tentu saja untuk lahirnya karya-karya inovatif yang lain dari tangan-tangan anak negeri cadas itu. ;)

0 komentar