Sunday, August 21, 2005

Kalau Santri Baru Gede ...

Sunday, August 21, 2005
Judul: Santri Baru Gede Penulis: Zaki Zarung Tebal: vi + 258 hlm Cetakan I: Agustus 2005
Seperti kebanyakan remaja, masa baru gede dalam kehidupan santri juga dipusingkan dengan problem pencarian eksistensi dan ketertarikan dengan lawan jenis. Hanya saja, cerita santri baru gede sudah pasti tetap menawarkan sesuatu yang unik dan jarang-jarang dijumpai di luar yang namanya kehidupan pesantren.
Catet yah! Kenapa demikian? Pertama, karena santri tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan berbaris-baris peraturan. Jadi, tidak bisa berlaku asal-asalan dan seenaknya sendiri kalau tidak mau mendapat teguran seksi Keamanan. Kedua, jatah waktu santri tak sebanyak pilihan dan keinginan yang ada dalam benaknya. Di sini ia harus pintar-pintar memilah, atau juga berkompromi, kalau tidak mau dibikin bingung sendiri. Ketiga, sementara tak ada orang tua yang selama dua puluh empat jam bisa menggandengnya dan menjadi tempat pencarian solusi. So, dia harus pintar-pintar cari yang namanya sahabat dan orang gede yang bisa diajak ngobrol.
Seputar tiga itulah Zaki mengolah jalan cerita lewat tokoh Irahadi, alias Raha, dalam Santri Baru Gede. Misalnya bagaimana Raha harus berhadapan dengan seksi Keamanan karena ketahuan bolos ngaji gara-gara jalan-jalan ke Malioboro. Mendapat teguran karena lebih memilih ekskul daripada kegiatan pesantren. Dan, yang tak kalah serunya, ia harus maju mundur menghadapi Filan. Antara berprinsip, santri sejati tidak boleh “dekat-dekat” cewek, selain karena urusannya bakal runyam kalau ketahuan seksi Keamanan, dengan mendengar suara hatinya yang jelas-jelas naksir adik kelasnya itu. Terus, endingnya kira-kira gimana yah?
Yang jelas, sejak berkenalan dengan Mas Oji, pelatih teater, Raha perlahan-lahan mulai stabil dengan ke-diri-annya. Menentukan apa yang baik untuk ia lakukan, juga pandangannya soal cinta, pacaran, dan perempuan.
Maksudnya, ending Raha dengan Filan?
Oh, jelas happy ending. Cuma, proses menuju ending itu yang benar-benar menunjukkan uniknya santri yang baru gede, dan menarik buat dibaca. ;)

0 komentar

Saturday, August 20, 2005

Banyak Jalan Menuju Cinta

Saturday, August 20, 2005
Judul: Kidung Cinta Puisi Pegon Penulis: Pijer Sri Laswiji Tebal: vi + 222 hlm Cetakan I: Agustus 2005

Seperti banyak jalan menuju Roma, banyak juga jalan menuju cinta. Rutenya macam-macam, dan setiap orang punya cara tempuh sendiri-sendiri. Apalagi cinta di pesantren, lingkungan yang membatasi pertemuan antara laki-laki dan perempuan, kecuali ada kepentingan organisasi atau kepentingan bersama lainnya.
Maka, jangan heran juga kalau para santri ternyata tak kalah kreatif, memanfaatkan media untuk melakukan “pertemuan” cinta. Sebut saja Yeni yang memanfaatkan kantin pondok sebagai pos gratis untuk kiriman parcel. Ada juga yang memanfaatkan jam bebas usai kuliah untuk menemani sang pacar jalan-jalan ke mall. Atau, banyak juga yang berkomunikasi dengan Hp yang dititipin ke teman di luar pondok. Dengan risiko kalau ketahuan, pasti kena sita.
Itulah sedikit dari uniknya “curi-curi” para santri dalam Kidung Cinta Puisi Pegon. Termasuk jalan cinta versi Kia dan Haidar lewat jalur kekuatan bahasa, yang dituliskan dalam barisan Puisi Pegon.
Tahu Pegon kan? Itu, jenis tulisan Indonesia atau Jawa yang memakai abjad-abjad Arab dari alif sampai ya’ untuk menuliskannya. Jadi, bukan memakai abjad a sampai z seperti biasa berlaku. Nah, lewat satu rubrik puisi di mading inilah Kia mengenal cinta dan melakukan komunikasi hati dengan “kekasih”-nya, Haidar. Kebetulan Kia dan Haidar terlibat dalam program pertukaran mading antara pondok puteri dan putera.
Tapi, namanya bahasa puisi, maknanya kadang susah juga buat dipahami. Walhasil, hati Kia dan Haidar tetap belum menemukan kepastian kalau mereka saling mencintai. Sementara untuk bertanya langsung, meski beberapa kali keduanya bertemu, baik di ruang tamu untuk urusan mading ataupun di kampus di sela-sela perkuliahan, Kia dan Haidar sama-sama tak melakukannya. Tentu karena beberapa alasan.
Episode cinta dalam diam pun terus berlangsung. Sampai kemudian Kia dihadapkan pada jalan menuju cinta yang lain. Kia diminta oleh Ibu Nyai untuk menikah dengan Gus Luthfi, putera kiai pondok lain. Satu jalan cinta yang bagi kebanyakan santri adalah prestise dan sekali pun Kia tak pernah memimpikannya. ;)

0 komentar

Friday, August 19, 2005

Mengintip Bola-Bola Kehidupan Pesantren

Friday, August 19, 2005
Judul: Bola-Bola Santri Penulis: Shachree M. Daroini Tebal: vi + 380 hlm
Cetakan I: Agustus 2005
Ngomong-ngomong soal pesantren, pernah kan membayangkan bentuk kehidupan yang berlangsung di dalamnya? Mulai dari kiai dan keluarganya, para santri, sampai orang-orang yang tinggal di sekitaran pesantren?

Dalam beberapa bagian, memang sih tidak ada bedanya dengan kehidupan yang berlangsung di lingkungan kita. Tapi, tetep aja ada bagian-bagian yang berbeda dan “mengunik”. Apalagi jika pesantren itu terletak di pelosok, belum kenal dengan modernitas, dan menerapkan sistem pendidikan salaf, tradisional.

Nah, novel Bola-Bola Santri bermaksud merangkum keunikan-keunikan itu. Novel ini berbicara jujur soal apa yang terjadi dan tak pernah berhenti, terus menggelinding ibarat bola, tentang kehidupan di dalam sebuah pesantren. Dari kelahiran, saat-saat tumbuh dan berubah, dan kematian.

Novel ini juga menunjukkan, konflik perebutan warisan dan kekuasaan tetap bisa ditemukan di dalam pesantren. Bersilih ganti dengan cerita petualangan tiga putera mahkota, Gus Hisyam, Gus Mada, dan Gus Munir, dengan segudang kharisma kegusan mereka. Juga, dengan kelompok sepakbola mereka yang apa adanya, demi mempertahankan nama besar pesantren sang kakek, di mata para penduduk kampung. :)

0 komentar

Tuesday, August 16, 2005

Semelekete Masuk Pesantren

Tuesday, August 16, 2005
Judul: Santri Semelekete
Penulis: Ma'rifatun Baroroh
Tebal: vi + 200 hlm
Cetakan I: Agustus 2005

Apa jadinya kalau cewek seperti Endang Jamilah jadi seorang santri? Cewek anggota geng G@sinx di SMA-nya yang suka ngerjain guru dan ngusilin anak-anak yang kelihatan rada alim, culun, atau bego. Atau kalau enggak ngumpul-ngumpul bikin acara sambil ngerumpi dan menggosip?

Jawabannya, pertama, dia akan bersenandung pilu, "Betapa malang nasibku…" ketika pertama kali memasuki pintu gerbang pesantren. Setelah melihat teman-temannya yang sekarang adalah gadis-gadis berjilbab, berpakaian kolot gedombrohan. Ada yang pakai daster kayak orang hamil, ada yang pakai sarung kedodoran. Jiwanya meronta-ronta, memberontak ingin lepas. Tapi, ia merasa belum mampu untuk keliaran hidup sendiri mencari duit.

Kedua, ia akan ambruk pingsan usai membaca qonun pondok pesantren yang berbaris-baris itu. Barisan peraturan sekolah aja nggak sepanjang itu.

Ketiga, ketika Enjoy dapat kamar baru, pasti ia bakal terkaget-kaget ples heran. Kok beda banget sama peraturan yang di kantor pondok itu. Ia hampir nggak percaya melihat bermacam-macam poster menempel di dinding. Ada gambar Spiderman, Batman, Sakhrukh Khan, Micky Mouse, Avril Lavigne, Iwan Fals, dan Harry Poter. Apalagi di pojokan ada yang lagi asyik manggut-manggut dan geleng-geleng kepala mengikuti irama musik dengan walkman. Sementara mbak Desi sang kepala suku malah lagi asyik mbaca novel Fredy S! Kemudian ia akan bertanya, "Mbak, kok aneh sih. Ini kan melanggar peraturan?"

Keempat, Enjoy akan merasa sangat beruntung menjadi anggota kamar yang “gue banget” itu. Ternyata pesantren tidak seseram yang ia bayangkan.

Tapi, kelima, tetep saja ia bermasalah dengan tugas rutin nyuci baju, ngantri mandi, dan catet! Piket nyuci piring punya anak sekamar. Dan, bisa dipastikan untuk tugas yang terakhir ini, harus ada piring yang dikorbankan alias pecah! Keenam, tetep juga dipakai kalah-kalahan sama kakak seniornya. Ketujuh, ia juga tetep enggak bisa tidur malam gara-gara harus berdesak-desakkan, apalagi di deket Vita yang belum mandi sore. Sementara di samping kirinya si Fera lagi garuk-garuk kepala sambil didis. Meloroti rambutnya helai demi helai mencari telur kutu dengan penuh kenikmatan. Sesekali terdengar bunyi "kletik!" Belum lagi bunyi "Tiuut. Bess!" yang ikutan menambah pengap suasana.

Kedelapan, Enjoy bakalan susah memendam bakat masa lalunya. Dari suka belanja habis-habisan, diam-diam keluar buat dugem, sampai naksir sama ustadznya sendiri.
Kesembilan, ia juga masih berbakat buat ngelabrak cowok-cowok yang coba main-main dengannya.

Kesepuluh, Enjoy perlu suplemen untuk membuatnya bertahan di pesantren.Pastinya begitu. Dan, suplemen itu untungnya sudah Enjoy temukan di ending cerita. :)

0 komentar

Tentang Cinta yang Dramatis

Judul: Dilarang Jatuh Cinta Penulis: S.tiny Tebal: xii + 130 hlm. Cetakan I: Agustus 2005
Seperti apa sih cinta yang dramatis itu? Mencintai orang yang tidak mencintai kita? Diduakan, dikhianati, atau diputus cinta oleh orang yang kita cintai? Atau, memendam perasaan mendalam pada orang yang tak tahu-menahu perasaan kita? Terus orang itu malah memilih temen kita sendiri untuk jadi kekasihnya?
Apa pun itu, kisahnya bisa bermacam-macam. Termasuk kisah Zulaikha yang dituliskan oleh S.tiny, penulis asal Gunung Kidul ini. Pada bagian awal novel, Tiny menggambarkan sosok Zulaikha sebagai cewek yang tak pernah mendapatkan “cinta”--–dalam arti kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, menentukan keinginannya, juga menemukan makna terdalam cinta dari orang tuanya, Raden Mas Gus Zulkifli, yang selain seorang pengusaha besar juga seorang kiai pemilik sebuah pesantren. Pantesan kalau Zulaikha sampai dibikin seperti kena asma. Ngiiik…ngiiik…ngiiik. Hasilnya, Zulaikha nyaris tak pernah belajar cinta, bahkan ia tak percaya cinta. Hingga, ia bertemu Zulkarnain.
Dan, Zulaikha pun mulai berkenalan dengan cinta. Meski ia harus tersiksa dengan berbagai aksi gerilya. Mulai dari serunya panjat-lompat pagar (kebayang kan?), panasnya dunia gangster, dan usaha menutup rapat-rapat telinganya dari amukan sang ayah. Tapi tragisnya, ia harus kecewa karena pengkhianatan Zulkarnain. Ia kecewa karena cinta yang diimpikannya ternyata justru membuatnya tak lagi punya cinta.
Hanya Amar yang kemudian bisa membuat semangatnya untuk belajar cinta tumbuh kembali. Amar yang dikenalnya hanya lewat tulisan surat, pengantar dokumen Zulaikha yang ditemukannya. Meskipun tak pernah bertemu muka, ia yakin inilah cinta yang sebenarnya. Karena cinta bukan hanya kesenangan jalan bersama, bukan hanya kebanggaan popularitas. Juga tidak memandang fisik, materi, apalagi demi gengsi.
Tapi, lagi-lagi Zulaikha harus kecewa. Setelah perjuangan yang panjang berhadapan dengan ayah yang terlalu rapuh membalas kekalahan masa lalunya dan sejarah heroik seorang anak manusia yang bergerilya memperjuangkan kemerdekaannya. Zulaikha harus menyerah pada kenyataan bahwa Amar yang bernama asli Sulaiman itu cukuplah hanya bias menjadi saudara seayahnya. Meskipun Sulaiman pernah bilang, “Sayang, jangan katakan pada siapa pun. Sebenarnya aku selalu berdoa, semoga kita ini tidak benar-benar saudara ….” ;)


3 komentar

Tuesday, August 02, 2005

Yang Bertabur dari Bilik-Bilik Santri

Tuesday, August 02, 2005
“Makan, makan. Makanan datang!” Yeni berteriak sambil menggotong sebakul nasi. Di atasnya ada sebaskom sayur, dan atasnya lagi piring lebar berisi beberapa tempe mendoan. Dan masih nyangking sebuah bungkusan. Entah bungkusan apa. Setelah Yeni meletakkan barang-barang bawaannya di lantai, serentak teman-temanku mengambil piring masing-masing di rak. Aku pun segera menyusul. Lapar. “Nih, ada rejeki!” kata Yeni membuka bungkusan yang dibawanya. Martabak telor. “Pasti dari Kang Jangkung!” celetuk Yayah. “Kang Jangkung siapa sih?!” tanyaku. “Ah Kia. Kuper ya kuper, tapi sama info teman sekamar tuh ya harus ngertilah! Kang Jangkung itu…” “Pacar Yeni…,” sambung Diah pelan. “Ooo!” aku melongo dan mengangguk-angguk. Hm, ternyata pesantren bukan penghalang bagi mereka untuk berhubungan. Ada kantin pondok yang menjadi via gratis untuk kirim parcel. Jadi muncul rasa kepingin nih!
(Kidung Cinta Puisi Pegon)
Unik dan asyik. Inilah yang ingin digambarkan oleh Pijer Sri Laswiji, tentang kehidupan pesantren. Di tengah kesibukannya menjadi santri, penulis yang satu ini masih sempat juga menuliskan cerita yang indah-indah dari pesantren yang selama ini hanya ada dalam ingatan para santrinya. Selain Pijer, ada juga Zaki, Mahbub, Baroroh, Shachre, dan S.tiny. Novel-novel mereka sekaligus menjadi debut pertama para penulis muda tentang cerita dari ‘dunia lain’ yang bernama pesantren.

Kata Pijer, sebenarnya banyak hal dari pesantren yang bisa dijadikan ide bermodal pengamatan dan pengalaman. “Dari cerita teman-teman di pondok juga bisa. Nah, kebetulan untuk novelku ini terinspirasi oleh puisi-puisi Hugeng Satya Darma, guru puisiku,” jelasnya. Tidak jauh berbeda, ketika menulis Santri Semelekete Baroroh pun melakukan hal yang sama. “Nyomot dikit-dikit dari pengalaman sendiri, pengalaman teman, dan berkhayal,” akunya. Dalam novel pertamanya itu, ia mengisahkan bagaimana lucu, konyol, dan serunya menjadi santri baru.

Dan, masih banyak lagi yang bisa diceritakan dari pesantren. Apalagi, ia merupakan lembaga mandiri dan variatif sesuai dengan karakter kiai pengasuhnya. “Nah, itulah keunggulan pesantren. Meski ada cerita yang umum sifatnya, tapi lokalitas masing-masing pesantren memiliki cerita-cerita unik sendiri-sendiri,” komentar Mahbub, penulis Pangeran Bersarung. “Terutama kehidupan santrinya yang sebenarnya nggak mau ketinggalan zaman, namun agak norak. Santri itu orang yang kreatif dan apa aja bisa. Santri bisa jatuh cinta, bisa seorang petualang, bisa anak gaul, dan santri juga bisa nakal,” kata Shachre ikut berkomentar. Ia juga menambahkan kalau itu masih belum seberapa jika mau menggali objek imajinasi dari kitab kuning atau keluarga kiai.

Tapi, menulis tentang kisah pesantren, mau tidak mau memang harus paham dunia pesantren, meski tidak harus seorang santri. Apalagi sebuah karya fiksi yang banyak menekankan pencitraan. Maka beruntunglah Zaki dan kawan-kawannya yang telah dianugerahi dua kelebihan sekaligus, tinggal di pesantren dan bisa menulis. Meskipun bukan berarti tak ada kendala. Di samping faktor intern tentunya, seperti kehabisan ide dan kata sampai bingung mau menulis apa, Pijer mengakui kalau kendala utama dalam proses menulis adalah waktu. “Aku harus bisa memenej waktu dengan baik karena terbentur dengan kegiatan-kegiatan pondok,” lanjutnya. Sementara Baroroh menambahkan kalau lingkungan pondok yang ramai sering kali mengganggu konsentrasinya. “Di mana pun aku ngumpet, selalu saja ada orang. Apalagi kalau di kamar, uh pada ngobrol dan mondar-mandir melulu.” Itulah seninya curi-curi waktu demi hobi. Malah ada kejadian tragis seperti yang dialami Zaki. Ia rela berhadapan dengan Keamanan Pondok alias seksi Penjaga Tata Tertib, karena waktu pagi yang notabene waktu berkegiatan ia sering tidak kelihatan batang hidungnya. “Soalnya aku ngetik di kos temen-temen deket pondok. Pokoknya yang ada komputernyalah. Hehehe… jadi malu,” kenangnya lucu.

Namun, sesulit apa pun kondisinya, bagi Zaki, menuliskan kisah-kisah unik yang bahkan hanya bisa ditemukan di dunia pesantren merupakan proyek yang terus dijaga dan dibudayakan. Misalnya dalam bentuk teenlit maupun chicklit. Apalagi minat baca remaja terhadap buku-buku semacam itu sangat tinggi. “Tapi yang agak aku khawatirkan adalah buku-buku semacam yang ditulis bukan oleh orang pesantren. Hasilnya, tentu terjadi pemahaman yang salah, keliru, dan tidak benar sama sekali. Itu kan merugikan pembaca. Mereka dibohongi dan menerima barang mentah,” lanjut Zaki. Oleh karena itu bagi Shachre, sekaranglah saatnya santri punya kelas. Menulis tentang kehidupan mereka. Meski tetap bersarung dan berkopiah, bukankah tulisan merupakan bagian dari kreativitas? “Seorang santri tidak akan pernah menjadi kotor hatinya hanya gara-gara menulis,” jelas Shachre mantap.

Tinggal satu PR yang menurut Zaki harus diselesaikan. Menurutnya budaya oral yang selama ini berkembang di pesantren sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan para santri untuk menulis. Hingga menurutnya perlu ada gerakan SSM alias Santri Suka Menulis di pesantren-pesantren, juga dibentuk halaqah-halaqah kecil sebagai ajang pembudayaan menulis di kalangan santri. Meskipun secara umum, Mahbub berpendapat kalau kalangan pesantren sudah mulai menghormati dunia tulis-menulis. Di kalangan santri pun, khususnya yang sudah melek baca buku, mulai ada kegelisahan dominasi tradisi oral. Kegelisahan yang juga dirasakan oleh Zaki dan kawan-kawan.

Pantaslah kalau mereka begitu bersemangat untuk terus menulis tentang dunia mereka itu. “Masalahnya pesantren itu cute habis sih,” ucap Shachre yang diam-diam ternyata sudah siap dengan naskah Love in Pesantren. Seperti juga Zaki yang bakal menceritakan santri yang kerjaannya molor melulu, atau Mahbub dengan tiga novelnya sekaligus. “Tiny never ending write!” S.tiny ikut berikrar mantap. Memang harus. Karena bagaimanapun menarik dan cute-nya cerita-cerita di balik tembok pesantren, tak akan bisa dinikmati jika tidak diceritakan kembali melalui tulisan tangan-tangan kreatif mereka. Iya nggak? :)

0 komentar